Ketika Parpol Turun Ke Jalan

Ada hal menarik yang terlihat saat aksi protes kenaikan harga BBM kemarin (27/3/2012). Selain dimotori oleh gerakan mahasiswa dan serikat buruh, tampak pula sejumlah partai politik dengan barisannya sendiri. Setidaknya ada tiga parpol yang kemarin berbaris di jalan menolak kenaikan harga BBM: PDIP, PBB, dan PKNU.

Ada yang memberikan apreasi cukup positif atas kehadiran parpol di jalanan. Ada yang segera melemparkan tudingan “parpol menunggangi aksi protes”. Ada pula yang bersikap sinis dengan menganggap kehadiran parpol itu hanya mencari pencitraan. Siapapun berhak berpendapat terkait  aksi itu.

Kami sangat mengerti keadaan parpol saat ini. Selama rejim orde baru sampai sekarang, parpol tidak lebih sebagai “tukang stempel kebijakan rejim berkuasa”. Parpol juga menjadi sarana untuk kepentingan pribadi: korupsi, suap, jual beli jabatan, dan lain sebagainya. Tak mengherankan jika popularitas parpol sangat merosot di mata rakyat. Survei menunjukkan kecenderungan orang yang tak memilih parpol mencapai 48%.

Dahulu, pada saat perjuangan anti-kolonial, parpol memegang peranan sangat penting. Saat itu, parpol menjadi sarana untuk menyalurkan kehendak politik rakyat dalam melawan kolonialisme. Parpol memimpin aksi massa, melakukan kursus politik, mendirikan sarana pendidikan untuk rakyat, dan lain-lain.

Dalam kerangka itulah, menurut kami, kita tidak bisa melihat parpol secara hitam-putih. Setiap perkembangan yang nyata, bukan yang khayali, akan memperlihatkan bentuk gerak yang berbeda secara kualitatif. Demikian pula dengan sikap politik parpol yang sangat ditentukan dinamika internal dan responnya terhadap dinamika ekonomi-politik yang melingkupinya.

Pertama, meruncingnya kontradiksi pokok antara kepentingan nasional Indonesia dengan imperialisme telah mempengaruhi sikap klas-klas dan berbagai manifestasi politiknya di dalam negeri.

Polarisasi politik, meskipun terkadang belum tegas, patut ditempatkan sebagai manifestasi tak terbantahkan dari meruncingnya kontradiksi antara rakyat Indonesia melawan imperialisme. Sehingga, sebagai konsekuensinya, banyak partai politik berusaha mengadopsi sikap anti-imperialis—meski terkadang ragu-ragu.

Kedua, mobilisasi massa partai politik ke jalan, meski terkadang tidak direstui elitnya, harus dianggap manifestasi dari massa akar rumput partai—bagian dari massa rakyat yang, tentu saja, juga terkena dampak neoliberalisme, termasuk kenaikan harga BBM.

Ketiga, keberanian partai politik menggunakan aksi massa—sering disebut gerakan ekstra-parlemen—adalah pendobrakan terhadap pakem demokrasi liberal yang menempatkan parlemen sebagai satu-satunya ruang yang sah untuk mengekspresikan perbedaan pendapat dan pengambilan kebijakan.

Sedangkan aksi massa, meskipun tidak dilarang secara resmi, tetap saja didiskreditkan oleh kaum neoliberal. Bahkan, ketika aksi protes itu sudah mengancam kepentingan kapital, kaum neoliberal tidak malu-malu untuk mengekspresikan ketidaksukaan terhadap aksi protes.

Makanya, pihak yang paling kebakaran jenggot dengan hadirnya mobilisasi massa parpol di jalanan adalah pendukung neoliberal. Lihatlah komentar Ketua Fraksi Demokrat, Jafar Hafsah, terkait aksi massa Parpol. Ia antara lain mengatakan, “demonstrasi yang disponsori partai adalah demostrasi yang tidak sehat, apalagi bila anggota parpol yang ikut demo itu juga merangkap anggota DPR. PDIP kan punya partai dan fraksi, jadi bisa disalurkan melalui institusi DPR.”

Komentar itu punya maksud jelas: demonstrasi boleh saja, tapi parpol jangan ikut-ikutan memobilisasi massa. Sebab, medan perjuangan parpol hanya melalui fraksinya di parlemen. Begitulah kira-kira garis besarnya pendapat kaum neoliberal itu.

Tentu saja, pendapat itu tidaklah benar sama sekali. Sebagai alat perjuangan politik, parpol tentu bisa menggunakan cara apapun, baik parlemen ataupun aksi massa, untuk memperjuangkan kepentingan konstituennya. Dan, tentu saja, partai berkuasa pun punya hak mengerahkan konstituennya untuk membela kebijakannya. Itulah kehidupan yang disebut “demokratis”.

Bukankah selama ini kita sering dibuat jengkel karena ulah parpol yang tak kunjung berjuang untuk rakyat. Nah, sekarang mereka sudah berbaris di jalanan atas nama rakyat. Tentu saja, soalnya bukan lagi mempertanyakan ada dan tidaknya kepentingan politik di balik aksi itu—apalagi tidak ada sesuatu yang bebas kepentingan, tetapi jangan sampai aksi massa itu hanya terjadi sekali saja. Jangan sampai aksi itu hanya sekali, dan “setelah itu mati”.

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid