Kemana Intelektual Kritis?

Keadaan negara kita makin darurat: kemiskinan makin meluas, korupsi merajalela, ketidakadilan terus dipertontonkan, sumber daya alam dikuasai segelintir perusahaan asing, dan negara yang makin tak berdaulat.

Di tengah situasi seperti itu, kita belum mendengar suara nyaring kaum intelektual mengeritik keadaan tersebut. Pada pertengahan Januari lalu, Arya Hadi Dharmawan, seorang dosen di Institut Pertanian Bogor, mengirim surat kepada Presiden SBY. Akan tetapi, orang-orang seperti Arya masih sangat sedikit. Padahal, negara ini punya banyak professor, doktor, master, sarjana, dan lain-lain.

Kami teringat dengan Noam Chomsky, seorang intelektual besar abad 20,  pernah mencemooh kecenderungan intelektual, khususnya di Universitas, yang tak ubahnya sebagai pelayan kebenaran penguasa. Maklum, Chomksy pernah merasakan era dimana kampus pernah menjadi sarang kaum radikal, yaitu tahun 1960-1970-an.

Kampus sudah meninggalkan peran klasik mereka: sumber atau pusat kritik. Peran kaum intelektual telah bergeser; dari pengeritik kapitalisme menjadi pengusung atau pelayan kapitalisme.

Kapitalisme lanjut memang berambisi menghabisi pemikiran-pemikiran radikal. Ini sejalan dengan gagasan Margaret Tatcher: “There is no alternative”. Pendek kata, tugas pendidikan kapitalistik adalah membantai fantasi “dunia lain”. Bagi mereka, puncak sejarah manusia adalah pasar bebas.

Sejak neoliberalisme berkuasa di dunia pendidikan, logika komoditas juga makin menggejala dan merasuki gaya hidup Universitas. Lihatlah bagaimana para dosen menciptakan fantasi kepada murid-muridnya tentang dunia luar (dunia kerja) yang begitu indah. Sementara murid, yang sudah terobsesi dengan gaya hidup mewah, tidak sabar lagi untuk menuntaskan studi dan ditempatkan di sebuah perusahaan besar.

Akhirnya, terjadilah apa yang pernah direnungkan oleh Karl Marx ratusan tahun yang lalu. Dalam karya “Reflections of a Young Man on The Choice of a Profession”, Marx mengatakan: “Kita hidup dalam sebuah masyarakat yang telah menentukan apa yang harus kita lakukan sebelum kita  punya kesempatan untuk menentukannya.”

Professor-professor kita suka mengurung diri dalam ruang-ruang penelitian. Dan, kalaupun mereka terjun dalam realitas, maka rakyat pun akan dikalkulasi dalam indeks dan persentase. Mereka akan berusaha menjawab persoalan-persoalan rakyat dengan mengacu pada apa yang diajarkan dalam diktat-diktat.

Kita sedang berhadapan dengan—meminjam istilah penyair WS Rendra—“pendidik yang terpisah dengan persoalan kehidupan”. Mereka tidak mendidik muridnya agar mengerti tugasnya sebagai manusia, melainkan agar siap menjadi ‘sekrup’ dalam sistim kapitalisme.

Padahal, kata Marx, pekerjaan yang mulia adalah memuliakan manusia, yang menjadikan tindakan-tindakan dan segenap usaha manusia menjadi lebih mulia, yang menjadikan diri manusia lebih kokoh, dikagumi oleh khalayak luas dan mencapai kemuliaan yang lebih tinggi lagi.

Dengan semakin terkooptasinya kampus oleh kapitalisme, maka peran kaum intelektual pun makin bergeser keluar kampus. Dalam banyak kasus, di banyak negara, peran kritis itu diambil alih oleh penulis dan seniman. Merekalah yang biasanya bekerja sebagai penjaga nilai-nilai kemanusiaan yang paling dasar: kebebasan.

Akan tetapi, di situ juga ada masalah: biasanya konsen pada penulis dan seniman, termasuk yang paling militan, adalah mempertahankan kebebasan individu dan kebebasan sipil. Mereka biasanya sangat sulit untuk menerobos kerangka moral dan terjun dalam perjuangan politik.

Novelis hebat seperti  Salman Rushdie, misalnya, sangat keras menentang fundamentalisme. Akan tetapi, sangat sulit mengharapkan dia berbicara soal hak-hak pekerja, penentangan terhadap imperialisme, dan lain-lain.

Kita tahu bahwa ada masalah dengan keadaan sekarang. Tetapi sangat sedikit orang, khususnya kaum intelektual, yang mau menjelaskan keadaan ini kepada massa rakyat. Tugas intelektual saat ini adalah menjelaskan keadaan ini seterang-terangnya, dengan penjelasan yang gampang dipahami, kepada rakyat.

Tugas kaum intelektual, khususnya yang disebut intelektual organik, adalah membela kaum yang tertindas melawan penindas. Dalam point ini, kita ingat kata-kata Marx, bukan sekedar memahami dunia tetapi mengubahnya. Akan tetapi, tidak ada orang yang dapat mengubah dunia sendirian, karena hanya massa yang bisa mengubah dunia; dan tidak seorang pun  bisa mengubah dunia atau keadaan, jikalau dunia dan keadaan itu sendiri  tidak dipahaminya. Di sinilah tugas kaum intelektual: memahamkan dunia kepada massa rakyat dan mengubah dunia bersama massa rakyat.

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid