Korupsi Perijinan CPO, Hanya Secuil Dari Permainan Skema Besar Sawit Di Indonesia

Airlangga Hartarto,  Menkoperekonomian RI, juga Ketua Umum Partai Golkar akhirnya memenuhi panggilan kedua Kejaksaan Agung terkait kasus izin ekspor CPO.  Airlangga Hartarto diperiksa sebagai Menteri Koordinator Perekonomian. Sebagai Menteri, Airlangga seharusnya mencegah terjadinya kelangkaan minyak goreng ketika situasi di dalam negeri terjadi kelangkaan minyak goreng.

Indonesia sebagai produsen minyak goreng terbesar dunia malah  kebocoran dengan terjadinya pemberian ijin ekspor CPO ke luar negeri yang pelakunya para Taipan Penguasa Sawit di Indonesia yang disebut para Oligark Sawit Indonesia.

Bukan hal baru jika Oligarki itu punya hubungan dengan para Elit dan penguasa saat ini.  Dengan adanya kelangkaan, mereka bisa meraup untung ratusan kali lipat. Juga, bukanlah hal yang mengejutkan, periode ke-2 (dua) Pemerintahan Jokowi banyak pembantunya tersangkut kasus-kasus mega proyek, yang tidak perlu diurai satu-persatu.

Jelas sekali permufakatan jahat Corporasi Skandal Ijin Korupsi CPO 3 perusahaan minyak CPO raksasa:  Wilmar Group, Musimas dan Permata Hijau. Para petinggi perusahaan itu pun dijadikan tersangka termasuk pejabat tinggi di Kementerian Perdagangan RI (Indrashari) yang meloloskan izin ekspor.

Kejahatan permufakatan Korporasi Perkebunan dengan dikeluarkannya persetujuan eksportir yang seharusnya ditolak ijinnya karena tidak memenuhi syarat yaitu mendistribusikan CPO atau RBD Palm Oil tidak sesuai dengan harga penjualan dalam negeri (DPO, tidak mendistribusikan CPO dan RBD Palm Oil ke dalam negeri sebagaimana kewajiban yang ada dalam DMO 20% dari total ekspor).

Apakah dipanggilnya Airlangga Hartarto mempengaruhi nasib para pedagang gorengan di pinggir jalan? Ada pengaruh dengan petani sawit kecil, dengan Buruh Perkebunan, Buruh Industri? Sudah pasti: jelas tidak memiliki hubungan. Gejolak politik memanas saat ini hanya permainan para elit dan Oligarki yang berebut kuasa; tidak ada kaitannya dengan rakyat biasa.

Tapi penulis melihat situasi tersebut penting dipahami kelas petani dan kelas pekerja bahwa tergambar jelas bagaimana “kejahatan korporasi perkebunan kelapa sawit dengan Pemerintah yang didukung mulus oleh para pejabat dan Petinggi Negara” ketika baru saja rakyat lepas dari pandemi lalu masuk pada situasi beruntun bahwa di negeri yang kaya minyak ini  terjadi minyak langka.

Mendengar bahwa pemeriksaan Airlangga Hartarto itu adalah bagian dari pengembangan kasus, mungkin Airlangga sebagai menteri  seharusnya memang bertanggung jawab terhadap kelangkaan minyak goreng di dalam negeri. Untuk itu semua dikembalikan pada profesionalisme Kejaksaan Agung dalam menuntaskan kejahatan korupsi ijin CPO secara Adil dan transparan.

Selanjutnya, apakah petani Sawit mandiri di Indonesia khususnya di Kalimantan Barat diuntungkan dengan kenaikan CPO yang tinggi? Sejenak iya tapi jauh sebelum naiknya CPO ke level tertinggi di angka IDR  17.000 -18.000/Kg, petani sudah dihantam dengan kenaikan pupuk sebanyak 300%. Ya kalau dipikir kenaikan itu hanya mengurangi biaya tinggi pupuk saja. Ditambah harga minyak goreng bisa tembus 20.000 s.d 30.000 ribu per kg, berdampak harga bahan makanan mengalami kenaikan. Bagaimanalah mungkin para Oligark rakus itu tidak selera akan situasi kala itu. Sudah pasti persekongkolan itu pun terjadi (dengan menjual CPO 12.000 saja, pengusaha Sawit sudah untung.  Itu belum termasuk turunan yang lain dari Sawit) apalagi harga CPO sudah tembus level nasional di angka 18.000/Kg.  Sangat menggiurkan.

Selama tahun politik ini, tidak heran publik disuguhi dagelan politik para badut-badut penguasa.  Kekerasan terhadap perjuangan hak-hak petani terus ada.  Kasus-kasus agraria masih banyak yang belum tuntas,

Sejatinya sudah cukup petani dan kaum miskin dipertontonkan dengan suguhan reformasi hukum yang tajam ke bawah tumpul ke atas.  Petani harus fokus pada perjuangannya. Petani jangan mudah dibodohi dengan suguhan acting politisi badutan yang berebut panggung.

Belajar dari kasus tersebut, petani Sawit harus memahami pentingnya berserikat. Memperkuat kelembagaan usaha tani bertujuan agar petani memiliki posisi tawar terhadap kebijakan negara di sektor persawitan; juga mendorong kekuatan petani mandiri secara ekonomi.

Sendi-sendi pemerintahan di Indonesia ini sudah dikuasai 1% kelompok orang yang disebut Oligark.  Mereka menguasai Partai.  Mereka menguasai 50% lebih asset Sumber Daya Alam negeri ini. Mereka juga menguasai para aparat penegak hukum.

Lihat bagaimana bengisnya para aparat mengawal si Tuan yang punya kebun,  si punya pabrik, si punya konsesi tambang demi kenyamanan Investasi dan pembangunan. Kejahatan korporasi pun merajalela.  Mereka dibiarkan makan sepuasnya. Diberikanlah suguhan hiburan sang badut masuk pesakitan. Barangkali, itulah kisah Airlangga Hartarto (sang Koordinator Menteri) yang doyan makan sampai lupa masih ada yang perlu makan.

Ada skenario kejahatan yang lebih besar dimainkan oleh pengusaha dan penguasa.  Petani Sawit salah satu penyumbang devisa negara 250 T dari ekspor CPO (tahun 2019). Ada  3 Juta Petani Sawit hidup tapi tak bisa menabung, tak cukup untuk bayar pendidikan anaknya, tak cukup beli pupuk (di masa pemerintahan Jokowi–Ma’ruf,  kenaikan pupuk 300%) sehingga Tuhan pun turun tangan merawat tanaman sawitnya, yang kurang gizi (stunting).

Total lahan Sawit Indonesia ada 16,46 Juta Ha. Di situ ada 41% lahan petani Sawit mandiri. Mirisnya petani pun tak punya kekuatan menentukan harga komoditas TBS Sawit di tingkat provinsi dan terkait perhitungan nilai berapa harga layak TBS Sawit milik petani mandiri.

Hampir tidak ada upaya pemerintah sedikitpun memperkuat posisi petani. Inilah situasi berbahaya bagi petani dan nasib 3.000.000 orang petani dan keluarganya.  Bagi penulis, kasus yang menimpa Airlangga si Menteri itu hanya secuil kasus terkait masalah Sawit, yang kejahatannya sudah terorganisir selama puluhan tahun.

Binsar Tua Ritonga,

Ketua Pimpinan Wilayah Serikat Tani Nelayan (PW STN) Kalimantan Barat

Leave a Response