Mengapa Kamu Perlu Membaca Novel “Menghadang Kubilai Khan”?

Kalau kamu suka membaca novel berlatar sejarah, terutama sejarah Nusantara, maka kami merekomendasikan novel baru ini: Menghadang Kubilai Khan.

Novel yang terbit pada awal April 2021 ini mengambil latar sejarah Nusantara pada abad ke-13. Tepatnya masa pemerintahan Kertanegara, raja terbesar sekaligus terakhir kerajaan Singhasari.

Penulis novel ini adalah Antun Joko Susmana. Selain aktif menulis dan terlibat dalam kerja-kerja kebudayaan, alumnus Fakultas Filsafat Universitas Gajah Mada (UGM) ini juga dikenal sebagai aktivis politik.

Semasa kuliah, dia terlibat dalam pergerakan mahasiswa menentang rezim orde baru. Dia juga menjadi bagian dari Partai Rakyat Demokratik (PRD) sejak pendiriannya di tahun 1996.

Sekarang ini, AJ Susmana sedang terlibat dalam pembangunan partai alternatif menuju Pemilu 2024. Namanya: Partai Rakyat Adil Makmur (PRIMA). Di PRIMA, AJ Susmana menjabat Wakil Ketua Umum.

Lalu, kembali ke novel ini, mengapa menarik untuk dibaca? Berikut beberapa alasannya.

Pertama, proses penulisannya

Proses pengerjaan novel setebal 331 halaman ini berlangsung selama 5 tahun. Persisnya dari 19 Juli 2016 hingga 31 Maret 2021. 

Dalam waktu yang panjang itu, AJ Susmana mengumpulkan dan membacai berbagai literatur tentang Nusantara dan dunia pada abad ke-13. Tentu saja, itu demi memperkaya informasi terkait tokoh dan peristiwa di novelnya.

“Hampir 150-an literatur yang kugunakan di novel itu,” ungkapnya.

Hanya saja, novel “Menghadang Kubilai Khan” tidak mencantumkan catatan kaki terkait rujukan informasi yang digunakannya. 

AJ Susmana beralasan, dia tak mencantumkan catatan kaki demi tidak mengganggu kenikmatan dan keindahan dalam membaca sebuah novel.

Disamping itu, demi memperkaya pengetahuan dan informasi di novelnya, AJ Susmana juga melakukan kunjungan langsung ke situs-situs yang merupakan jejak-jejak sejarah Kertanegara dan Singhasari, seperti situs Joko Dolog di Surabaya, pura Kebo Edan di Bali, dan situs Singhasari di Malang. Juga mengunjungi situs-situs warisan wangsa Rajasa, seperti candi Sukuh, Cetho dan Penataran.

Kedua, terinspirasi oleh Ken Arok

AJ Susmana mengungkapkan, inspirasi untuk menulis novel ini terjadi di tahun 2016, tepatnya 22 Juli 2016, di peringatan ulang tahun Partai Rakyat Demokratik (PRD) ke-20.

“Aku ditugaskan pimpinan PRD untuk memberikan Orasi Kebudayaan,” kenangnya.

Saat itu, karena usia PRD yang ke-20 tahun, AJ Susmana pun menyuguhkan tokoh-tokoh muda berusia 20-an tahun, salah satunya: Ken Arok.

Bagi AJ Susmana, Ken Arok merupakan sosok terpenting di balik berdirinya kerajaan Singhasari. Kita tahu, setelah mengalahkan raja Kertajaya dari Kediri, Ken Arok mendirikan kerajaan Tumapel. Kerajaan Tumapel inilah yang kelak disebut Singhasari.

Di novel ini, AJ Susmana menggambarkan Arok sebagai wong sudra, anak seorang petani, yang berhasil menggulingkan raja Kediri yang sewenang-wenang, Kertajaya. 

“Bala tentara Isyana, pelanjut darah biru tanah Jawa yang sudah berkuasa selama 300 tahun, yang dipimpin oleh Bathara Guru Kertajaya, dikalahkan oleh bala tentara Arok, putra Ken Endog, seorang ibu tani,” tulis AJ Susmana di novelnya.

Ketiga, Kertanegara dan Cita-citanya

Kertanegara sendiri merupakan cicit Ken Arok. Dia menjadi penerus dari wangsa Rajasa. Karena lahir dari darah Ken Arok, wong sudra, wangsa Rajasa sering juga disebut garis keturunan rakyat biasa.

Semasa memerintah Singhasari dari 1268-1292 masehi, Kertanegara punya cita-cita besar untuk mempersatukan Nusantara kala itu. Dalam hal ini: Swarnadwipa (Sumatera) dan Jawadwipa (Jawa).

Kertanegara menjadi Raja pertama di wangsa Rajasa yang mulai meluaskan pandangannya. Tak lagi terkotak dalam konflik Panjalu atau Jenggala. Tak lagi terwarisi konflik perebutan kuasa atas garis keturunan.

Di sisi lain, ada ancaman dari luar: kekaisaran Mongol. Dalam waktu yang tak lama, hanya 21 tahun kata AJ Susmana, kekaisaran Mongol berhasil menguasai hampir seluruh Asia dan Eropa. Dan di bawah Kubilai Khan, cucu Jenghis Khan, Mongol hendak menaklukkan Nusantara.

Kertanegara sangat menyadari ancaman itu. Menariknya, dia tak gentar dengan cerita-cerita tentang kedigdayaan kekaisaran Mongol. Sebaliknya, dia menggalang kekuatan untuk menghadangnya.

Demi mempersatukan Nusantara sekaligus menghadang bala tentara Kubilai Khan, Kertanegara mengirimkan Kebo Anabrang untuk memimpin ekspedisi Pamalayu, sebuah misi untuk menjalin persekutuan dengan kerajaan-kerajaan di Swarnadwipa.

Selain itu, Kertanegara juga mengirim saudara perempuannya, Tapasi (versi lain menyebut anak perempuannya), untuk menjadi istri Raja Campa dalam kerangka persekutuan melawan invasi Mongol.

Keempat, novel ini relevan untuk konteks sekarang

Meski mengambil setting sejarah pada abad ke-13, tetapi novel ini menyuguhkan pesan dan pelajaran yang relevan untuk konteks sekarang.

“Bangsa ini butuh narasi persatuan dalam sejarah kita untuk menghadang imperialisme,” kata AJ Susmana.

Dia juga meyakin, berbagai kegelisahan melihat situasi bangsa sekarang ini bisa mendapat cerminannya pada masa lampau.

Dalam konteks hari ini, ancaman asing semacam Kubilai Khan bisa mewujud pada kekuatan-kekuatan asing yang hendak menguasai sumber daya manusia Indonesia dan alamnya.

“Kubilai Khan di masa kini bisa jadi jadi Xi Jinping, bisa jadi juga Imperialis Amerika Serikat, para pemodal asing, atau oligarkis dunia, yang terus merangsek masuk ke Indonesia menguasai sumber daya manusia dan alamnya, jalur-jalur perdagangannya,” jelasnya.

Dari novel ini, kita juga mendapat pelajaran bahwa rakyat biasa pernah berhasil menggulingkan kekuasaan elit yang sewenang-wenang.

Cerita ini diwakili oleh Ken Arok, seorang rakyat biasa, yang memimpin pemberontakan terhadap dua kekausaan yang sewenang-wenang: Tunggul Ametung dan Kertajaya.

Dan perjuangan Ken Arok berhasil. Dia berhasil mendirikan kerajannya sendiri: Tumapel. Dia juga mewariskan satu garis keturunan baru dalam politik di masa lampau: wangsa Rajasa.

Wangsa rajasa ini menjadi leluhur dan pendiri kerajaan-kerajaan besar Nusantara, yaitu Singhasari dan Majapahit.

Karena itu, membaca pengalaman bangsa di masa lampau, seperti kisah Kertanegara menghadang Kubilai Khan, sangat relevan bagi generasi di masa kini.

Oh iya, novel “Menghadang Kubilai Khan” bisa dibeli di Tokopedia (klik di sini). Bisa juga menghubungi langsung penulisnya di akun twitter: @susmana atau nomor ponsel +62 812-8695-9527.

RINI HARTONO

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid