Kalau Melawan Pandemi Dianggap Perang

Di pengujung Maret 2020, saat mengikuti pertemuan virtual Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G-20, Presiden Jokowi membuat pemakluman perang.

Tunggu dulu, ini bukan perang dengan negara lain, atau dengan kelompok bersenjata tertentu, melainkan melawan makhluk renik tak kasat mata: virus korona.

“Dalam KTT ini, saya mengajak para pemimpin negara G20 untuk bersama-sama memenangkan dua peperangan,  yaitu melawan Covid-19 dan melawan pelemahan ekonomi dunia,” tulis Presiden Jokowi di akun twitternya, 26 Maret 2020.

Dua bulan berlalu, lagi-lagi genderang perang ditabuh. Kali ini, di forum KTT Gerakan Non-Blok (GNB), ditambahi retorika yang apik: “Kalau dulu musuh bersama kita kolonialisme dan imperialisme, sekarang musuh bersama kita adalah covid-19.”

Memilih diksi “perang” dalam konteks menghadapi pandemi tentu membawa pesan politik yang jelas. Tersirat ikhtiar untuk menghadapi virus ini dengan segala daya upaya hingga menang.

Karena itu, begitu Presiden Jokowi mengumandangkan seruan “perang” melawan pandemi, saya langsung membayangkan beberapa hal.

Pertama, Presiden Jokowi langsung menetapkan pandemi virus korona sebagai bencana nasional. Alasannya sederhana saja. Di satu sisi, kita menghadapi ancaman musuh yang sangat berbahaya, yang belum dikenali dengan baik. Di sisi lain, kita sadar akan daya dukung infrastruktur kesehatan dan finansial kita terbatas.

Sayang sekali, meskipun WHO sudah mengumumkan wabah virus korona sebagai pandemi sejak 11 Maret 2020, Presiden Joko Widodo butuh sebulan lebih untuk menetapkan pandemi sebagai bencana nasional lewat Keppres  nomor 12 tahun 2020.

Dari kasus pertama tanggal 2 Maret, lalu melompat menjadi ribuan pada akhir Maret, sebetulnya ada sedikit celah waktu bagi pemerintah untuk bertindak cepat. Sayang, kesempatan itu dilewatkan.

Jokowi baru menetapkan covid-19 sebagai bencana nasional pada 13 April 2020, ketika jumlah kasusnya sudah melampaui 3000-an orang. Klasternya sudah terlanjur menyebar ke berbagai daerah.

Kedua, menghadapi pandemi, yang sudah ditetapkan sebagai bencana nasional, Jokowi langsung tampil memimpin. Ibarat dalam perang, dia menjadi komando tertingginya.

Agar komando jelas, tidak kacau-balau. Agar komunikasi juga jelas, tidak simpang siur. Semua pejabat tidak asal bunyi, lalu saling ralat. Antara pusat dan daerah tidak bertentangan.

Semua komandan perang yang dipilih oleh Presiden harus terpastikan kompeten, mau bekerja, tanggap, penuh empati dan lincah. Pejabat yang tidak kompeten, yang hanya pandai cengegesan, langsung diganti.

Ahli kesehatan dan ilmuwan harus dirangkul dan dilibatkan. Pengetahuan mereka sangat penting untuk menghadapi musuh yang tak kasat mata ini.

Sayang sekali, ini juga tidak terjadi. Alih-alih tampil memimpin, Jokowi justru menyerahkan penanganan covid-19 ini pada kepanitian (ad-hoc)/task force: Gugus Tugas. Yang terjadi, birokrasi yang ruwet dan kacau-balau. Ributnya soal koordinasi, komunikasi, dan hal-hal teknis.

Ada banyak kepanitian, yang isinya orang-orang itu juga. Belakangan, Presiden menunjuk seseorang yang tak punya pengalaman secuil pun dalam penanganan wabah atau pandemi untuk menekan penyebaran covid-19 di 9 Provinsi prioritas.

Ketiga, Jokowi harusnya punya strategi yang mumpuni. Dari munculnya kasus itu di Wuhan di akhir Desember hingga menyebar ke berbagai belahan dunia, Indonesia punya kesempatan untuk bersiap sekaligus menyusun strategi antisipasi.

Saya membayangkan, selain mengikuti anjuran WHO untuk menerapkan 3 T (tes, tracing, treatment), Indonesia punya strategi sendiri. Tentu saja, selain mendengar saran para ahli dan merujuk data, juga melihat kekhususan geografis dan demografis Indonesia.

Sayang seribu kali sayang, dari munculnya kasus pertama hingga hari ini, kita hanya disuguhi beragam istilah yang tidak jelas penerapannya. Misalnya, bicara penguncian wilayah saja, ada berjibun istilah: PSBB, PSBB ketat, PSBB transisi, PSBB mikro, PSBB lokal, dan lain-lain.

Keempat, dari sejak awal, ini yang terpenting: kita punya hitungan kekuatan. Dengan menghitung perimbangan kekuatan, kita menjadi tahu strategi perang macam apa yang harus kita pakai: jangka pendek atau jangka panjang.

Kekuatan ini meliputi jumlah/daya dukung infrastruktur kesehatan, ahli dan tenaga kesehatan, relawan, hingga daya dukung anggaran.

Seperti Simon Kuznets yang menghitung sumber daya Amerika Serikat untuk menghadapi perang dan depresi ekonomi, lahirkan konsep: Produk Domestik Bruto (PDB).

Harusnya, kita punya hitungan-hitungan sumber daya, sehingga menjadi penentu jenis strategi apa yang perlu diambil. Jika sumber daya kita terbatas, tentu saja pilihannya adalah penguncian ketat. Kalau sumber daya kita melimpah, tentu saja pilihannya penguncian yang longgar.

Empat, menghadapi perang, kita perlu mobilisasi nasional. Semua energi negara, dari mesin/aparatusnya hingga anggaran harusnya dimobilisasi untuk menghadapi pandemi covid-19.

Saya membayangkan, begitu wabah covid-19 di Wuhan mulai meledak dan menyeberang ke negara lain, Presiden Jokowi langsung menggerakkan seluruh mesin-mesin negara untuk mengedukasi rakyat tentang bahaya covid-19 dan langkah antisipasinya.

Struktur warisan Jepang itu, Tonarigumi alias RT/RW, digerakkan untuk mengedukasi rakyat. Begitu juga dengan Posyandu di seluruh Indonesia. Jadi, begitu pandemi masuk Indonesia, rakyat sudah siap-sedia.

Saya membayangkan, seluruh anggota DPR yang terhormat itu menghentikan kegiatan yang tak mendesak, seperti pembahasan RUU. Tapi turun ke dapil-dapilnya mengedukasi rakyat.

Saya membayangkan, jauh-jauh hari, agenda-agenda yang tak mendesak/darurat, seperti pemindahan Ibukota hingga Pilkada, ditunda. Anggarannya dialihkan untuk penanganan pandemi dan dampaknya.

Saya membayangkan, pejabat-pejabat tinggi itu, dari Presiden, Menteri-Menteri, Gubernur, pemimpin lembaga tinggi negara, Direksi BUMN, semuanya rela untuk potong gaji. Agar uang itu bisa dimobilisasi untuk penanganan pandemi dan dampaknya.

Namun, sayang sekali, kita disuguhi fakta sebaliknya. Ketika dunia mulai diselimuti ketakutan akan pandemi, pemerintah kita justru mengguyur Rp 72 milyar untuk para influencer agar mempromosikan pariwisata.

Pemerintahan Jokowi juga masih mengandalkan para “buzzer” sebagai ujung tombak komunikasi politiknya. Pada prakteknya, para buzzer ini masih mengadopsi narasi-narasi lama, seperti kadrun dan sejenisnya, yang mengawetkan polarisasi sosial di tengah pandemi.

Jokowi dan DPR juga terus memproduksi produk legislasi yang tidak didukung publik, yang membuat perhatian dan kemarahan publik tidak fokus menghadapi pandemi.

Dan yang paling menyebalkan, pemerintah, DPR, dan Penyelenggara Pemilu tetap ngotot menyelenggarakan Pilkada pada Desember 2020. Padahal, menyelenggarakan hajatan politik berskala luas di tengah pandemi sangat beresiko.

Sudah banyak yang menuntut penundaan Pilkada. Dari mantan Wapres, organisasi keagamaan, politisi, akademisi, asosiasi dokter/tenaga medis, gerakan sosial, hingga masyarakat luas. Sayang, pemerintah tetap bergeming.

Jadi, dari kenyataan-kenyataan di atas, diksi “perang” yang dilontarkan oleh Presiden Jokowi tak lebih dari permainan kata-kata. Hanya untuk memunculkan kesan “seolah-olah”, tetapi kenyataannya berkebalikan. Ini hanya soal pamer kata-kata, tanpa tindakan.

Jadi, yang sebenarnya ahli menata kata siapa?

MAHESA DANU

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid