Akhir-akhir ini perbincangan tentang hilirisasi produk pertambangan makin gencar mengisi ruang berita media serta menjadi jargon utama para pejabat negara manakala kalangan wartawan menanyakan hal-hal yang terkait dengan optimalisasi produksi industri pertambangan dan perkebunan. Dan adalah Presiden Joko Widodo yang kerap menggunakan istilah ini, entah ketika berpidato dalam acara-acara resmi, pertemuan selebrasi partai politik, bincang-bincang di teve, dan lainnya. Pasalnya, istilah ini bermula dari keinginan Jokowi mengakuisi saham PT Freeport di Papua agar lebih dari 50 persen menjadi milik Indonesia. Dengan negosiasi yang alot dan disertai intrik-intrik politik, akhirnya Jokowi dan tim berhasil memenangkan pertarungan kepemilikan itu. Indonesia kini telah menikmati prosentasi saham yang lebih besar dari PT Freeport tersebut.
Masalahnya, dalam rezim Jokowi, istilah hilirisasi itu sendiri seakan substansi persoalannya. Padahal, apabila kita telusuri lebih jauh dengan menarik garis sejarah yang panjang mundur ke belakang lebih dari 5 abad lampau, maka hilirisasi hanya bagian kecil dari sistem industri yang besar dan kompleks yang mencakup berbagai bidang kehidupan.
Kita ketahui bahwa industri telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari aktivitas kehidupan manusia sehari-hari di muka bumi ini sejak manusia itu mulai memiliki sistem pengetahuan dan teknik yang lebih baik, mulai zaman batu hingga zaman perunggu/besi. Tentu intensifikasi dan ekstensifikasi industri pada setiap era ini berbeda-beda tergantung kepada kemajuan ilmu pengetahuan, eksperimentasi, dan sumberdaya yang tersedia. Meletusnya revolusi industri di Inggris pada abad ke-15 menunjukkan adanya kumulasi temuan-temuan baru dalam hal alat-alat atau sarana, seperti kompas, kapal layar, bubuk mesiu, mesin tik, dan lain-lain. Dalam kurun waktu 3 abad kemudian, pada era 1800-an, mesin-mesin telah banyak menggantikan tenaga manual manusia dalam proses industri. Perlahan-lahan posisi manusia sebagai tenaga kerja diambilalih oleh mesin. Corak produksi ini melahirkan konflik baru dalam relasi produksi.
Penciptaan mesin-mesin dan penambangan batubara dan minyak mempercepat transformasi paradigma teknologi, dari industri manual analog menuju industri semi otomatik. Memasuki abad 20-21, robotisasi, digitalisasi dan otomatisasi mendekati titik kulminasinya. Dan kini, kita telah berada di revolusi industri 4 dengan andalan penggunaan internet dalam segala hal (komputerisasi), rekayasa genetik, kecerdasan buatan, dan banyak lagi transformasi dalam industri pasca modern yang terjadi.
Di tengah situasi dan kondisi semacam itu, Indonesia harus menempatkan dirinya di mana? Tradisi industri yang dimiliki selama ini sekarang hanya tinggal kenangan atau benda cagar budaya yang tidak pernah bertransformasi menjadi sistem industri yang lebih modern atau canggih. Industri pertambangan, perkebunan, pertanian, informasi, transportasi, keuangan, jasa, dan sebagainya, sangat ketinggalan zaman. Dari segi kepemilikan, hampir semua dikuasai asing. Yang ini berdampak pada kehilangan aset negara, masyarakat, dan rakyat, dari banyak segi, seperti keuangan, iptek, inovasi, dan lain-lain. Industri yang ada malah memosisikan anak bangsa menjadi jongos dari kapital global, bak robot-robot yang melayani tuan imperialis/me.
Sejak era kolonial hingga era Orde Reformasi, visi besar industri nasional tidak pernah jelas. Industri pertambangan (batubara, minyak, gas, nikel, boksit, dan sebagainya) hanya mengeksploitasi sumberdaya alam yang tersedia, tanpa memiliki kemauan politik sama sekali untuk membangun iptek industri pertambangan, hanya menjual produksinya ke negara lain dengan harga yang murah. Sumberdaya alam yang dieksploitir itu sangat terbatas ketersediaannya serta memiliki ekses kerusakan ekologi/lingkungan hidup yang sangat parah yang berdampak terhadap sistem kehidupan flora, fauna, dan manusia. Industri perkebunan (kelapa sawit, coklat, karet, kopi, dan lainnya) juga tidak memiliki arah strategis. Perkebunan kelapa sawit yang memiliki daya rusak besar terhadap kesuburan tanah/lahan (mono kultur) justru menghabiskan lahan-lahan yang ada, sementara manfaat terbesarnya malah dinikmati pemilik pabrik, distributor, dan negara transitori, seperti Singapura. Banyak petani gurem dan buruh tani malah terjebak dalam pola Perkebunan Inti Rakyat (PIR) dengan bagi hasil yang tidak adil dan menyejahterakan petani sawit. Dan masih banyak lagi contoh industri nasional Indonesia yang tidak bermanfaat bagi kemajuan bangsa, masyarakat, dan rakyat. Semua itu hanya untuk memperkaya imperialis/me atau kapitalis global, antek asing, komprador, oligarkh.
Sekarang, apakah hilirisasi yang digembar-gemborkan itu menjawab masalah utamanya? Tentu patut dikritisi lebih jauh, karena ternyata industri nasional yang ada itu keropos di dalamnya. Industri nasional kita hanya slogan kosong tanpa daya. Industri nasional yang kuat memerlukan kesadaran nasional yang kuat untuk mentransformasi sistem iptek melalui sistem pendidikan nasional yang berkualitas, handal, adaptif, kontekstual. Sistem pendidikan nasional yang mumpunilah yang kelak menelurkan sumberdaya manusia yang kreatif, inovatif, solutif dalam menjawab tantangan pengembangan industri nasional masa depan. Dan cilakanya, pendidikan kita sejak TK hingga Perguruan Tinggi, sudah dikapitalisasi sedemikian rupa sehingga menjadi berbiaya sangat mahal, namun dengan keluaran mutu yang rendah dan tidak memadai untuk berlawan dalam pertarungan dalam negeri dan di luar negeri. Solusi bagi sistem pendidikan yang kapitalistik tersebut ialah memperbesar APBN (baru 20 persen dari total APBN per tahunnya) untuk memperbaiki infrastruktur dan suprastruktur pendidikan kita (gedung-gedung, laboratorium, tenaga pengajar, sistem pendukung, kolaborasi, dan sebagainya). Yang paling penting, menggratiskan biaya pendidikan bagi bangsa, masyarakat, rakyat Indonesia, di tingkat perguruan tinggi agar derajat keilmuan setiap penduduk di negeri ini bertambah tinggi sehingga membuka peluang bagi mereka untuk bersaing, bereksperimen, dan berdaya usaha secara mandiri.
Lebih dalam bisa kita cermati bahwa hilirisasi yang terlihat arahnya hanyalah “pengolahan lebih lanjut” produk-produk industri yang ada dengan sumberdaya alam ekstraktif. Padahal, jika kita melihat bagaimana China membangun industri nasionalnya, maka tampak bahwa perlahan-lahan mereka menjauhi ketergantungan pada sumberdaya alam yang sangat terbatas dan tak terbaharui, untuk kemudian beralih ke sumberdaya baru yang terbaharui, prospeknya luas, relatif murah namun memberikan manfaat optimal kepada bangsa, masyarakat, dan rakyat China. Terobosan yang mereka lakukan ialah maksimalisasi sumberdaya manusia dengan iptek yang relevan dan futuristik. China jauh-jauh hari sudah membuat “cetak biru” berbagai bidang industri nasional mereka berjangka hingga 2050. Misalnya industri maritim, angkasa, persenjataan, pertanian, jasa, transportasi, dan banyak lagi, yang kesemuanya itu dirancang bangun dengan holistik, integratif, solutif berbasiskan iptek. Dengan demikian, di era Xi Jing Ping kini misalnya, sentra-sentra industri begitu tertata, sinergis, efisien dan efektif terbentuk di China. Penataan sentra industri membawa konsekuensi penataan ruang hidup penduduk China. Revolusi lahan di China sudah dikerjakan sejak Mao hingga Xi namun dengan pendekatan yang menyejahterakan warga masyarakat karena spirit kolektivisme yang kuat dan visi besar negara bangsa yang jelas. Bagaimana dengan kita?
*Hegel Terome, pemerhati sosial budaya