Artikel ini dibuat untuk menanggapi peristiwa kerusuhan di depan kantor BP Batam, tanggal 11 September 2023, yang mengakibatkan salah seorang orator unjuk rasa bernama Iswandi alias Awi dijatuhi pidana penjara selama 6 bulan karena melakukan tindak pidana penghasutan.
Ketentuan hukum pidana tentang penghasutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 160 wetboek van strafrecht voor nederlandsch-indië sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana (selanjutnya disebut WvS), terdiri dari 4 (empat) unsur kumulatif yaitu pertama, barang siapa; kedua, di muka umum; ketiga, dengan lisan atau tulisan; keempat, menghasut dengan tujuan. Pada unsur keempat terdapat 4 (empat) sub-unsur alternatif yaitu berupa tujuan untuk, pertama, dilakukan suatu peristiwa pidana (pelanggaran atau kejahatan) ; kedua, melawan pada kekuasaan umum dengan kekerasan; ketiga, jangan mau menurut pada peraturan perundang-undangan; keempat, jangan mau menurut perintah (jabatan) yang sah yang diberikan menurut undang-undang. Secara normatif, ketentuan a quo dirumuskan secara formil sejak diberlakukan pada masa pemerintahan Hindia Belanda dengan raison d’etre-nya sebagai alat “untuk menjerat tokoh-tokoh pergerakan yang memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, dan setelah pemerintahan kemerdekaan Indonesia, pasal a quo sering digunakan oleh pemerintah untuk menjerat setiap orang yang memiliki pikiran kritis kepada pemerintah.” Kesadaran Mahkamah Konstitusi terkait inkonsistensinya das sein pada fakta penegakan hukum dugaan tindak pidana penghasutan dengan das sollen yang berdasar pada “kedudukan Republik Indonesia sebagai negara merdeka” dalam Pasal 160 WvS, adalah dasar argumentasi yang menjadi inti ratio decidendi Mahkamah Konstitusi untuk memerintahkan penegak hukum supaya “dalam penerapannya, pasal a quo harus ditafsirkan sebagai delik materiil dan bukan sebagai delik formil.” Secara formil, perintah tersebut tidak dinyatakan dalam amar putusan pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 7/PUU-VII/2009 akan tetapi secara materiil penegak hukum “seharusnya paham” terhadap ratio legis Pasal 160 WvS yang tidak bertentangan dengan kedudukan Republik Indonesia sebagai negara merdeka. Pemahaman tersebut sudah seharusnya diterapkan oleh penegak hukum di seluruh Indonesia termasuk di Batam, mengingat sejak 29 September 1958, Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958 tentang Menyatakan Berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1946 Republik Indonesia tentang Peraturan Hukum Pidana untuk Seluruh Wilayah Republik Indonesia dan Mengubah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana , telah diundangkan. Dengan logika hukum tersebut, maka tidak ada alasan bagi majelis hakim PN Batam dalam Putusan Nomor 936/Pid.B/2023/PN Btm untuk menyatakan bahwa Terdakwa ISWANDI alias AWI terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Penghasutan” sebagaimana dakwaan alternatif ketujuh Penuntut Umum melanggar Pasal 160 KUHP. Berikut legal reasoning penulis dalam eksaminasi terhadap putusan a quo yang salah menerapkan hukum.
Sebab judex facti tidak menganalisis kebenaran koheren antara unsur-unsur tindak pidana dalam Pasal 160 WvS dengan fakta-fakta yang ditemukan dalam persidangan, penulis memiliki pendapat berbeda dengan pertimbangan judex facti, yaitu; pertama, terdakwa hanya memenuhi unsur pertama, kedua, ketiga dan sub-unsur pertama dari unsur keempat tindak pidana dalam Pasal 160 WvS yaitu menghasut supaya dilakukan suatu peristiwa pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 168 ayat (1) WvS ; kedua, terdakwa tidak memenuhi sub-unsur kedua, ketiga dan keempat dari unsur keempat tindak pidana dalam Pasal 160 WvS yaitu a. supaya melawan pada kekuasaan umum dengan kekerasan, karena berdasarkan fakta persidangan, tidak satu patah kata pun terucap dari mulut terdakwa, baik secara langsung maupun tidak langsung untuk mendorong, mengajak, membangkitkan dan membakar semangat demonstran untuk melakukan kekerasan kepada kekuasaan umum; b. jangan mau menurut pada peraturan perundang-undangan , karena berdasarkan fakta persidangan, baik dari jaksa penuntut umum maupun pertimbangan hukum judex facti tidak disebutkan satu pun peraturan perundang-undangan yang dilanggar oleh terdakwa, sebagai syarat terpenuhinya unsur perbuatan melawan hukum formil dalam sub-unsur a quo; c. jangan mau menurut perintah (jabatan) yang sah yang diberikan menurut undang-undang, karena berdasarkan fakta persidangan, petugas keamanan tidak pernah memerintahkan demonstran untuk “tidak masuk ramai-ramai ke kantor BP Batam” melainkan memerintahkan untuk “tidak anarkis” sehingga terdakwa yang menghasut demonstran untuk masuk ramai-ramai ke kantor BP Batam tidak memenuhi sub-unsur keempat dari unsur keempat a quo.
Rumusan delik materiil dalam Pasal 160 WvS ditujukan untuk membuktikan secara terang benderang aspek pertanggungjawaban pidana terdakwa sebagaimana menjadi konsekuensi logis berlakunya salah satu dari 3 (tiga) pilar bangunan sistem pemidanaan (selain tindak pidana serta pidana dan pemidanaan) dalam pokok pikiran keseimbangan monodualistik. Dengan dibuktikannya aspek pertanggungjawaban pidana in casu kesalahan terdakwa maka dapat ditemukan hubungan kausalitas antara perbuatan “penghasut” dengan perbuatan “terhasut”. Dalam perkara a quo, judex facti sama sekali tidak mempertimbangkan, apakah terdakwa telah memenuhi aspek kesalahan yaitu berupa dolus? yang terdiri dari 3 (tiga) kemungkinan; pertama, kesengajaan yang bersifat tujuan (opzet als oogmerk) ; kedua, kesengajaan secara keinsyafan kepastian (opzet bij zekerheids-bewustzijn) ; ketiga, kesengajaan keinsyafan kemungkinan (opzet bij mogelijkheids-bewustzijn) . Meskipun terdakwa telah memenuhi sebagian unsur-unsur tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 160 WvS, dengan tidak dipertimbangkannya aspek kesalahan terdakwa oleh judex facti, yaitu tidak terdapat analisis pernyataan kesalahan terdakwa dalam pertimbangan hukum putusan a quo, mengakibatkan putusan a quo batal demi hukum karena dengan tidak dipertimbangkannya aspek kesalahan terdakwa maka judex facti tidak akan dapat menemukan hubungan sebab-akibat antara perbuatan “penghasut” dengan perbuatan “terhasut” yang merupakan syarat mutlak dari terpenuhinya formulasi delik materiil dalam Pasal 160 WvS.
Jika judex facti mampu menemukan aspek kesalahan terdakwa maka akan dapat ditemukan bahwa ucapan terdakwa merupakan sebab terdekat dari terjadinya peristiwa anarkis di depan kantor BP Batam. Sebab judex facti tidak mampu menemukan aspek kesalahan terdakwa maka penulis berpendirian terdapat 2 (dua) sebab lain yang dapat menjadi sebab terdekat dari terjadinya peristiwa anarkis a quo, yaitu pertama, kesalahan pribadi para pelaku tindak pidana yang dengan terang-terangan dan dengan tenaga bersama menggunakan kekerasan terhadap orang atau barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 170 WvS yang disebabkan karena ketidakpuasan pelaku terhadap penjelasan Kepala BP Batam di depan Kantor BP Batam dan kembali masuknya Kepala BP Batam ke dalam Kantor BP Batam serta tidak kunjung keluar kembali sampai peristiwa anarkis terjadi ; kedua, kesalahan orang lain sebagai pleger di sekitar para pelaku tindak pidana a quo, yang melakukan kekerasan terhadap orang atau barang saat aksi unjuk rasa di selenggarakan di depan Kantor BP Batam sehingga pelaku tindak pidana a quo, terdorong untuk turut serta melakukan tindak pidana sebagai medepleger (ikut-ikutan) . Satu di antara dua sebab tersebut dapat dijadikan sebagai sebab terdekat dari terjadinya peristiwa anarkis a quo, yaitu dengan argumentasi;
Pertama, bahwa berdasarkan Pertimbangan Hukum Putusan Nomor 935/Pid.B/2023/PN Btm, judex facti menemukan sebab terdekat dari terjadinya peristiwa pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 170 ayat (1) WvS yang dilakukan oleh para terdakwa yang diduga sebagai orang-orang yang terhasut oleh perbuatan terdakwa dalam perkara nomor 936/Pid.B/2023/PN Btm in casu Iswandi yaitu: (vide hlm 164)
“… selanjutnya Walikota Batam dan pejabat BP. BATAM serta Kapolresta Barelang menemui peserta aksi dengan maksud untuk mendengarkan aspirasi peserta aksi tersebut dan menyampaikan penjelasannya kepada peserta aksi, namun peserta aksi tidak mau menerima penjelasan dari Walikota Batam sekaligus yang menjabat sebagai Kepala BP BATAM. Atas situasi tersebut Walikota Batam sekaligus yang menjabat sebagai Kepala BP BATAM kembali masuk kedalam Kantor BP BATAM. Kemudian para terdakwa beserta peserta aksi unjuk rasa lainnya merasa tidak puas dengan hal tersebut sehingga para Terdakwa dan peserta aksi unjuk rasa lainnya meminta agar Walikota Batam sekaligus yang menjabat sebagai Kepala BP BATAM kembali keluar dari kantornya untuk menemui para terdakwa dan peserta aksi lainnya. Selanjutnya, tidak berapa lama kemudian situasi menjadi tidak kondusif yang mana peserta aksi unjuk rasa mulai anarkis dengan melakukan perlawanan terhadap petugas tim keamanan terpadu yang sedang bertugas pada saat itu dan melakukan pengerusakan terhadap Gedung BP BATAM.”
Secara post factum, kemarahan yang dialami oleh para terdakwa a quo, disebabkan oleh kekecewaan atas tidak terpenuhinya keinginan para terdakwa sendiri dan peserta aksi unjuk rasa secara bersama-sama sehingga tidak dapat ditemukan hubungan kausalitas antara ucapan terdakwa Iswandi dengan perbuatan para terdakwa dalam perkara nomor 935/Pid.B/2023/PN Btm.
Kedua, tragisnya… berdasarkan fakta persidangan, saksi-saksi yang diduga sebagai pihak yang “terhasut” akibat ucapan terdakwa Iswandi tidak dihadirkan di muka sidang untuk diperiksa keterangannya sehingga judex facti kehilangan dasar penentunya untuk menyatakan bahwa terdakwa Iswandi telah melakukan tindak pidana penghasutan, yang formulasi deliknya harus memenuhi unsur kausalitas antara perbuatan “penghasut” dan perbuatan “terhasut”. Sebaliknya, terdakwa Iswandi juga tidak dihadirkan di muka sidang sebagai saksi untuk didengar keterangannya dalam perkara nomor 935/Pid.B/2023/PN Btm sehingga judex facti dalam perkara a quo, juga tidak memiliki kemungkinan untuk menyatakan bahwa para terdakwa melakukan kekerasan terhadap orang atau barang karena disebabkan oleh “hasutan” terdakwa Iswandi. Artinya dari dua perkara tersebut dapat dinilai bahwa keduanya berdiri sendiri-sendiri dan tidak memiliki hubungan sebab-akibat yang nyata berdasarkan hukum. Jikalaupun terdakwa Iswandi terbukti melakukan tindak pidana penghasutan maka konsekuensi logisnya adalah para terdakwa dalam perkara nomor 935/Pid.B/2023/PN Btm tidak dapat dimintai pertanggungjawaban pidana karena alasan pemaaf .
Berdasarkan penalaran hukum di atas penulis berpendapat bahwa jika kasus-kasus serupa diperiksa, diadili dan diputus dengan cara yang serupa dengan ratio decidendi pada pertimbangan hukum dalam Putusan Nomor 936/Pid.B/2023/PN Btm maka dapat dipastikan raison d’etre ketentuan hukum pidana dalam Pasal 160 WvS adalah sebagai alat penguasa untuk menjerat setiap orang yang memiliki pikiran kritis kepada pemerintah yang tiada bedanya dengan pembenaran atas keberlakuan Pasal 160 wetboek van strafrecht voor nederlandsch-indië pada era kolonial belanda sebelum Republik ini merdeka.
Penulis:
[1] semua perbuatan yang diancam dengan hukuman.
[1] Dalam Pertimbangan Hukum: Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 7/PUU-VII/2009, hlm 70.
[1] Ketentuan Pasal V Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana.
[1] Dalam Pertimbangan Hukum: Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 7/PUU-VII/2009, hlm 71.
[1] Sebelum tanggal 29 September 1958, di Indonesia masih berlaku dua jenis Kitab Undang-undang Hukum Pidana yakni: 1. Kitab Undang-undang Hukum Pidana menurut Undang-undang No. 1 tahun 1946 Republik Indonesia; 2. “Wetboek van Strafrecht voor Indonesia” (Staatsblad 1915 No. 732) seperti beberapa kali diubah; yang sama sekali tidak beralasan.
Sejak tanggal 26 Februari 1946, berdasarkan Pasal 17 UU No. 1 Tahun 1946, Undang-undang ini mulai berlaku buat pulau Jawa dan Madura pada hari diumumkannya dan buat daerah lain pada hari yang akan ditetapkan oleh Presiden.
[1] Judex facti PN Batam salah menerapkan hukum dalam kasus dugaan tindak pidana penghasutan oleh Terdakwa ISWANDI alias AWI pada tanggal 11 September 2023 di depan Kantor BP Batam.
[1] Barang siapa memaksa masuk ke dalam ruangan untuk dinas umum, atau berada di situ dengan melawan hukum, dan atas permintaan pejabat yang berwenang tidak pergi dengan segera, diancam dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
[1] Lihat hirarki peraturan perundang-undangan dalam Pasal 7 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan peraturan perundang-undangan.
[1] in criminalibus, probationes bedent esse luce clariores = dalam perkara-perkara pidana, bukti-bukti yang ada harus lebih terang daripada cahaya.
[1] geen straaf zonder schuld, nulla poena sine culpa, actus non facit reum, nisi mens sit rea = tiada pidana tanpa kesalahan
[1] Dalam kesengajaan yang bersifat tujuan, dapat dikatakan bahwa si pelaku benar-benar menghendaki mencapai akibat yang menjadi pokok alasan diadakan ancaman pidana.
[1] kesengajaan semacam ini ada apabila si pelaku dengan perbuatannya tidak bertujuan untuk mencapai akibat yang menjadi dasar dari delict, tapi ia tahu benar bahwa akibat itu pasti akan mengikuti perbuatan itu.
[1] kesengajaan keinsyafan kemungkinan dianggap terjadi apabila dalam gagasan si pelaku hanya ada bayangan kemungkinan belaka, bahwa akan terjadi akibat yang bersangkutan tanpa dituju.
[1] Analisis pernyataan kesalahan terdakwa didapatkan dari keterangan terdakwa yang kemudian diuji kebenaran koherensinya oleh judex facti dalam pertimbangan hukumnya.
[1] Lihat Pasal 197 ayat (1) huruf d UU No. 8 Tahun 1981: Surat putusan pemidanaan memuat: pertimbangan yang disusun secara ringkas mengenai fakta dan keadaan beserta alat pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan di sidang yang menjadi dasar penentuan kesalahan terdakwa,
Lihat Penjelasan Pasal 197 ayat (1) huruf d UU No. 8 Tahun 1981: Yang dimaksud dengan “fakta dan keadaan di sini” ialah segala apa yang ada dan apa yang diketemukan di sidang oleh pihak dalam proses, antara lain penuntut umum, saksi, ahli,terdakwa, penasihat hukum dan saksi korban.
[1] Lihat Pertimbangan Hukum dalam Putusan Nomor 935/Pid.B/2023/PN Btm, hlm 164.
[1] Lihat Pasal 55 ayat (1) butir 1 WvS.
[1] Non tam ira, quam causa irae excusat (tindakan atas suatu serangan yang provokatif, dimaafkan).