Membongkar Kerugian Indonesia di Freeport

Pemerintah boleh saja berbangga bila benar akan mendapatkan deviden 200 juta dollar AS pada tahun 2021. Karena memang sudah saatnya. Sementara dua tahun pertama, yakni 2019 dan 2020, kita tidak dapat deviden.

Bila negosiasi kita lebih berdaulat dua tahun lalu, semestinya tahun 2021 ini juga, Indonesia mendapat 100 persen konsesi yang selama ini dimiliki Freeport. Tapi sayang itu tidak terjadi, Indonesia hanya mendapatkan 51 persen saham dengan kendali operasi masih dipegang Freeport. Dan kita hanya mendapatkan deviden sejak tahun ke-3 (2021).

Anggaplah Indonesia akan dapat deviden 200 juta dollar AS stabil setiap tahun. Tapi berapa sih besar utang yang dibuat Inalum untuk membeli 51 persen saham Freeport tahun 2019? Sebesar 4 miliar dollar AS (harga saham 3,85 miliar dollar AS). Terbagi menjadi 4 jenis utang, seperti table berikut, yang juga mengalikan besaran bunga majemuk sepanjang tenor masing-masing:

Jadi total utang plus bunganya adalah sebesar 5,98 miliar dollar AS. Bila diasumsikan deviden stabil 200 juta dollar AS setiap tahun, maka untuk membayar impas utang saja (dengan deviden) Indonesia memerlukan waktu 29,9 tahun. Genapkanlah 30 tahun. Tapi apakah selama 30 tahun ke depan cadangan masih ada?

Nyatanya Inalum perlu berutang lagi pada 2020 untuk membayar “argo” cicilan dan bunga utang yang dibuat tahun 2019, karena deviden belum datang. Nilai utang baru yang dibuat pada Mei 2020 adalah sebesar 2,5 miliar dollar AS.

Menurut perhitungan Dirut Inalum, mereka harus membayar bunga sebesar 250 juta dollar AS setiap tahun. Sekali lagi, coba kita bandingkan dengan besaran deviden tahun 2021 yang sebesar 200 juta dollar AS. Artinya bila dibandingkan dengan pembayaran bunga utang, kita masih defisit 50 juta dollar AS! Deviden dari Freeport terlalu kecil, bahkan tidak cukup untuk membayar bunga utang Inalum. (Memang ada proyeksi tahun 2022 deviden bisa meningkat ke US$ 500 juta, tapi belum pasti).

Apa Yang Harusnya Dilakukan?

PT Freeport Indonesia (PTFI) tahun 2019 hanya membukukan laba bersih 166 juta dollar AS, dan pada tahun 2020 sebesar 366 juta dollar AS. Dan kita mengelontorkan dana pembelian sebesar  3,85 miliar dollar AS untuk membayar Freeport McMoran dan Rio Tinto. Dana tersebut kita gunakan untuk membeli hak partisipatif Rio Tinto yang setara 40 persen saham di PTFI.

Padahal seandainya kontrak PTFI tidak diperpanjang oleh Pemerintah Indonesia, maka hak partisipatif Rio Tinto tersebut tidak ada harganya. Bahkan, bila berani berdikari, Indonesia bisa memiliki 100 persen saham Freeport hanya dengan menunggu sampai akhir tahun 2021 ini, dengan cara menggantung perpanjangan kontrak Freeport.

Tapi sudahlah, memang opsi yang dipilih adalah membeli saham Freeport. Tapi untuk hal pembelian saham ini pun kita seharusnya dapat lebih cerdas. Seharusnya Indonesia lewat Inalum memilih untuk membeli saham Freeport McMoran (FCX), bukan PTFI.

Pembelian saham FCX dapat dilakukan pada saat harga jatuh, sehingga kita bisa mendapatkan porsi yang besar. Misalnya, pada tahun 2016, pada saat ramai kasus “Papa Minta Saham”. Saat itu (awal 2016) saham FCX hancur hingga sampai US$ 3,98/lembar. (harga saat ini sudah US$ 37,8/lembar)

Bila laba bersih PTFI dibandingkan dengan laba Freeport McMoran (FCX), yang sahamnya terdaftar di NYSE: pada akhir tahun 2020 FCX tercatat berhasil bukukan laba 1,47 milar dollar AS. Besarnya empat kali lipat dari laba PTFI.

Jadi, seandainya waktu itu yang Inalum beli adalah saham FCX, maka besar deviden dapat sedikitnya empat kali lipat dari yang diterima sekatang. Atau sekitar 800 juta dollar per tahun.

Kerugian Lain

Selain masalah kerugian-kerugian ekonomi tersebut, ada kerugian lain seperti:

Pertama, wanprestasi pembangunan smelter. Dalam kontrak karya yang terakhir, Freeport semestinya menyelesaikan pembangunan smelter pada tahun 1996. Terjadi wanprestasi. Hingga kini smelter yang dimaksud tidak berhasil diwujudkan 100 persen seperti dijanjikan oleh Freeport. Sejak pembaruan kontrak tahun 2018 hingga per September 2020, perkembangan pembangunan smelter di kawasan Java Integrated Industrial and Port Estate (JIIPE) di Gresik, Jawa Timur, tersebut baru mencapai 5,86 persen.

Kedua, denda kerusakan lingkungan. Sampai saat ini Indonesia belum pernah menerima pembayaran denda dari Freeport atas kerusakan lingkungan yang ditimbulkan. Pada tahun 2018, BPK pernah mempublikasikan besaran kerugian yang diderita Indonesia akibat kerusakan ekosistem selama terjadinya operasinya: Rp 185 triliun. Hingga detik ini tidak ada sepeserpun yang Indonesia terima.***

GEDE SANDRA, Analis Ekonomi Universitas Bung Karno (UBK)

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid