Jalan Menuju Fasisme

Seolah-olah kejatuhan ekonomi akibat pandemi covid-19 dan perang Rusia tidak membuat hidup kita lebih sulit, kita dipaksa khawatir pada respon pembuat kebijakan yang memperburuk situasi. Kesulitan itu akan semakin membesar pada 2023 dan akan menjadi lahan subur bagi para demagog berbahaya.

Situasi ekonomi bertambah suram. Dan 2023 akan membenarkan klaim itu. Kita dalam belas kasihan dua bencana yang berada di luar kendali kita. Yang pertama, pandemi covid-19, yang terus mengancam kita dengan varian baru yang lebih mematikan, menular, atau resisten terhadap vaksin. Antisipasi pandemi diperburuk oleh Tiongkok, karena kegagalan menyuntik warganya dengan vaksin mRNA yang lebih efektif.

Bencana kedua adalah agresi Rusia ke Ukraina. Konflik ini masih jauh dari selesai, yang berpotensi meningkat dan menghasilkan efek spillover[1] yang lebih besar. Tentu saja, ada banyak gangguan terhadap pasokan energi dan bahan makanan. Dan seolah-olah masalah ini tak begitu menjengkelkan, kita dibuat semakin khawatir oleh pembuat kebijakan yang memperburuk keadaan.

Dan yang terpenting, Federal Reserve Amerika Serikat bisa menaikkan suku bunga lebih tinggi dan lebih cepat. Hari ini, inflasi banyak dipicu oleh kelangkaan pasokan. Beberapa diantaranya sedang coba diselesaikan. Karena itu, keputusan menaikkan suku bunga itu kontra-produktif. Ini tidak akan menghasilkan lebih banyak pangan, minyak, atau gas, tetapi justru akan mempersulit mobilisasi investasi yang diperlukan untuk mengurangi kelangkaan pasokan.

Pengetatan moneter juga bisa memperlambat ekonomi global. Faktanya, hasilnya sangat diantisipasi. Beberapa komentator, setelah menyakinkan diri sendiri bahwa perang melawan inflasi memang membutuhkan rasa sakit ekonomi, kini bersorak-sorai soal bahaya resesi. Mereka berpendapat, semakin cepat dan mendalam (dampak perlambatan ekonomi itu) semakin baik. Tampaknya mereka tidak menduga bahwa obat yang ditawarkan lebih buruk ketimbang penyakitnya.

Getaran global akibat kebijakan pengetatan moneter kian terasa menjelang musim dingin. Amerika Serikat menerapkan kebijakan beggar-thy-neighbor[2] abad 21. Setelah penguatan dollar berhasil menurunkan inflasi di AS, kebijakan itu akan berlanjut dengan melemahkan mata uang negara lain dan memperburuk inflasi di tempat lain.

Untuk mengurangi dampak valuta asing ini, negara-negara berkembang akan dipaksa menaikkan suku bunga. Dan tentu saja, itu akan semakin memperburuk situasi ekonomi mereka. Suku bunga yang tinggi, mata uang yang terdepresiasi, dan perlambatan ekonomi global akan menggiring banyak negara menuju jurang kebangkrutan.

Suku bunga yang tinggi, ditambah lagi harga energi yang mahal, akan membuat banyak perusahaan bangkrut. Ada banyak contoh dramatis soal ini, seperti nasionalisasi perusahaan gas Uniper di Jerman sekarang ini.

Dan bahkan jika perusahaan tak memerlukan proteksi dari kebangkutan, baik perusahaan maupun rumah tangga akan merasakan tekanan akibat kondisi keuangan dan kredit yang ketat. Tidak mengherankan, 14 tahun kebijakan suku bunga rendah telah membuat banyak negara, perusahaan, dan rumah tangga berutang banyak.

Perubahan besar di masa lalu, baik suku bunga maupun nilai tukar, memendam banyak resiko tersembunyi: seperti ditunjukkan oleh nyaris runtuhnya dana pensiun Inggris pada September dan Oktober lalu. Ketidakcocokan (mismatches) jatuh tempo dan nilai tukar merupakan ciri khas ekonomi yang kurang diatur (under-regulated). Dan ini menjadi umum seiring dengan pertumbuhan derivatif yang kurang transparan.

Tentu saja, situasi ekonomi yang kurang baik ini akan paling dirasakan oleh negara-negara paling rentan (berkembang dan miskin), yang akan menjadi lahan subur bagi para demagog populis untuk menabur benih kebencian dan ketidakpuasan.

Ada rasa lega ketika Luiz Inácio Lula da Silva berhasilkan mengalahkan Jair Bolsonaro di pemilu Brazil. Tapi, jangan lupa, Bolsonaro mendapat suara hampir 50 persen dan masih mendominasi Kongres.

Dalam segala aspek, termasuk ekonomi, ancaman terbesar bagi kesejahteraan adalah politik. Lebih dari separuh populasi dunia hidup di bawah rezim otoriter. Bahkan di AS, satu dari dua partai dominan (partai Republik) semakin memuliakan kultus pribadi, semakin menolak demokrasi, dan terus-menerus berbohong soal hasil pemilu 2020. Modus operandinya: menyerang pers, sains, dan institusi pendidikan tinggi. Sembari memompa sebanyak mungkin, misalnya, kabar bohong dan informasi palsu.

Tujuannya adalah membalikkan sebagian besar kemajuan yang dicapai 250 tahun terakhir. Hilang sudah optimisme yang berbunga-bunga di akhir perang dingin, ketika Francis Fukuyama berkotbah tentang “akhir sejarah”, bahwa tak ada lagi penantang serius bagi demokrasi liberal.

Yang jelas, masih ada agenda positif yang bisa mencegah orang-orang putus asa jatuh pada atavisme dan keputusasaan. Namun, polarisasi dan kebuntuan politik di banyak negara telah membuat agenda-agenda positif itu menjauh dari jangkauan.

Seharusnya, dengan sistem politik yang berfungsi dengan baik, kita bisa bertindak cepat untuk meningkatkan produksi dan pasokan, serta menekan inflasi yang mendera ekonomi kita. Misalnya, setelah setengah abad petani dibatasi untuk berproduksi, baik di Eropa maupun di AS, sekarang waktunya untuk mendorong produksi besar-besaran.

AS seharusnya memperbanyak tempat penitipan anak (daycare), sehingga lebih banyak perempuan bisa memasuki lapangan kerja—mengurangi asumsi kekurangan pasokan tenaga kerja. Dan Eropa harusnya bergerak lebih cepat untuk mereformasi pasar energinya dan mencegah lonjakan harga listrik.

Negara-negara di berbagai belahan dunia bisa mendorong pajak rezeki nomplok (windfall profit tax), sembari tetap mendorong investasi dan mengendalikan harga. Hasil dari pajak itu bisa dipakai untuk melindungi mereka yang rentan, menaikkan investasi publik, dan memperkuat daya tahan ekonomi.

Sebagai komunitas internasional, kita bisa mengadopsi kebijakan pengabaian hak cipta vaksin covid-19, sehingga mengurangi apartheid vaksin dan kebencian yang ditimbulkannya, serta mengurangi resiko mutasi baru yang lebih berbahaya.

Semua bilang, orang-orang optimis akan mengatakan bahwa gelas kita sudah hampir penuh. Beberapa negara telah membuat kemajuan dalam soal ini, dan untuk itu kita patut bersyukur. Namun, hampir 80 tahun setelah  Friedrich von Hayek menulis “Road to Serfdom”, kita masih hidup dalam warisan kebijakan ekstrimnya dan Milton Friedman mendorongnya menjadi kebijakan arus-utama. Ide-ide itu telah menempatkan kita di jalan yang benar-benar berbahaya: jalan menuju fasisme abad 21.

JOSEPH E. STIGLITZ, ekonom peraih Nobel dan mantan Kepala Ekonom Bank Dunia (1997-2000)

*Artikel ini diterjemahkan dari Project Syndicate.


[1] Spillover effect adalah sesuatu yang mengacu pada dampak yang dapat ditimbulkan oleh peristiwa yang tampaknya tidak terkait di satu negara terhadap ekonomi negara lainnya.

[2] Kebijakan mencari keuntungan oleh suatu negara dengan mengorbankan negara tetangga atau negara lainnya.

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid