Kemiskinan dan Politik Angka

Angka kemiskinan kerap jadi polemik. Di Indonesia, orang disebut miskin bila pengeluarannya kurang dari Rp 440.538 per kapita per bulan. Angka itu yang disebut dengan garis kemiskinan.

Nah, angka garis kemiskinan itulah yang kerap diprotes, karena dianggap terlalu rendah. Banyak yang menyebut angka garis kemiskinan itu tidak mewakili realitas hidup masyarakat.

Bicara soal garis kemiskinan, ternyata ini bukan hanya persoalan Indonesia, tetapi persoalan global.

Pada 2 Juli lalu, Pelapor khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk urusan kemiskinan dan Hak Azasi Manusia (HAM), Philip Alston, merilis laporan terbarunya.

Laporan itu menyuguhkan banyak temuan dan kesimpulan yang menarik, terutama terkait langkah global—dalam hal ini PBB dan semua institusinya—dalam memerangi kemiskinan di seluruh kolong langit ini.

Di bagian awal, laporan ini mengakui ada kemajuan besar dalam perbaikan kualitas hidup milyaran manusia dalam dua abad terakhir.

Namun, terkait kemiskinan ekstrem, laporan ini juga menelanjangi para pemimpin dunia, ekonom dan pakar yang menepuk dada terkait keberhasilan mereka menurunkan angka kemiskinan global dari 36 persen atau 1,895 milyar pada 1990 menjadi 10 persen atau sekitar 734 juta orang (2015).

Bank Dunia menyebut itu sebagai prestasi besar. Namun, dalam laporan Alston, itu hanya semacam kemenangan piris (Pyrrhic victory)—kemenangan dengan banyak sekali kerugian, sehingga tak pantas disebut kemenangan.

Penyebabnya, kata Alston, angka itu didapatkan melalui sebuah alat ukur yang disebut garis kemiskinan internasional atau international poverty line (IPL).

Pada angka itu, IPL yang digunakan adalah 1,90 USD per hari. Artinya, orang akan dianggap miskin jika pengeluarannya kurang dari 1,90 USD per hari ( dengan acuan paritas daya beli (PPP). Angka itulah yang dikonversi ke masing-masing Negara dengan mengacu pada PPP.

Masalahnya, di mata Alston, angka IPL itu terlalu rendah dan tak mencerminkan realitas di masing-masing Negara. Dia mencontohkan Thailand. Jika memakai ukuran IPL, maka tak ada orang miskin di Thailand. Namun, jika menggunakan garis kemiskinan nasional, masih ada 9.9 persen orang miskin di negeri gajah putih itu.

Di AS, jika menggunakan IPL, ada 1,2 persen yang hidup dalam kemiskinan. Namun, jika menggunakan garis kemiskinan nasional, jumlahnya mencapai 12,7 persen.

Kondisi lebih tragis terjadi pada negara seperti Afrika Selatan dan Meksiko. Jika menggunakan IPL, kemiskinan di Afrika Selatan hanya 18,9 persen. Tetapi jika menggunakan garis kemiskinan nasional, jumlahnya bisa mencapai 55 persen.

Kemiskinan di Meksiko versi IPL hanya 1,7 persen. Tapi, jika menggunakan garis kemiskinan nasional, jumlahnya mencapai 41,9 persen.

“Garis kemiskinan dibuat terlalu rendah, sehingga hanya melahirkan klaim kosong,” kata Alston.

Patokan Bank Dunia untuk menentukan garis kemiskinan 1,90 USD per hari adalah pemenuhan kebutuhan fisik dasar 2100 kalori per hari.

Alston merujuk pada seorang peneliti bernama Robert Allen yang membongkar kelemahan mendasar IPL itu setelah meneliti 15 negara paling trofis di dunia.

Menurut Allen, pendekatan IPL—yang memulu soal 2100 kalori—mengabaikan kebutuhan-kebutuhan lain yang sifatnya mendasar untuk kondisi geografis tertentu. Misalnya, pada negara dingin, orang butuh pakaian dan penghangat.

Selain itu, kata Allen, agar orang hidup secara layak, selain 2100 kalori itu, setiap orang setidaknya butuh hidup dalam ruangan sehat berukuran 3 meter persegi.

Karena itu, bagi Allen, garis kemiskinan untuk negara berkembang seharusnya 2,63 USD per hari dan 3,96 USD per hari untuk negara maju.

Lebih lanjut, dalam laporan Alston, konsep IPL juga dianggap mengaburkan ketidaksetaraan gender. Sebab, di banyak negara di dunia, seperti Tiongkok dan Afrika, ada perbedaan alokasi dan komsumsi sumber daya antara laki-laki dan perempuan. Sehingga, garis IPL tidak bisa dipukul rata antara laki-laki dan perempuan.

Selain itu, klaim itu juga mengabaikan nasib orang-orang yang selama ini kerap tidak terpotret oleh data, seperti tunawisma, pengungsi, orang yang terdampak perang, pekerja domestik, dan lain-lain.

Selanjutnya, laporan Alston mengungkap, klaim Bank Dunia mengabaikan kontribusi Tiongkok dalam pengurangan angka kemiskinan global.

“Di Tiongkok, jumlah orang yang hidup di bawah IPL turun drastis dari 750 juta orang menjadi 10 juta orang sepanjang 1990-2015,” tulisnya.

Menurutnya, tanpa Tiongkok, garis kemiskinan global dengan ukuran 2,50 USD per hari tidak akan banyak berubah antara 1990-2000.

Pemberantasan Kemiskinan Gagal?

Bahkan dengan angka IPL sangat rendah, yaitu 1,90 USD per hari, jumlah orang miskin di dunia ini masih berkisar 734 juta orang.

“Jika menggunakan alat ukur yang lebih realistis, angka kemiskinan pasti akan lebih banyak,” tulis Alston.

Faktanya, ungkap Alston, jika menggunakan dasar hitung 5,50 USD per hari, angka kemiskinan sepanjang 1990 hingga 2015 relatif stabil, hanya berkurang dari 3,5 milyar menjadi 3,4 milyar manusia.

Jika menggunakan garis kemiskinan versi Martin Ravallion, yang disebut garis kemiskinan relatif lemah, angka kemiskinan hanya turun dari 2,55 milyar pada 1990 menjadi 2,3 milyar pada 2013.

Bahkan, jika menggunakan alat ukur societal poverty line, alat ukur baru yang coba diperkenalkan Bank Dunia, orang miskin hanya berkurang dari 2,35 milyar pada 1990 menjadi 2,1 milyar pada 1990.

Ironisnya, kendati menggunakan garis IPL ala Bank Dunia itu, kondisi kemiskinan di sejumlah tempat tetap mengerikan. Seperti di Afrika Sub-Sahara, angka kemiskinannya justru meningkat 140 juta di masa itu.

“Ini memperlihatkan bahwa dunia gagal mengurangi angka kemiskinan,” katanya.

Situasinya makin memburuk karena dunia tengah berhadapan dengan krisis perubahan iklim. Pada 2016, krisis iklim ini diduga menyebabkan 100 juta orang akan terlempar hidup di bawah garis IPL.

Di banyak negara maju, yang punya sumber daya melimpah, juga gagal mengurangi kemiskinan dalam ukuran garis kemiskinan nasionalnya. Terutama akibat neoliberalisme yang memicu semakin banyak orang menjadi tunawisma, kelaparan dan terlilit utang.

Dampak Covid-19

Pandemi covid-19, yang membawa dampak kesehatan dan ekonomi, akan memperparah kemiskinan secara global.

Bank Dunia memperkirakan, pandemi ini akan menghapus capaian dalam pemberantasan kemiskinan dalam tiga tahun terakhir. Dan akan membuat 176 juta orang terlempar dalam kemiskinan baru.

Alston menjelaskan, pandemi covid-19 sangat berpengaruh pada kemiskinan.

“Seruan agar tinggal di rumah, menjaga jarak sosial, dan mencari dokter bila menemui gejala demam, mengabaikan fakta bahwa banyak orang yang tak punya rumah, tidak punya makanan, dan hidup dalam rumah sempit tanpa sanitasi dan air bersih dan kesulitan menjangkau layanan kesehatan,” tulisnya.

Selain itu, kata Alston, pandemi juga menyingkap buruknya jaring pengaman sosial negara negara dalam melindungi orang berpendapatan rendah dan orang-orang miskin.

“Orang miskin lebih gampang terpapar, atau setidaknya kurang terlindungi, oleh virus,” katanya.

Jalan Keluar

Menurut Alston, kegagalan mengurangi angka kemiskinan dalam skala global sangat terkait dengan pilihan politik.

Pertumbuhan ekonomi (berbasis PDB), yang menjadi mesin utama bagi Bank Dunia maupun PBB untuk mengurangi kemiskinan, kerap tak sesuai kenyataan.

“Dalam banyak kasus, janji tentang manfaat dari pertumbuhan terkadang tak terwujud atau terbagi secara adil,” tulis Alston.

Dia mencontohkan, di negara yang mengalami booming sumber daya (ekstraktivisme) seringkali tidak mendapat manfaat. Sumber daya diekstraksi dengan sedikit sekali tenaga kerja dan kurang memberi manfaat pada pengurangan jumlah kemiskinan.

Pertanian swasta berskala besar, pertambangan, dan industri yang memanfaatkan lahan berskala besar berkontribusi menyingkirkan banyak orang dari tanahnya di berbagai belahan dunia.

“Memisahkan orang dari tanahnya, yang padanya ia menggantungkan kebutuhan pangan, tempat tinggal, dan penghidupannya, mengakibatkan kemiskinan,” tulis Alston.

Alston menegaskan, kebijakan pro-pertumbuhan seperti pengurangan pajak bagi pelaku bisnis, reformasi perburuhan, deregulasi, penghematan dengan memangkas belanja sosial, dan privatisasi, berdampak sangat buruk pada kehidupan rakyat miskin dan kapasitas negara dalam mengurangi kemiskinan.

Karena itu, selain mendorong pengubahan ukuran kemiskinan, dengan mengganti IPL dengan model pengukuran baru yang lebih mengakomodir pemenuhan hak-hak dasar manusia, perlu juga untuk mengoreksi kebijakan ekonomi yang terlalu liberal.

Alston juga menekankan perlunya redistribusi ekonomi untuk mengurangi ketimpangan ekstrem dan kemiskinan.

“Meskipun ekonomi global tumbuh dua kali lipat sejak berakhirnya perang dingin, tetapi separuh manusia di bumi ini masih hidup di bawah 5,50 USD per hari, karena sebagian besar manfaat pertumbuhan jatuh ke segelintir kaum terkaya,” tulisnya.

Sekarang ini, 50 persen populasi termiskin dunia hanya memiliki 1 persen dari kekayaan dunia. Sementara 1 persen terkaya menguasai 45 persen kekayaan global.

Karena itu, bagi Alston, saatnya dunia mempromosikan sistem perpajakan yang adil. Bukan hanya pada pajak ditarik secara adil, tetapi juga memastikan semua pembayar pajak mendapatkan manfaat yang adil.

Selain itu, Alston juga mendorong perluasan perlindungan sosial agar makin universal.

Sudah 230 tahun lamanya sejak Thomas Paine mengajak negara melindungi orang sakit, disabilitas, pengangguran, dan lansia, masih ada 4 milyar orang (separuh dari populasi bumi) yang kurang terlindungi.

“Sudah saatnya perlindungan sosial itu dilakukan lebih serius, bukan saja karena itu menyangkut hak azasi manusia, tetapi juga sebagai langkah penting dalam strategi menghapuskan kemiskinan,” tulis Alston dalam laporannya.

Alston juga menekankan perlunya kehadiran negara ketimbang privatisasi maupun menunggu kebaikan hati para dermawan kaya (filantropi).

“Filantropi merupakan proses yang tak demokratis dan transparan, yang berusaha menggeser upaya memerangi kemiskinan ke belakang pintu (tersembunyi),” tulis Alston.

Banyak milyarder dermawan justru diuntungkan oleh pendekatan ekonomi yang tak adil, mulai dari penghilangan perlindungan terhadap tenaga kerja, kenaikan harga sewa tempat hunian, hingga pemotongan pajak.

“Perusahan besar, seperti Facebook, Google dan Apple, menyerukan perlunya filantropi, tetapi terlibat dalam banyak kasus penghindaran pajak berskala besar,” jelasnya.

Singkat cerita, bagi Alston, upaya mengeluarkan orang dari kemiskinan tak bisa sekedar memastikan mereka bisa makan dengan 2100 kalori per hari, tetapi memastikan mereka bisa hidup secara layak dan bermartabat.

“Kemiskinan ekstrem harus kita anggap sebagai pelanggaran hak azasi manusia,” tegas Alston di pengujung laporannya.

Karena itu, perjuangan menegakkan HAM akan sejalan seiring dengan upaya memperbaiki standar dan kualitas hidup manusia.

MAHESA DANU

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid