Mempercakapkan Amir Sjarifoeddin selalu asyik. Pasalnya, perjalanan hidupnya sungguh luar biasa. Kalau menggunakan pendekatan ‘story telling’, sebagai karakter ia tidak datar melainkan bundar betul. Secara fisiologi, sosiologi, dan psikologi serba kuat.
Perawakannya semampai. Saat berpenampilan kasual pun—mengenakan sarung dan berkaos singlet, misalnya—keeleganannya tidak luntur. Pun, ketika berjas komplit yang dikombinasikan dengan celana pendek. Apalagi kalau bersetelan lengkap.
Latar keluarganya begitu meyakinkan. Eprahim Harahap, kakeknya (dari pihak ayah) merupakan Batak Kristen angkatan perdana. Tepatnya, merupakan murid dari August Schreiber, penginjil pendiri Seminari Parausorat, Sipirok, pada paruh pertama 1860-an. Setelah tak menjadi guru, sang kakek menjadi pebisnis yang tajir.
Ayah Amir sendiri, Baginda Soripada Harahap, seorang jaksa tinggi yang pernah berdinas di Medan dan Sibolga. Dia berpaling dari Kristen ke Islam karena perkawinan.
Sebagai cucu dan anak pembesar pribumi, bocah yang nama ningratnya Mangaradja Soaloon bersekolah dasar di ELS yang berbahasa Belanda.
Serupa abang sepupunya, Sutan Goenoeng Moelia (kelak, doktor antrapologi lulusan Universitas Leiden menjadi Menteri Pendidikan RI yang ke-2), masih berusia 14 tahun ia tatkala melanjutkan pendidikan ke gymnasiun Belanda.
Selama di sana remaja yang tetap muslim ini mendalami bahasa Latin, bahasa Yunani, sastra, serta filsafat. Tak mengherankanlah jika setelah dewasa nanti dia menguasai dengan baik 8 bahasa asing sekaligus. Kata lainnya, polygot.
Berbahasa Indonesia juga ia piawai. Wajar tentunya sebab saat menjadi mahasiswa di Sekolah Tinggi Hukum (RHS, Batavia) junior sekaligus karib sekampus-seasrama Muhammad Yamin telah menjadi Pemimpin Redaksi ‘Indonesia Raja’ milik Perhimpunan Pemuda Peladjar Indonesia (PPPI).
Organisasi inilah yang menyelenggarakan Kongres Pemuda ke-2 (1928) yang melahirkan Sumpah Pemuda di asrama berjulukan ‘rumah debat’ yang berlokasi Jalan Kramat 106 [kini menjadi Museum Sumpah Pemuda]. Menjadi bendahara dalam perhelatan maha bersejarah tersebut, Amir mewakili Jong Batak’s Bond yang dipimpinnya bersama Sanusi Pane dan yang lain.
Mengomandoi redaksi terbitan Partindo, ‘Banteng’ pun pernah sang humoris yang berpaling menjadi Kristen akibat pergaulan dengan para zendling—terutama Kees van Dorn (Sekjen Christen Studenten Vereeniging op Java; kelak menjadi Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia atau GMKI) dan MJ Scheffer (guru besar hukum pidana dan filsafat di RHS; jadi, merupakan dosen selain karibnya) di asrama Kramat 106.
Berkesempatan menjadi unsur Dewan Redaksi ‘Poedjangga Baroe’ dan beberapa media massa lain, Amir—violis yang gemar berenang—wajar saja kalau menjadi salah seorang pembicara dalam Kongres Bahasa Indonesia yang pertama (1938).
Orang media yang berjejaring luas termasuk di lingkungan kaum muda progresif. Inilah antara lain kredit poin yang membuat jago debat yang juga orator kampiun (dalam hal ini hanya Soekarno yang sepadan dengan dia) dipilih sebagai Menteri Penerangan dalam kabinet pertama RI.
Dunia strategi merupakan minat Amir sejak masih belia. Luas jagat wawasannya soal yang satu ini. Soekarno yang bergabung dengan dia di Partindo sebebas dari penjara sangat mengetahuinya. Sebab itulah sang proklamator meminta pentolan Gerindo dan GAPI itu mengontak para perwira senior saat pemerintah akhirnya memutuskan untuk membentuk organisasi tentara yang sungguhan, bukan Badan Keamanan Rakjat (BKR) yang kedudukannya banci.
MENGKUDETA SOEKARNO
Masih di tahun 1945, kelompok pemuda yang dipimpin Sutan Sjahrir dan Amir Sjarifoeddin bermanuver lewat KNIP. Sjahrir menjadi ketua baru lembaga ini dan Amir wakilnya. Direstui oleh Wapres Mohammad Hatta lewat Maklumat X, sistem presidensil pun mereka ubah menjadi parlementer. Parpol mereka hadirkan. Soekarno akhirnya tersisih akibat ‘kudeta diam-diam’ yang diotaki 3 demokrat lulusan Belanda.
Duet Sjahrir-Amir lantas membentuk kabinet yang anggotanya geng mereka sendiri. Diumumkan pada 14 November 1945, posisi terpenting ada di tangan kedua sosok terkemuka yang merupakan idola kaum muda revolusioner karena mereka memang terbebas dari cap ‘koloborator Jepang’ seperti yang melekat pada ‘Kabinet Bucho’ [cabinet kantor] yang dipimpin Soekarno.
Amir menjadi Menteri Pertahanan selain Menteri Penerangan. Sjahrir sendiri merangkap Menteri luar Negeri dan Menteri Dalam Negeri.
Sebagai Menhan, Amir yang progresif-radikal punya konsep sendiri tentang tentara nasional. Sebagaimana Sjahrir yang sangat mementingkan tegaknya demokrasi, supremasi sipil sipil yang dikendakinya.
Inilah awal keretakannya dengan kubu Panglima Soedirman yang bermarkas di Yogyakarta. Kelak Soedirman akan merapat ke kelompok Persatuan Perjuangan (PP, berunsurkan 141 organisasi) yang dikomandoi Tan Malaka. Amir menyahuti dengan memperbesar Biro Perjuangan yang unsur terkuatnya tak lain dari pasukan kubu Sosialis, Pesindo.
Agenda PP jelas: menumbangkan Sjahrir-Amir yang sudi berunding dengan Belanda, penjajah yang hadir untuk menguasai kembali Indonesia. Tentu saja mereka kemudian berkonfrontasi langsung dengan Biro Perjuangan. Sjahrir sempat diculik. Amir bahkan ditembaki. Ia lolos namun 2 pengawalnya tewas seketika.
Sjahrir yang 3 kali membentuk kabinet akhirnya tumbang akibat meneken perjanjian Linggarjati. Giliran Amir, sang anti fasis, yang menjadi perdana menteri. Ia menjadi orang nomor satu di saat posisi Indonesia kian terjepit akibat agresi militer Belanda yang kian masif.
Ternyata ia juga tersungkur akibat perjanjian Renville yang kian mengkerdilkan wilayah Indonesia (tinggal bagian tengah Pulau Jawa yang sebagian besar kawasan miskin). Anggota koalisi meninggalkan dia. Hatta yang menjadi perdana menteri.
Di tengah keterpurukan yang luar biasa itulah Amir Sjarifoeedin merapat ke Musso yang baru pulang dari Moskow. Mereka bersekutu dalam Front Demokrasi Rakyat (FDR)—PKI.
Peristiwa Madiun terjadi pada September 1948. Merupakan puncak akumulasi, pemicunya tak lain dari perbenturan antar-tentara yang pro dan anti pemerintah di wilayah yang masih menjadi bagian dari Indonesia. Pasukan Siliwangi yang terpaksa hijrah dari Jawa Barat (akibat Perjanjian Linggarjati), misalnya, tak disukai oleh oleh kesatuan lokal. Baku culik dan bunuh terjadi. Panglima Divisi IV/ Penembahan Senopati Soetarto pun ditembak mati.
Presiden Soekarno berpidato di radio setelah FDR-PKI menguasai Madiun. Ia meminta rakyat menentukan sikap: memilih Soekarno-Hatta atau Moesso.
Akhir dari ‘Madiun Affair’? Kaum kiri (FDR-PKI) dipukul oleh pasukan pemerintah yang digerakkan PM Hatta. TNI merebut Madiun pada 30 September 1948.
Moesso ditembak mati. Amir Sjarifoeddin dkk. yang melarikan diri akhirnya dibekuk Batalyon Kemal Idris (Siliwangi). Gubernur Militer baru, Gatot Soebroto, menjalankan eksekusi kilat.
Amir bersama 10 sekutunya ditembak mati di Ngalihan, Solo, menjelang Natal 1948 (19-20 Desember).
Pembantaian Amir dkk. berlangsung di saat Belanda memulai agresi militer ke-2, yakni pada 19 Desember. Mengapa eksekusi sangat tergesa? Apa pula urgensinya? Toh, Indonesia sudah sangat tak berdaya lagi menghadapi agresi penjajah.
Ironisnya, hanya 3 hari kemudian (22 Desember) Sokarno, Hatta, dan Agus Salim diasingkan Belanda ke luar Pulau Jawa. Harus kita ingat bahwa Indonesia ‘de facto’ baru berdeka setelah hasil Konferensi Meja Bundar diteken pada 27 Desember 1949. Konferensi ini ditopang penuh oleh Amerika Serikat yang memang sedang giat membangun aliansi untuk menyahuti Perang Dingin.
Banyak betul memang yang ganjil terkait Peristiwa Madiun dan penembakan mati Amir cs. Adapun DN Aidit, ia punya penjelasan tersendiri tentang itu. Di sidang Pengadilan Negeri Jakarta tahun 1955, ia menyatakan Mohammad Hatta yang alergi komunis dan telah mulai main mata dengan Amerika Serikat-lah dalang semuanya.
Pentolan PKI pasca pemberontakan tahun 1926 itu disidang karena dianggap mencemarkan nama baik sang mantan Wapres. Untuk seterusnya Aidit konsisten memegang pendapatnya.
Ah, percakapan tentang Amir Sjarifoedin memang sangat menarik dan seakan tak ada habisnya. Seperti kata sobatnya yang kemudian pernah menjadi Menteri Pendidikan Kebudayaan mewakili Masjumi, dr. Abu Hanafiah (adik Usmar Ismail ini merupakan penulis lakon ‘Topan di atas Asia’) revolusi telah memakan anaknya sendiri. Anak itu tak lain dari Amir Sjarifoeedin.
Indonesianis terkemuka Ben Benderson menyebut bahwa Amir itu”…sangat cerdas, rajin, ambisius, ramah, emosional tetapi penuh humor juga.”
Masih kata Ben, Amir “seorang yang sukar dibenci bahkan oleh musuh politiknya sekalipun.
Kualitas seperti yang dilukiskan Ben Anderson itu termasuk yang kupercakapkan saat menjadi salah satu pembahas dalam diskusi di Kedai Utan Kayu, Jumat petang kemarin (23 Juni 2023).
Amir memang bapak bangsa yang sangat istimewa. Kisahnya tak kalah menarik dibanding Soekarno, Hatta, Sjahrir, dan Tan Malaka. Hanya saja ia tetap dipinggirkan dengan sengaja, hingga detik ini, termasuk oleh orang Batak dan kaum Kristen Indonesia yang diperjuangkannya dengan sepenuh hati.
Masih saja fobia terhadap komunisme, mereka pun melupakan atau tak mau tahu bahwa putra Basunu Siregar dan suami Djaenah Harahap berjasa dalam pembangunan gereja HKBP Yogyakarta dan HKBP Kernolong (Jakarta) serta kerap berkhotbah di sana.
Sebagai pengagum berat, diriku masih terus menyusuri jejak Bung Amir, sang nasionalis-revolusioner tulen yang panjang dan sangat berliku. Sudah lama kuniatkan menuliskan kitab khusus tentang dia. Drafku sudah sekitar 50 halaman sebelum mangkrak bertahun-tahun.
Gairah untuk merampungkannya muncul kembali antara lain karena diskusi di Utan Kayu kemarin yang dihelat oleh pengacara Mangapul Silalahi dan kawan-kawannya yang sebagian unsur gerakan mahasiswa 1998.
Sejarah, seperti kata Bung Karno, memang tak boleh dilupakan agar kita tak mengulang-ulang kesalahan yang sama. Bukankah kita tak lebih dungu dari kedelai..eh, keledai?
Hasudungan Sirait, Jurnalis