Dua hari jelang tutup tahun 2022, Presiden Joko Widodo mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja.
Perppu itu menuai kontroversi. Selain proses penerbitannya yang dianggap bermasalah, karena tak ada hal ihwal kegentingan yang memaksa (pasal 22 UUD 1945), substansinya juga hanya melanjutkan pasal-pasal bermasalah dalam UU Cipta Kerja.
Alih-alih menciptakan kepastian hukum seperti yang digadang-gadang oleh pemerintah, Perppu ini justru lahir dari basis hukum yang lemah dan rawan digugat oleh banyak pihak.
Namun, terlepas dari persoalan itu, ada paradigma yang perlu dipertanyakan dalam Perppu itu, yakni praktek upah murah, hari kerja yang lebih panjang, pesangon lebih kecil, hilangnya batasan pekerjaan alih daya, dan sistem kerja kontrak.
Semua ketentuan itu dibuat demi satu tujuan: memfasilitasi kemudahan berinvestasi dan iklim usaha di negeri ini.
Namun, ketentuan-ketentuan itu juga mengingatkan kita pada praktek “sweatshop”, yaitu memeras pekerja dengan upah murah, jam kerja panjang, dan kondisi kerja tidak layak, yang seharusnya tak ada lagi di era sekarang ini.
Pertanyaannya, kenapa pemerintah selalu menggunakan upah murah dan daya tawar buruh yang rendah sebagai daya penarik investasi?
Persoalan Korupsi
Padahal, dalam Global Competitiveness Report 2017-2018, World Economic Forum (WEF) sudah mengingatkan bahwa hambatan utama di Indonesia adalah korupsi.
Persoalan lainnya adalah inefisiensi birokrasi, akses ke pembiayaan, infrastruktur yang kurang memadai, kebijakan yang berubah-ubah, dan pemerintahan yang tidak stabil.
Menariknya, dalam laporan tersebut, isu dan aturan ketenagakerjaan justru menempati posisi agak di bawah (urutan ke-13 dari 16 faktor/kategori).
Anehnya, bukannya serius memerangi korupsi, pemerintah justru merevisi UU KPK yang terbukti memperlemah pemberantasan korupsi di Indonesia. Beberapa hari lalu, Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mempersoalkan operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan KPK.
Mengapa Menghambat Investasi?
Korupsi membuat kegiatan berbisnis di Indonesia berbiaya sangat tinggi. Di Indonesia, pebisnis kerap diharuskan mengeluarkan biaya tambahan 10 persen, kerap disebut sebagai “uang pelicin”, demi memperlancarkan kegiatan usahanya.
Data KPK sejak 2004-2018 menunjukkan setidaknya 64 persen perkara korupsi dilakukan dengan modus penyuapan. Tentu saja, biaya pelicin itu menambah biaya produksi dan mengurangi profitabilitas investasi.
Survei yang dilakukan oleh Control Risks and Simmons & Simmonsin pada 2006 menunjukkan, seperempat responden mengaku korupsi menyebabkan peningkatan biaya investasi mereka sebesar 5 persen. Bahkan ada 8 persen responden yang mengaku biaya investasi mereka meningkat hampir 50 persen.
Pada 2010, Ketua APINDO Sofjan Wanandi menyebut korupsi telah menurunkan nilai investasi hingga 15 persen. Menurutnya, banyak birokrasi yang menghambat pengusaha untuk menanamkan modalnya. “Tentu kami mencari jalan akhirnya dengan duit. Kalau tidak dipersulit, kami tidak perlu mencari jalan dengan itu. Masa kami mau sukarela mengeluarkan duit,” katanya.
Selain menciptakan biaya tinggi, korupsi juga membuat alokasi belanja pemerintah untuk infrastruktur dan perbaikan layanan dasar (pendidikan dan kesehatan) menjadi berkurang. Sebab, program-program pembangunan berpindah ke kantong segelintir orang.
Karena praktek korupsi, banyak proyek infrastruktur tidak dibekali studi kelayakan. Data ekonom Faisal Basri menyebut, dalam proyek strategis nasional (PSN), dari 33 proyek di sektor perhubungan, hanya 9 proyek yang mempunyai dokumen studi kelayakan. Akibatnya, banyak infrastruktur dibangun asal jadi. Tak sedikit yang kualitasnya buruk.
Sementara itu, rendahnya investasi ke sektor layanan dasar, terutama pendidikan dan kesehatan, membuat kualitas SDM Indonesia tidak membaik, kurang kompetitif, dan mempengaruhi produktivitas.
Korupsi juga membuat pemerintah tidak efisien, tidak punya integritas, dan memunculkan ketidakpastian berusaha. Biasanya, investor asing akan menghindari negara yang tingkat korupsinya tinggi (Habib dan Zurawicki, 2002).
Studi Mauro (1995) menunjukkan, semakin tinggi korupsi, maka semakin rendah investasi dan semakin menurun/melambat pertumbuhan ekonomi.

Menurutnya, negara yang bisa menaikan indeks persepsi korupsinya dari 6 menjadi 8 (skor 0 berarti sangat buruk, sedangkan 10 berarti terbebas dari korupsi) akan menikmati keuntungan dari peningkatan investasi 4 poin.
Tak usah jauh-jauh, mari kita lihat Singapura. Negeri singa ini selalu masuk daftar 10 negara dengan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) tertinggi. Di saat yang sama, kinerha investasi dan ekonominya luar biasa.
Data Konferensi PBB mengenai Perdagangan dan Pembangunan (UNCTAD) menyebutkan, Singapura memiliki aliran modal asing terbesar ke-5 di dunia, yaitu US$ 77,6 miliar. Singapura juga selalu masuk daftar 10 negara penerima investasi asing langsung (FDI) di dunia. Negara ini juga masuk daftar 10 negara “best countries to invest”.
Jadi, sampai kapan kita terus-menerus berharap kelimpahan investasi sembari terus bertungkus-lumus dalam lubang korupsi?
MAHENDRA UTAMA
- Fascinated
- Happy
- Sad
- Angry
- Bored
- Afraid