Jalan Pedang Voice Of Baceprot (VoB)

Tiga perempuan muda berhijab menggebrak dunia, bukan saja dengan musik metalnya, tapi juga lirik-lirik lagunya yang sarat dengan protes sosial. Perkenalkan mereka: Voice of Baceprot (VoB).

3 tahun lalu, saya pernah mendengar tentang grup band metal yang digawangi oleh tiga remaja perempuan berhijab. Saya pikir hanya sebuah “gimmick” saja, habis itu lenyap ditelan kebisingan lainnya.

Tapi ternyata: tidak! Beberapa hari lalu saya dikejutkan oleh postingan Tom Morello, seorang musisi sekaligus aktivis sosial di twitter yang memposting cuplikan video VoB atau Voice of Baceprot, disebuah TV Swasta Nasional. Lantaran postingan itu, saya ingin mengenal mereka lebih jauh.

Adalah Firda Kurnia yang akrab dipanggil Marsya, berusia 20 tahun (vokal/gitar), Widi Rahmawati atau Idiw, berusia 19 tahun (bass) dan Euis Siti Aiyasah atau Siti, berusia 20 tahun (drum), dari kesunyian desa di Garut Selatan, Jawa Barat, menggebrak jagat permusikan nasional. Tak tanggung-tanggung, mereka mengcover lagu-lagu cadas milik Rage Against The Machine (RATM), Red Hot Chili Peppers (RHCP), Metallica, dan lain-lain.

Mereka juga sudah menciptakan kurang lebih 10 lagu dengan aliran cadas/metal. Lagu-lagu mereka sarat dengan protes sosial. Memperjuangkan keadilan, kebebasan dan kemerdekaan. Mereka menentang budaya partiaki, sikap intoleran dan kekerasan.

Lagu-lagu mereka memang terasa agak asing di telinga, tapi nyaman bagi para pendengar musik cadas. Mereka mengombinasikan tiga jenis aliran, yaitu Hip Hop, Punk dan Metal.

Seorang netizen di akun twitter @baceprotvoices sempat bertanya, ‘Apakah tak ingin memasukan unsur musik Jazz dalam karya-karya berikutnya?’ Marsya menjawabnya dengan lugas, “Sangat mungkin, karena musik itu dinamis.”

Awal Karir

Awalnya, VoB adalah band pelajar-pelajar SMP yang bersekolah di MTs al Baqiyatussolihat (sering disingkat Baqitoz) yang terletak di Kec. Banjarwangi, Kabupaten Garut, Jawa Barat.

Menurut penuturan Marsya, awal pembentukannya dari kegiatan teater ekstra-kulikuler sekolah, yang pada prosesnya mereka merasa lebih nyaman dengan bermain musik.

Pada tahun 2014, berawal dari 15 orang, lalu menjadi 7 orang merekapun menasbihkan diri sebagai sebuah grup band. Beberapa kali mereka melakukan pertunjukan, baik di sekolah maupun ditempat-tempat lain. Bahkan mereka menciptakan sebuah lagu Hiphop Sunda yang berjudul Abring-abringan. Lagunya dapat disimak di https://www.youtube.com/watch?v=8B5rAj2NOjM

Berkat bimbingan Cep Ersa Eka Susila Satia atau akrab disebut Abah Ersa, guru SMPN 2 Singajaya, yang mengasah bakat dari tiap-tiap personil sampai akhirnya menjadi VoB seperti sekarang ini.

Dalam sebuah wawancara di Kompas.com, Abah Ersa menjelaskan bahwa pada awalnya dia khawatir melihat pergaulan anak-anak sekarang. Di saat menjadi guru konseling (BK), dia mendapat kesempatan untuk mengarahkan anak didiknya ke arah yang lebih produktif. Dan berkat dukungan sekolah, maka terbentuklah sebuah grup band sekolahan dengan nama Voice of Baqitoz.

Menurut Marsya, sebetulnya sejak awal grup ini bernama Voice of Baceprot, ide ini muncul dari Abah Ersa. Tapi untuk mensiasati sekaligus untuk mendapat dukungan sekolah, maka nama Baqitoz digunakan sebagai nama lain dari VoB.

Baceprot sendiri tidak ada dalam kamus bahasa Sunda, ini lebih pada bahasa slank untuk orang-orang yang berbicara tak beraturan. Mungkin pada waktu itu Abah Ersa merasa anak didik perempuannya ini cerewet-cerewet, maka ide nama ini muncul.

Tantangan VoB

Membuat sebuah grup band disebuah desa bukan sesuatu hal yang mudah, apalagi mereka adalah remaja-remaja perempuan.

Dalam masyarakat yang masih didominasi oleh konstruksi sosial yang patriarkis, perempuan bermusik itu dianggap tidak lazim. Membawakan lagu-lagu metal pula, yang dianggap sebagai lagu-lagunya pemuja setan.

Tantangan pertama, tentu saja, dari pihak keluarga yang tak memberikan izin kepada mereka. Satu per satu anggota pun mengundurkan diri. Sehingga tersisa 3 personil VoB sekarang ini.

Bukan berarti mereka bertiga tak mendapat rintangan. Widi misalnya, dia sempat dikurung di rumah selama 1 bulan tak boleh ikut latihan. Begitu juga Siti, dia sempat dikurung di kamar mandi oleh kedua orang tuanya agar tak latihan band, walau dia akhirnya berhasil kabur melalui jendela. Marsya menuturkan bahwa dirinya mendapatkan intimidasi, sempat dilempar batu. Bahkan keluarganya pun mendapat ancaman agar dirinya berhenti bermain musik.

Tak hanya di situ, mereka juga mendapatkan kesulitan lainnya. Mereka bukan berasal dari keluarga kaya atau kelas menengah perkotaan yang dapat dengan mudah mengakses alat-alat band. Awalnya, bagi mereka, membuat grup band seperti sesuatu yang tak mungkin. Tapi mereka sangat beruntung memiliki guru seperti Abah Ersa ini. Berkat bantuannya, satu persatu alat musik berhasil mereka peroleh.

Tantangan lain yang tak kalah mengesalkan adalah ketika mereka dilarang tampil karena usia mereka yang masih remaja kala itu (dibawah 17 tahun). Bahkan, menurut penuturan Marsya, dalam sebuah festival musik mereka memperoleh juara, tapi dibatalkan karena persoalan usia.

Atas pengalaman tersebut, mereka menciptakan sebuah lagu yang berjudul “Age Oriented (Lets Be Old)” (videonya dapat disaksikan disini https://www.youtube.com/watch?v=wgvXJRe8fCs). Lagu ini merupakan bentuk protes atas diskriminasi terhadap usia untuk manusia berkarya. Bagi mereka, usia tak perlu dinilai, tapi karyalah yang seharusnya menjadi penilaian bagi seorang manusia.

Selepas sekolah dari SMP MTs al Baqiyatussolihat, mereka pun melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi, SMA. Tak seperti sekolah sebelumnya yang mendukung kegiatan mereka, kali ini mereka mendapat hambatan untuk meneruskan jenjang karir musiknya. Maka, berpindah sekolah pun menjadi pilihan untuk tetap bisa berkarya.

Dari situasi inilah lagu School Revolution tercipta. Lirik dari lagu ini menunjukan sikap pemberontakan terhadap sistem pendidikan di Indonesia. Sepenggal lirik VoB ini cukup menjelaskan.

Sekolah pagi pasti ragaku ini berlari

Paksa mimpi yang tak satupun ku mengerti

Terlempar kepala dipaksa pintar, terdampar moral digoda bingar

Don’t try to judge us now

Don’t try to judge us now

Don’t try to judge us now

Don’t try to judge us now

Di balik tembok isi kepala seakan digembok

Selaksa dogma ditimpa hingga bongkok

Bila teriak merdeka bersiaplah ditabok atau dikatain … and my soul is empty.’

Vidoe selengkapnya dapat dilihat di https://www.youtube.com/watch?v=4aZX-C8HKJc

Cara Pandang VoB

Memilih musik metal merupakan “jalan pedang” bagi banyak musisi. Karena penggemar yang terbatas, sehingga sulit dilirik oleh industry musik. Seorang Metalhead pernah berkata pada saya, “jangan berharap kaya dari musik metal di Indonesia.”

Kita ambil contoh grup band Peterpan pada awal tahun 2000an. Saya pernah menonton Peterpan yang tampil disebuah Cafe di Bandung, saat itu mereka membawakan lagu-lagu alternatif Rock/Metal, seperti Nirvana, Pearl Jam, dan lain-lain. Tapi, ketika masuk dapur rekaman, mereka pun harus berkompromi dengan tuntutan pasar.

Tentu saja, masih ada grup-grup band metal yang mampu bertahan atas idiologinya di tengah tuntutan pasar. Tetapi jumlahnya tak begitu banyak.

Selama ini, musik metal identik dengan sikap pemberontakan atas norma sosial, yang mereka tunjukan dengan gaya berpakaian, tubuh bertato, semau gue dan hal-hal lainnya. Sikap tersebut tak hanya di atas panggung, tapi juga dalam kehidupan sehari-hari.

Namun, tampilan tersebut tak akan kita temukan dalam VoB, baik di panggung maupun dalam kehidupan sehari-hari. Dengan mengusung “The other side of metalism”, mereka menunjukan sikap pemberontakan dalam lirik-lirik lagu. Sementara, di atas panggung ataupun dalam kehidupan sehari-hari, mereka berhijab dan berlaku layaknya anak-anak baru gede.

Di atas panggung, tak akan kita temukan dandan para personil VoB yang berlebihan, tak ada simbol tengkorak (yang lazim bagi grup metal) dalam aksesorisnya, atau make up berlebihan agar terlihat sangar. Yang terlihat hanya gadis-gadis berdandan sederhana, dengan menggunakan hijab. Aksesoris tambahan paling sebuah topi ataupun bandana, itu pun terlihat wajar.

Di luar panggung, mereka juga tidak menunjukan kemewahan layaknya grup band-grup band yang mulai terkenal. Yang sering berswa foto di hotel-hotel mewah ataupun tempat belanja atau restoran kelas satu di Jakarta. Begitu juga dalam pembuatan video-video clipnya. Yang akan kita lihat dari VoB justru sebaliknya; kesederhanaan anak-anak desa yang mencintai lingkungannya.

Dalam hal ini dapat kita lihat dari Video Klip yang berjudul The Enemy Of Earth Is You: https://www.youtube.com/watch?v=zu1_1Wtst2U&list=PLh5tD-pjsbF_8agnUFSBLa0Glqd95iD5E&index=9

Kritik Sosial

Tak ada revolusi tanpa lagu-lagu. Kata-kata ini merupakan sebuah slogan gerakan musik kerakyatan di Chile. Kata-kata ini mungkin juga berlaku buat kita di Indonesia.

Tentu kita ingat lagu “Darah Juang”, karya aktivis Partai Rakyat Demokratik (PRD), Jhon Tobing, yang menjadi semacam lagu wajib bagi para demonstran. Tak hanya di tahun 90an, lagu ini masih sering di kita dengarkan di tengah-tengah protes rakyat yang menuntut keadilan.

Di tengah arus pembangunan yang ugal-ugalan demi investasi dan infrastruktur, tanah-tanah rakyat menjadi korban. Konflik agraria terjadi di mana-mana. Tak sedikit nyawa menjadi korban. Penggusuran-penggusuran tanah rakyat ini telah memunculkan lagu-lagu kritikan. Seperti lagu “Menitip Mati (Revolutions Is)”, karya seorang seniman di Bandung, Mukti Mukti, sudah menjadi semacam lagu pemacu semangat bagi para aktivis gerakan sosial. Dan masih banyak seniman atau grup-grup band lain yang melakukan protes sosial, salah satunya VoB.

Dalam menyikapi situasi ini, VoB hadir membawakan lagu yang merupakan bentuk sebuah sikap untuk menolak perampasan tanah rakyat. Simak lagu yang berjudul “ Rumah, Tanah Tak Dijual”, itu jelas tergambar:

Masih kah ada ramah remah di rumah?

Masih adakah lapangan tempat kita pulang?

Jika semua dijajah, jika segala lantas dilepas hilang

Dari masa depan aku teriak marah

Mereka gelisah terhadap keadaan hari ini di Republik. Mereka prihatin terhadap masa depan negeri ini. Kesadaran ini tidak muncul tiba-tiba, tapi berdasarkan pengalaman langsung dan di sekitar mereka. Tak heran, mereka mengidolakan Tom Morello. Bukan saja karena musiknya, tapi juga terhadap aktivismenya yang membela rakyat tertindas.

Di postingan terakhir laman twitternya @baceprotvoices, mereka menuliskan captur “Pada masa raga sukma dirimahkan seperti ini, bukankah semestinya kita menginsafi; betapa berharganya rumah, tanah dan segala yang tumbuh diatasnya. Cukup! Sudah terlalu banyak yang dipaksa-jual untuk para pemabuk wisata & industri!’ Dengan hastag #rumahtanahtakdijual.

Dalam sebuah kebisingan studio kecil disebuah pelosok desa yang sunyi, mereka menginginkan masa depan Indonesia lebih baik, mampu melewati masa pandemi yang kelam ini.

Satu harapannya yang mungkin tak sama dengan kita: bertemu Tom Morello. Dan bernyanyi bersama dalam satu panggung.

Sebagai penutup, mari kita simak lagu Rumah, Tanah Tak Dijual , mari berhentak, agar kita sadar: ada yang tak baik-baik saja, dan karena itu kita harus berjuang. https://www.youtube.com/watch?v=QiOyqfaYLxI

HEGEL 961, seorang aktivis sosial dan penikmat musik, yang bisa disapa di akun twitter: @hegel961

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid