Kalau Rakyat Tak Boleh Mengeluh, Itu Pertanda Sudah Gawat!

Bila rakyat tidak berani mengeluh

Itu artinya sudah gawat

Dan bila omongan penguasa

Tidak boleh dibantah

Kebenaran pasti terancam

(Wiji Thukul, Peringatan, 1986)

Wiji Thukul, penyair rakyat yang baru kita peringati hari lahirnya pada 26 Agustus lalu, menulis puisi berjudul “peringatan” itu pada 1986.

Saat itu, setelah membungkam gerakan mahasiswa lewat NKK/BKK tahun 1978 dan membungkam media massa (Tempo, Pelita, Harian Islam), Orba mulai membungkam partai politik dan organisasi massa lewat pemberlakuan azas tunggal.

Sementara berbagai kebijakan pembangunan yang merugikan rakyat, seperti kasus Waduk Kedung Ombo, Tapos, dan Cimacan, dibungkam secara represif. Kasus serupa meledak di Badega, Cimacan, Nipah, Jaluran, Jenggawah, dan lain-lain.

Saat itu, atas nama politik stabilitas, Orde baru membungkam semua saluran dan ekspresi ketidakpuasan rakyat. Puisi “peringatan” merupakan bentuk protes Wiji Thukul terhadap pembungkaman suara-suara Rakyat.

Puisi-puisi Wiji Thukul itu seakan kembali menemukan energinya hari-hari ini, manakala penguasa aktif sekali membungkam segala bentuk protes dan keluhan-keluhan rakyat.

Di bawah pemerintahan Joko Widodo, upaya membungkam kebebasan berpendapat menguat, baik menggunakan tangan-tangan Negara maupun masyarakat yang jadi pendukungnya.

Sepanjang 2019 dan 2020, ketika banyak orang turun ke jalan untuk memprotes UU yang dirasa merugikan kepentingan publik, negara dan aparatusnya bertindak sangat represif.

Temuan Komnas HAM, sepanjang 24-30 September 2019, ada 1.489 orang yang ditangkap saat mengekspresikan pendapatnya lewat aksi protes di jalanan. Bahkan ada 5 orang meninggal dunia[1].

Sementara temuan YLBHI, sepanjang Januari-Oktober 2019, ada 6.128 orang yang menjadi korban pelanggaran hak menyampaikan pendapat di muka umum[2].

Situasi serupa terjadi di tahun 2020, saat rakyat di berbagai kota di Indonesia turun ke jalan untuk menolak UU Cipta Kerja. Versi Polisi, ada 5.918 orang yang ditangkap dalam aksi tersebut.

Pembungkaman juga terjadi di ruang digital. Ada serangan digital yang menyasar aktivis, akademisi, organisasi, maupun media massa yang kritis terhadap pemerintah. Mulai dari peretasan, penyerbuan melalui komentar (trolling), peniruan/pemalsuan akun, hingga doxing[3].

Selain itu, ada UU tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), terutama pasal penghinaan dan pencemaran nama baik (pasal 27 ayat 3) dan permusuhan (pasal 26 ayat 2), yang efektif digunakan pengusaha maupun pengusaha untuk membungkam suara-suara yang kritis.

Situasi itu membuat semakin banyak warga negara yang takut untuk menyampaikan pendapatnya di muka umum maupun media massa. Survei Indikator Politik Indonesia pada September 2020 menemukan, ada 69,6 persen responden yang merasa takut untuk menyatakan pendapat. Sementara survei terbaru dari LP3ES pada April 2021 menyebut ada 52,1 persen responden yang menganggap ancaman pada kebebasan sipil semakin meningkat, sehingga mereka semakin takut untuk berkumpul, berekspresi, dan menyatakan pendapat.

Puncaknya, indeks demokrasi Indonesia cenderung merosot. Pada 2021, dalam indeks demokrasi yang disusun oleh The Economist Intelligence Unit (EIU), skor Indonesia hanya 6,3 dan menempati urutan ke-64 dari 167 negara. Indonesia dikategorikan demokrasi yang cacat (flawed democracy).

Situasi itu seharusnya bisa membuat pemerintah mulai berbenah. Mengingat Indonesia merdeka dibangun di atas cita-cita demokrasi. Roh utama negara ini, yaitu Pancasila dan UUD 1945, punya komitmen kuat terhadap demokrasi.

Mengangkangi demokrasi berarti menghianati cita-cita kemerdekaan. Menginjak-injak demokrasi berarti menginjak-injak Pancasila dan UUD 1945.

Sayang sekali, pemerintahan Jokowi justru semakin anti-kritik. Hari-hari ini, kita menyaksikan bukan saja pembungkaman terhadap kebebasan berpendapat, bahkan mengeluh pun tak boleh.

Saat kunjungan Presiden Joko Widodo ke kota Blitar, Jawa Timur, Selasa (7/9/2021), seorang peternak hendak menyuarakan keluhannya. Dia membentangkan poster bertuliskan “Pak Jokowi, bantu peternak beli jagung dengan harga wajar.”

Isi poster itu mewakili jerit-pedih banyak peternak ayam di Blitar dan di banyak tempat. Isi posternya juga biasa-biasa saja. Akan tetapi, peternak itu sempat ditangkap oleh Polisi.

Di hari itu juga, beberapa jam sebelum kedatangan Presiden, Pemkot Blitar dan aparat kelurahan setempat menghapus mural-mural yang berisi kritikan dan suara-suara sambat.

Pertengahan Agustus lalu, mural bertuliskan “Jokowi 404: Not Found” di Batuceper, Tangerang, Banten, juga dihapus oleh aparat. Tak sampai di situ, pembuat mural itu juga diburu oleh aparat.

Seorang tukang sablon, yang menggunakan gambar mural “Jokowi 404: Not Found” sebagai gambar kaos hasil produksinya, juga ditangkap. Dia dibawa ke kantor Polisi, dipaksa meminta maaf sambil direkam, lalu videonya disebarkan ke seantero nusantara.

Tak hanya mural itu, mural-mural dan grafiti yang lain juga kena getahnya. Termasuk mural dan grafiti yang hanya berisi curahan hati dan sambat. Apakah sekarang kita dilarang curhat dan sambat?

Tahun 2014 lalu, saat berkampanye untuk Pemilu Presiden (Pilpres), Jokowi mengaku sangat kenal dengan Wiji Thukul dan keluarganya[4]. Dia juga mengaku suka membaca puisi-puisi Wiji Thukul, salah satunya “Peringatan”[5].

Sebagai pembaca puisi-puisi Wiji Thukul, apalagi kerap membaca puisi “Peringatan”, Jokowi harusnya lebih menghargai keluhan dan suara-suara protes rakyat. Terlebih sebagai politisi yang berkibar pasca reformasi, Jokowi harusnya bisa menciptakan gaya dan iklim politik yang lebih demokratis.

Dan yang terpenting, banyak orang memilih Jokowi di kotak suara karena harapannya akan demokrasi yang akan mengembang dan meluas kalau Jokowi terpilih sebagai Presiden.

Jadi, jika merujuk pada cita-cita kemerdekaan, nilai-nilai Pancasila, mandat Konstitusi, dan juga amanat dari reformasi, penyelenggaraan Negara harus tegak lurus dengan semangat dan nilai-nilai demokrasi.

Indonesia diperjuangkan di atas cita-cita kedaulatan rakyat. Itu juga yang menjadi semangat UUD 1945: kedaulatan berada di tangan rakyat. Artinya, rakyatlah sumber kekuasaan itu.

Dalam pengertian Konstitusi, penyelenggara Negara hanyalah pelaksana mandat rakyat. DPR hanyalah perwakilan rakyat. Dari pengertian itu, jika dirasa penyelenggaraan Negara atau fungsi-fungsi perwakilan tidak sesuai kehendak rakyat, maka hak rakyat sebagai pemegang mandat untuk menyatakan ketidakpuasan, protes, kritik, bahkan mengganti.

Namun, terlepas dari keharusan-keharusan itu, pemerintah juga harusnya menganggap keluhan, aspirasi, dan protes rakyat itu sebagai sesuatu yang positif.

Pertama, protes atau kritik harus dianggap sebagai masukan berharga untuk meluruskan atau mengoreksi kebijakan yang kurang tepat.

Kedua, kritik dan protes perlu untuk mengevaluasi kinerja pemerintahan di level bawah. Boleh jadi pemerintah pusat punya itikad dan kebijakan yang bagus, tetapi diselewengkan oleh birokrasi di bawahnya.

Seringkali pejabat di pucuk pemerintahan hanya mendapat laporan yang bagus-bagus dari bawahannya. Di masa Orba, kebiasaan ini disebut “ABS: Asal Bapak Senang”.

Dengan adanya protes dan kritik, pucuk pimpinan bisa mengevaluasi kinerja dan laporan orang-orang di bawahnya.

Terakhir, yang perlu diingat baik-baik, pembungkaman tidak pernah menghentikan keadaan yang memicu ketidakpuasan dan keresahan. Dia tak memadamkan keluhan dan protes.

Kalau keluhan dan protes dibungkam, itu sama saja dengan membiarkannya bertimbun, bertumpuk-tumpuk, menjadi raksasa. Hingga, pada titik ketika keluhan dan protes itu tak tertampung lagi, ia akan menggasak dan menjebol bendungan paling tangguh sekalipun.

NUR ROHMAN, penulis, tinggal di Yogyakarta


[1] https://www.alinea.id/nasional/ada-lima-pelanggaran-ham-pada-demo-24-30-september-2019-b1ZGu9q3o

[2] https://nasional.kompas.com/read/2019/10/27/16313211/ylbhi-6128-orang-jadi-korban-pelanggaran-kebebasan-berpendapat

[3] https://id.safenet.or.id/2020/11/serangan-digital-yang-kian-politis-terkait-omnibus-law-pandemi-covid-19/

[4] https://nasional.kompas.com/read/2014/06/09/1540504/Jokowi.Wiji.Thukul.Harus.Ditemukan.Hidup.atau.Meninggal

[5] https://nasional.kompas.com/read/2014/04/18/1749139/Ini.Puisi.Karya.Wiji.Thukul.yang.Disukai.Jokowi

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid