Mulutmu harimaumu. Pepatah itu sangat tepat untuk mengingatkan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Marzuki Alie. Saat menjadi pembicara dalam seminar Badan Eksekutif Mahasiswa-Perguruan Tinggi Nahdlatul Ulama se-nusantara di kampus Unipdu Rejoso, Peterongan, Jombang, Minggu (8/7/2012), Marzuki Alie mengatakan, “orang miskin itu karena salahnya sendiri, karena dia malas bekerja.”
Selain itu, petinggi partai Demokrat itu mengurai persoalan kemiskinan sebagai persoalan pribadi (personal). Katanya, tidak ada orang miskin yang disebabkan oleh orang lain. “Salah sendiri malas. Kalau mau usaha, pasti tidak miskin,” kata politisi yang pernah meraih gelar PhD di Universiti Utara Malaysia (UUM) ini.
Kita tak perlu heran dengan pernyataan Marzuki Alie itu. Sebab, cara pandang Marzuki Alie mewakili banyak kelompok konservatif dan liberal di negeri ini. Mereka melihat kemiskinan sebagai problem mentalitas atau personal, yakni tidak punya etos kerja, tidak punya minat mengembangkan usaha, dan kurang inovatif.
Benarkah demikian? Tidak ada orang yang bercita-cita hidup miskin. Apalagi berbahagia menikmati kemiskinannya. Faktor “malas”, seperti yang dijelaskan Marzuki Ali, juga tak bisa menjadi penjelasan ilmiah atas problem kemiskinan. Lihat saja ibu-ibu atau kaum perempuan yang bekerja sebagai bakul sayur. Siapa yang berani mengatakan mereka kurang etos kerja. Mulai dini hari, ketika para pejabat dan kapitalis itu masih nyenyak tidurnya, mereka sudah bergulat dengan pekerjaannya.
Akan tetapi, meski sudah puluhan tahun bekerja, tetap saja mayoritas bakul sayur itu mengalami kesulitan ekonomi. Pendapatan mereka terkadang hanya cukup untuk survive. Akibatnya, banyak kebutuhan dasar lain yang tak terjangkau: pendidikan, kesehatan, perumahan, dan lain-lain. Kemudian, sebagai konsekuensi lebih lanjut, anak-anak mereka pun kesulitan mengakses pendidikan dan kesehatan. Mereka seperti hidup dalam siklus kemiskinan.
Bagi kami, persoalan kemiskinan tidak bisa diisolasi dari problem struktural, yakni sistem ekonomi dan politik. Indonesia punya syarat-syarat untuk menjadi negara makmur: kekayaan alam, posisi geografis yang strategis, jumlah penduduk yang besar, kekayaan pengetahuan dan tradisi, dan lain-lain. Sayang, gara-gara kebijakan ekonomi-politik yang salah, semua potensi itu tidak menjadi “potensi” melainkan “kutukan”.
Indonesia terjajah selama ratusan tahun. Begitu merdeka, Indonesia belum punya kesempatan untuk mengatur rumah tangga ekonomi dan politiknya. Negeri-negeri imperialis terus berebut peluang menjajah kembali negeri ini. Tetapi melalui apa yang disebut “penjajahan model baru”. Tahun 1965 adalah titik-balik dari perjuangan bangsa Indonesia menjadi bangsa merdeka dan berdaulat. Sejak saat itu, Indonesia kembali mengalami rekolonialisme. Sumber-sumber kemakmuran itu—kekayaan alam, jumlah penduduk, posisi geografis yang strategis, dan lain-lain—justru dieksploitasi oleh kaum imperialis untuk kepentingan mereka.
Tahun 1998 rezim orde baru runtuh. Tetapi “kemerdekaan politik dan ekonomi” belum juga ditampuk rakyat Indonesia. Negara ini diperintah oleh rezim berhaluan “neoliberal”. Indonesia pun mengalami proses rekolonialisme yang lebih parah: privatisasi, pencabutan subdisi, liberalisasi perdagangan, restrukturisasi keuangan, dan lain-lain.
Ini membawa dampak berantai. Sektor pertanian kita hancur akibat liberalisasi perdagangan. Produksi pangan kita pun makin merosot. Bayangkan, Indonesia sekarang menjadi importir pangan terbesar di dunia. Pada aspek lain, jutaan rakyat yang bergantung di sektor ini terampas kesejahteraannya.
Begitu pula dengan gejala deindustrialisasi yang kian menghebat. Mayoritas rakyat kita—kira-kira 70%–terlempar ke sektor informal. Sedangkan PHK, sistim kerja kontrak, politik upah murah terus menghantui kaum buruh.
Ditambah lagi, negara memprivatisasi semua layanan dasar rakyat: pendidikan, kesehatan, air minum/bersih, dan lain-lain. Rakyat dipaksa membayar mahal setiap pemenuhan kebutuhan dasarnya. Akibatnya, banyak rakyat Indonesia yang tak sanggup mengakses layanan dasar secara layak. Ini pula yang membuat Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia menurun.
Sedangkan korupsi, sebagai bentuk akumulasi kapitalisme yang paling primitif, juga terus-menerus terjadi. Partai Demokrat, partainya Marzuki Alie, sedang digoyang oleh banyak sekali kasus korupsi.
Sistim ekonomi-politik-lah penyebab kemiskinan itu. Dan, sekarang ini, tentu saja neoliberalisme yang menjadi akar persoalannya. Juga, perlu diketahui, rezim SBY-Budiono—yang disokong oleh partai demokrat—adalah penyokong utama sistem neoliberal di negara ini.