Mengapa Model Ekonomi Nordik Lebih Membahagiakan?

Idenya sederhana: jika keluarga kelas pekerja didukung dengan jaminan kesehatan, pendidikan gratis, perumahan yang terjangkau, tempat penitipan anak yang bagus, lingkungan yang sehat, waktu luang yang lebih banyak, dan jaminan keamanan kerja, maka mereka akan bekerja lebih produktif.

Di Amerika Serikat, ada krisis penggunaan obat opioid (obat penghilang rasa sakit, yang memiliki efek kecanduan dan melepaskan dopamin/rasa bahagia). Sudah berlangsung lama dan tidak ada tanda-tanda akan menurun.

Sayangnya, ketika mencari solusi, kami hanya berpikir untuk mengatur perusahaan farmasi. Ada penelitian baru yang menunjukkan: kita bisa menyelesaikan akar dari kematian akibat opioid ini, sekaligus membuat ekonomi kita lebih hijau dan berkeadilan.

Riset terbaru University of Pennsylvania, yang dipublikasikan Washington Post pada Desember 2019 menunjukkan bahwa kasus over-dosis opioid melonjak di tempat yang pabrik-pabrik mobilnya tutup.

Menurut Atheendar Venkataramani, orang yang meminpin studi ini dan menjadi Professor di University’s Perelman School of Medicine, bahwa ketidakstabilan ekonomi dapat mempengaruhi kesehatan mental dan meningkatnya resiko penyalahgunaan obat,.

“Temuan kami mengonfirmasi institusi umum bahwa turunnya peluang ekonomi turut memainkan peran dalam memicu krisis opioid,” tulisnya.

Temuan baru itu memunculkan beberapa tantangan. Perasaan kita mungkin tertuju pada sejumlah orang dan keluarga yang terperangkap dalam tragedi ini. Tapi bagaimana kita mengatasi krisis kesehatan publik yang berakar pada ekonomi modern? Bukankah penutupan pabrik akibat globalisasi dan kemajuan teknologi berlangsung semakin cepat? Apa yang harus dilakukan?

Aku menemukan kabar baik ketika meneliti beberapa negara kecil yang lebih bergantung kepada kekuatan pasar global ketimbang kami (AS): Denmark, Swedia, dan Norwegia. Negara-negara ini memiliki kebijakan ekonomi yang berhasil mengurangi kecanduan terhadap obat-obatan dan bunuh diri. 

Kadang sulit dipercaya, negara-negara yang melalui musim dingin yang panjang justru menduduki puncak tertinggi daftar “negara paling berbahagia di dunia”. Kok bisa?

Seabad yang lampau, Negara-negara ini juga menderita krisis ekonomi yang membuat rakyatnya menderita, sehingga banyak orang Skandinavia melarikan diri ke AS dan Kanada. Mereka yang tetap bertahan berjuang untuk menciptakan terobosoan dan penemuan-penemuan besar.

Mereka melalukan apa yang disebut oleh ekonomi Joseph Schumpeter sebagai “Creative Destruction” atau penghancuran kreatif (penghancuran ekonomi untuk memicu inovasi dan perubahan besar-besaran/disrupsi). Mereka menata ulang ekonomi dengan mengutamakan kepentingan orang banyak.

Orang luar melihat inovasi besar-besaran di Skandinavia sebagai “laboratorium percobaan” untuk menemukan ide yang mungkin berguna.

Di tahun 1920-an dan 1930-an, Denmark, Swedia, dan Norwegia menemukan model ekonomi alternatif yang mengutamakan kesejahteraan orang banyak, bukan kemakmuran segelintir orang (pemilik modal). Para ekonom menyebutnya “model Nordik”.

Idenya sederhana: jika keluarga kelas pekerja didukung dengan jaminan kesehatan, pendidikan gratis, perumahan yang terjangkau, tempat penitipan anak yang bagus, lingkungan yang sehat, waktu luang yang lebih banyak, dan jaminan keamanan kerja, maka mereka akan bekerja lebih produktif.

Uang yang dipakai untuk membiayai investasi sosial itu berasal dari orang-orang yang memiliki uang jauh lebih banyak dibanding kebutuhannya (pajak progressif).

Hasilnya: kesejahteraan sosial.

Dalam banyak indikator ekonomi, sosial-demokrasi ala Nordik mengungguli negara-negara yang menganut pendekatan pasar bebas. Mereka jauh dari cap “negara pengasuh” (istilah kaum konservatif di Inggris pada Negara yang terlalu banyak mengatur urusan pribadi).

Negara-negara Nordik memiliki angka partisipasi kerja lebih tinggi dibanding AS. Produktivitas tenaga kerjanya juga lebih unggul. Bahkan, Norwegia punya lebih banyak bisnis rintisan (startup) per kapita dibanding AS.

Eksperimen ini menghasilkan banyak tipe pekerja model “get-up-and-go” (bersemangat, energik, dan berdedikasi), dengan tingkat keanggotaan serikat buruh yang tinggi, disertai dukungan yang berlimpah untuk meningkatkan skill dan kapasitas, bak “bebek bertelur emas”.

Saya mewancarai seorang CEO dari Norwegia yang mengaku sangat senang dengan sistem ini. “Saya bisa mengandalkan pekerja saya untuk memenuhi tenggat waktu, karena kami adalah sebuah tim, mereka diperlakukan sangat baik, dan mereka tahu apa yang harus dikerjakan,” katanya.

Wartawan Inc. Magazinese, sebuah majalah properti berbasis di New York, menanyakan pendapat seorang CEO di Norwegia perihal separuh pendapatannya yang harus disetorkan ke Negara dalam bentuk pajak setiap tahunnya.

“Sistem perpajakannya bagus, adil,” kata CEO itu.

“Membayar pajak itu seperti membeli sebuah produk. Jadi, persoalannya bukan seberapa besar uang dikeluarkan untuk membeli produk itu, tapi bagaimana kualitas produknya,” tambahnya.

Prinsip “keamanan kerja” (job security) diakui sebagai sesuatu yang penting. Pelatihan kerja gratis dan pendidikan tinggi terbuka untuk meningkatkan keterampilan pekerja dan mendukung mereka mencari pekerjaan baru. 

Keluarga punya sesuatu yang bisa diharapkan dan dapat dipakai untuk memikirkan masa depan. Mimpi-mimpi dan masa depan suram seperti kerap dialami para pekerja di AS, seperti Rust Bell atau sabuk berkarat (wilayah utara tengah Amerika yang dulu pernah memiliki banyak industri tapi sekarang sebagian besar ditutup), tidak terjadi di Skandinavia. 

Tetapi, di tahun 1980, dunia yang yang berubah juga mengubah Skandinavia. Perkembangan teknologi dan globalisasi berjalan sangat cepat. Barang yang dibuat di negara lain lebih murah ketimbang yang dibuat oleh orang-orang Skandinavia. 

Pemerintah Skandinavia terpaksa mensubsidi industri dalam negeri agar tak bangkruk. Ya, meskipun dalam krisis, mereka mengutamakan pekerja ketimbang modal. Namun, biaya yang harus dikeluarkan negara ternyata membengkak.

Denmark menjadi negara pertama yang mencoba jalan baru. Belajar dari Belanda, lalu mengembangkannya lebih baik, pada 1990-an, Denmark mengadopsi konsep “flexicurity” (mengkombinasikan pasar tenaga kerja yang fleksibel dan sistem perlindungan sosial).

Pemerintah tak lagi mensubsidi pabrik agar tetap berjalan. Pemilik pabrik bebas mengambil modalnya dan mencari bentuk usaha lain. Kesepakatan barunya: kalau pabrik tutup, maka negara harus menolong pekerja yang menganggur. 

Flexicurity berarti membuka pelatihan kerja akan pekerja bisa mencari pekerjaan lain, memberi buruh uang pegangan di saat mereka mencari pekerjaan baru, dan dukungan relokasi kalau memang mereka mau pindah. 

Dengan kata lain, bahkan di usia 50 tahun, kehilangan pekerjaan bukan berarti pengangguran permanen di sisa-sisa hidupnya. Bagi banyak pekerja, ini seperti di awal-awal bekerja.

Ini mengingatkan saya pada Presiden Franklin Delano Roosevelt di tahun 1930-an dengan kebijakan New-Dealnya: jika kebijakan ekonomi tak berjalan baik, ubahlah!

Setelah Denmark mengadopsi flexicurity, Swedia dan Norwegia menyusul. Di tahun 2007, Dewan Uni Eropa melihat langsung hasilnya dan merekomendasikan flexicurity kepada seluruh negara anggotanya.

Meskipun Green New Deal (yang diusulkan oleh Bernie Sanders dan kawan-kawan) baru diusung di tahun 2019 dan dipandang sebagai cara terbaik mengatasi ancaman krisis iklim, proposal itu cukup holistik untuk menjadi jembatan yang memungkinkan flexicurity versi AS dengan esensi yang sama: memberi harapan pada mereka yang selama ini beresiko tertinggal di belakang kemajuan ekonomi.

Epidemi opioid dan meningkatnya kasus bunuh diri di AS membutuhkan respon yang energik.

Ekonomi AS saat ini jauh lebih kaya dibanding dengan Skandinavia di kala memutuskan untuk merombak ekonominya. Orang-orang Skandinavia punya sumber daya lebih sedikit untuk dibagi-bagikan demi visi kemakmuran bersama, tetapi mereka memutuskan untuk berpikir besar, mengambil resiko lebih besar, dan mengambil kebijakan sesuai nilai-nilai mereka (kemakmuran bersama).

Bisakah kita seberani itu?

GEORGE LAKEY, seorang pensiunan professor di Swarthmore College; Dia juga dikenal sebagai aktivis, sosiolog, dan penulis. Salah satu bukunya: iking Economics: How the Scandinavians Got It Right and How We Can, Too.

Artikel ini diterjemahkan dari sumber aslinya di majalah YES: yesmagazine.org.

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid