Dua abad yang lalu, percikan ide-ide tentang kesetaraan manusia telah mengisi gerakan perempuan untuk memperjuangkan kesetaraan gender.
Ketika revolusi Perancis 1789 menggelinding, kaum perempuan juga menuntut hak-haknya. Kaum perempuan perancis benar-benar menginginkan slogan liberté, egalite, fraternité bisa membumi di dunia nyata.
Faktanya, Déclaration des droits de l’homme et du citoyen de 1789, dokumen suci tentang HAM pasca Magna Charta, tidak memuat hak-hak perempuan. Padahal, pada saat penyusunannya, kaum perempuan sudah mengajukan petisi ke Majelis Nasional agar hak-hak perempuan diakui.
Merasa kecewa dengan hal itu, pada 1791, Olympe de Gouges, seorang feminis dalam revolusi Perancis, menyusun deklarasi tandingan yang disebut: Déclaration des droits de la femme et de la citoyenne.
Dalam deklarasinya itu, de Gouges menyebut perempuan dilahirkan sebagai manusia merdeka, karena itu mereka berhak diperlakukan setara dengan laki-laki. Dia juga mendesak agar perempuan sebagian bagian dari warga negara dilibatkan dalam pembuatan hukum, menduduki jabatan politik, dan mendapat pekerjaan.
Lantaran kegigihannya memperjuangkan hak-hak perempuan dan perbedaan pendapatnya dengan barisan revolusioner yang lain, Olympe de Gouges dihukum pancung menggunakan Guillotine.
Namun, semangat dan cita-cita de Gouges dan perempuan Perancis lainnya telah memercikkan inspirasi untuk perempuan di tempat lain. Salah satunya adalah konvensi hak-hak perempuan di Seneca Falls, New York, pada 1848. Konvensi ini disebut sebagai salah satu titik awal gelombang pertama gerakan feminisme.
Sepanjang abad ke-19 dan awal abad ke-20, perempuan mulai berhimpun untuk memperjuangkan kesetaraan, seperti penghapusan perbudakan (abolisionisme), hak pilih perempuan (women suffrage), hak atas pendidikan, hak-hak buruh perempuan, dan kesetaraan dalam pernikahan, dan lain-lain.
Di Indonesia, pada akhir abad ke-20, ide tentang kesetaraan gender juga mulai berkecambah. Kartini yang pertama sekali menyalakan api perjuangan kesetaraan di negeri ini. Dalam rentang yang tak lama, mulai muncul perempuan yang mulai menggerakkan emansipasi perempuan lewat jalan pendidikan, seperti Dewi Sartika dan Roehana Koeddoes.
Kemudian, sejak 1910-an, mulai berdiri banyak organisasi perempuan, seperti i Poetri Mardika (1912), Keoetamaan Isteri (1913), Keradjinan Amai Setia (1914), Wanito Hadi (1915), Pawijatan Wanito (1915), Poerborini (1916), Pertjintaan Iboe Kepada Anak Temoeroen/PIKAT (1917), Aisjijah (1917), Wanita Soesilo (1918), dan lain-lain.
Dalam rentang itu, isu “women suffrage” juga mulai masuk ke Indonesia, yang dibawa oleh organisasi hak-hak perempuan Belanda. Selain hak pilih perempuan, isu lain yang diangkat gerapan perempuan, antara lain, hak atas pendidikan, kesetaraan dalam perkawinan, penolakan terhadap poligami, dan lain-lain.
Pada bulan Desember 1928, terpaut dua bulan pasca Kongres Pemuda, gerakan perempuan menyelenggarakan Kongres Perempuan Indonesia yang pertama. Kongres yang melibatkan 30-an organisasi ini membahas isu hak atas pendidikan, kesetaraan dalam perkawinan, poligami, dan perlindungan terhadap janda dan anak yatim.
Sejak itu, gerakan kesetaraan gender di Indonesia tumbuh bersama dengan pasang gerakan yang memperjuangkan kemerdekaan.
Kini, setelah dua abad perjuangan untuk kesetaraan, sudahkah dunia menjadi lebih adil untuk semua gender?
Hitungan World Economic Forum (WEF) dalam Global Gender Gap 2021 menyebutkan, dunia ini masih membutuhkan 145,5 tahun untuk mewujudkan kesetaraan gender di lapangan politik. Sementara untuk mencapai kesetaraan ekonomi, dunia butuh lebih lama lagi: 267,6 tahun.
Di Indonesia, kesenjangan gender atau gender gap itu masih sangat tinggi. Merujuk ke laporan Global Gender Gap 2021, Indonesia berada di peringkat 101 dengan skor 0,688 dari 156 negara yang disurvei.
Tahun 2021, berdasarkan catatan Komnas Perempuan, ada 338.496 laporan kasus kekerasan berbasis gender (KBG) terhadap perempuan yang terverifikasi sepanjang 2021. Angka itu meningkat hampir 50 persen dibanding tahun sebelumnya.
Dari angka-angka itu, kekerasan seksual menjadi ancaman nyata bagi perempuan Indonesia. Dari laporan Komnas Perempuan, setiap dua jam, ada tiga perempuan Indonesia yang menjadi korban serangan seksual.
Mirisnya, meski Indonesia berhadap-hadapan dengan darurat kekerasan seksual, negara ini belum punya payung hukum yang kuat untuk melindungi perempuan. Rancangan Undang-Undang (RUU) penghapusan kekerasan seksual diusulkan sejak 2012, lalu masuk Prolegnas sejak 2016, tetapi tak kunjung disahkan hingga sekarang.
Di Indonesia, diskriminasi terhadap perempuan tak hanya hadir dalam konstruksi sosial, bahkan tertuang lewat kebijakan politik. Berdasarkan hasil pendokumentasian Komnas Perempuan hingga akhir 2021, ada 441 kebijakan yang cenderung mendiskriminasi perempuan.
Di dunia kerja, ada banyak hambatan yang menghalangi perempuan untuk maju dan berkembang. Mulai dari streotip tentang kecocokan pekerjaan, penggunaan marital status dalam rekrutmen tenaga kerja, perbedaan upah berdasarkan gender, langit-langit kaca (glass ceiling) dalam kesempatan karir dan jabatan, pelecehan seksual, dan kasus PHK karena faktor gender (hamil, melahirkan, menyusui, dll).
Hari-hari ini, perjuangan untuk kesetaraan gender di Indonesia makin berat. Selain minimnya dukungan politik dari Negara lewat kebijakan, gerakan perempuan tengah berhadap-hadapan dengan pasang fundamentalisme agama yang hendak menghempaskan kemajuan-kemajuan perjuangan gender mundur ke belakang.
Lalu, apa yang harus dilakukan untuk memperpendek waktu untuk mewujudkan kesetaraan ini?
Mau tak mau, kita harus menagih tanggung-jawab Negara. Sebab, negara ini diproklamirkan untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur. Dan masyarakat adil dan makmur itu tak mungkin terwujud tanpa kesetaraan gender di dalamnya.
Pembukaan UUD 1945 alinea keempat juga menegaskan: melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Bangsa itu meliputi semua gender.
Pertama, negara harus lebih serius untuk menghapuskan segala bentuk diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan. Negara perlu memastikan seluruh kebijakannya tidak bias gender.
Selain itu, negara perlu menghadirkan payung hukum yang lebih lebar dan kokoh untuk melindungi perempuan dari kekerasan dan diskriminasi.
Kedua, negara perlu mendorong kesetaraan yang lebih luas di lapangan politik. Politik afirmasi perempuan harus dijalankan secara konsisten. Upaya meningkatkan keterwakilan politik perempuan di parlemen dan jabatan-jabatan politik harus dimulai dari menciptakan sistem politik yang ramah perempuan.
Ketiga, negara perlu mendukung pemberdayaan ekonomi perempuan. Sebab, tanpa kesetaraan ekonomi, agak sulit untuk mencapai kesetaraan sosial dan politik.
Dukungan ini mulai dari dukungan bagi usaha ekonomi perempuan (khususnya pelaku UMKM), kesempatan kerja yang adil, upah yang setara, dan perlindungan dan upah layak bagi pekerja rumah tangga.
Tentu saja, tuntutan ini tak bisa sekadar mengharap. Tak cukup dengan lobi dan petisi. Tuntutan ini harus diperjuangkan sekeras-kerasnya dan sehebat-hebatnya di semua lapangan perjuangan. Mulai dari protes jalanan, panggung budaya, diskusi publik, pawai besar, rapat umum, kampanye media sosial, dan lain-lain.
Selain itu, dengan karakter negara kita hari ini yang tunduk pada kuasa segelintir elit (oligarki) dan desakan kaum fundamentalis, kita perlu mengupayakan perjuangan politik yang lebih kuat.
Perjuangan politik ini tak bisa dilakukan oleh perempuan sendirian. Mengingat persoalan ketidakadilan gender tak berdiri sendiri di ruang kosong, melainkan berkelindan dengan persoalan ketimpangan ekonomi, kelas sosial, diskriminasi terhadap minoritas, faktor budaya, dan lain-lain.
Bahwa keprihatinan terhadap ketidakadilan gender sama pentingnya dengan isu ketimpangan ekonomi dan krisis ekologi.
Karena itu, selain mengupayakan semakin banyak politisi pro kesetaraan gender di jabatan politik (legislatif dan eksekutif), gerakan perempuan perlu mendukung upaya menciptakan partai politik alternatif yang memperjuangkan tatanan masyarakat baru yang lebih demokratis, setara, dan menghargai lingkungan.
IRA KUSUMAH
- Fascinated
- Happy
- Sad
- Angry
- Bored
- Afraid