Tanggal 17 Agustus 2016, Bolivia memulai sebuah proyek besar untuk mengubah watak militernya, agar tidak lagi menjadi alat penjaga kepentingan imperialisme.
Hari itu, di kota Santa Cruz, di bagian timur Bolivia, Presiden Bolivia Evo Morales meresmikan beroperasinya sebuah akademi militer baru. Tanpa tedeng aling-aling, akademi militer itu disebut sebagai akademi militer anti-imperialis.
Sekolah militer ini diberi nama Akademi Militer Anti-Imperialis Juan José Torres González. Juan Tores adalah nama seorang pemimpin militer berhaluan sosialis Bolivia, yang menjabat Presiden Bolivia tahun 1970-1971.
Sayang, baru satu tahun berkuasa, Torres diculik dan dibunuh. Belakangan diketahui, pembunuhannya terkait operasi kondor, sebuah operasi pembersihan kaum merah di Amerika latin yang disponsori oleh Amerika Serikat.
“Jika imperialis mengajarkan untuk mendominasi dunia lewat sekolah militernya, maka kami akan belajar dari sekolah ini untuk membebaskan diri dari penindasan imperialis,” kata Presiden Evo Morales saat berpidato di peresmian sekolah militer ini.
Salah satu penyebab kenapa petinggi-petinggi militer di Amerika latin sangat dekat dengan AS, termasuk petinggi militer Bolivia, karena mereka dididik di sekolah militer AS di Fort Benning, Georgia.
Perwira-perwira hasil didikan sekolah tersebut banyak yang mensponsori kudeta hingga kediktatoran.
Karena itu, Bolivia tak ingin lagi perwira-perwiranya bersekolah di Fort Bening. Agar tak lagi menjadi agen atau perpanjangan kepentingan imperialis. Mereka membuat sekolah militer sendiri, yang anti-imperialis.
Masa Kelam Militer Bolivia
Sebelum Evo Morales terpilih sebagai Presiden, militer Bolivia tidak berbeda dengan militer pada umumnya di Amerika latin dan dunia ketiga.
Sejak merdeka 1825, militer Bolivia sangat dominan dalam politik. Hal itu juga yang membawa Negeri indah di Amerika Selatan ini dalam ketidakstabilan politik dalam rentang waktu yang sangat panjang. Bayangkan, dalam 194 tahun sejak merdeka, Bolivia mengalami 190 kudeta dan upaya kudeta.
Sepanjang 1960-1970-an saja, militer Bolivia berkali-kali melakukan kudeta. Salah satunya adalah kudeta terhadap Presiden Juan Torres González tahun 1971. Kudeta berdarah itu kemudian menaikkan seorang kolonel yang disokong oleh AS, Hugo Banzer. Dia menjadi diktator di Bolivia sepanjang 1971 hingga 1978.
“Sejak 1940, tentara Bolivia jadi aktor imperialisme,” kata Menteri Sekretaris Presiden Bolivia, Juan Ramón Quintana, salah seorang penggagas Akademi Militer Anti-Imperialis.
Di tahun 1980-an, lewat perang melawan narkoba, Amerika Serikat mendekati militer Bolivia. Lembaga anti-narkoba AS, Drug Enforcement Administration (DEA), beroperasi langsung di Bolivia.
Sebagai bentuk dukungan langsung AS terhadap militer Bolivia dalam memerangi pertanian koka, maka dibentuklah pasukan khusus bernama Unidad Móvil Policial para Áreas Rurales (UMOPAR).
UMOPAR berpatroli ke desa-desa untuk memberangus pertanian koka. Di sisi lain, bertanam koka merupakan jantung ekonomi sekaligus kehidupan orang-orang asli Bolivia. Jadinya, dalam perang melawan koka itu, militer Bolivia menghadapi petani dan masyarakat adat.
Banyak petani dan masyarakat yang dikriminalisasi dan dipenjara. Banyak juga yang dibunuh. Di bulan Mei 1987, UMOPAR menembak mati 5 petani. Lalu, pada Juni 1988, bentrokan antara UMOPAR dan petani menyebabkan 12 petani gugur.
Pendekatan militeristik terhadap petani inilah yang membangkitkan petani koka dan masyarakat adat untuk berlawan. Federasi petani koka berdiri di mana-mana. Salah satu tokoh perlawanan kala itu adalah Evo Morales.
Mengubah Watak Militer
Begitu terpilih sebagai Presiden di tahun 2006, dia tahu betul bahwa beberapa petinggi militer Bolivia masih di bawah kendali Amerika Serikat.
Sebelumnya, ketika Evo masih berkampanye sebagai Calon Presiden dan berpotensi menang, militer Bolivia secara diam-diam memindahkan rudal anti-pesawat.
Aksi pemindahan rudal ini dilakukan oleh militer yang terlibat dalam Gugus Tugas Bersama Kontra-Terorisme (FCTC), yang sepenuhnya didanai oleh AS.
Evo mengetahui hal tersebut. Makanya, begitu dilantik sebagai Presiden, Evo memaksa 60-an Jenderal dan perwira tinggi militer untuk pensiun dini. Mereka dianggap pejabat militer yang berada di bawah kendali AS.
FCTC juga dirombak habis. Pucuk pimpinannya diganti. Koneksinya dengan AS juga dipangkas.
Di sisi lain, Evo juga sadar, di kalangan militer Bolivia, terutama perwira menengah hingga prajurit, terdapat orang-orang yang patriotik dan cinta tanah airnya.
Karena itu, Evo selalu berusaha merangkul mereka, sambil mengingatkan keharusan tentara tunduk pada konstitusi dan kehendak rakyat.
Tetapi, retorika saja tidak cukup. Cara berpikir atau cara pandang harus diubah. Tentara harus disuntikkan pemikiran dan pemahaman baru, yang menjunjung tinggi demokrasi dan hak azasi manusia.
Itulah esensi dari pendirian Akademi Militer Anti-Imperialis Juan José Torres González.
Militer Anti-Imperialis
Di Akademi Militer Anti-Imperialis, para perwira Bolivia mendapat pelajaran yang sangat luas, dari soal ekonomi-politik, geopolitik, sosiologi, sejarah, dan lain-lain.
“Kami juga mengajarkan analisa alternatif, karena kami punya epistemologi sebagai bangsa selatan,” kata Helena Argirakis, Direktur Akademi Militer Anti-Imperialis, seperti dikutip Redfish dalam video pendeknya.
Selain itu, di Akademi Militer ini, tentara juga diajari tentang demokrasi dan HAM, agar mereka tak lagi menodongkan senjatanya kepada rakyat.
Yang lebih penting lagi, tentara juga diajari soal imperialisme, cara kerjanya, dan konsekuensinya bagi sebuah bangsa. Dengan begitu, tentara bisa mengerti siapa musuh pokoknya.
Terlalu dini untuk menilai, apakah Akademi Militer ini berhasil atau tidak. Tapi setidaknya, Bolivia telah memulai langkah penting untuk mengubah watak militernya agar lebih progressif, demokratis, dan berpihak pada rakyatnya.
Raymond Samuel
- Fascinated
- Happy
- Sad
- Angry
- Bored
- Afraid