Identitas Kebangsaan Dalam Pusaran Geopolitik Dunia

Sebagai bangsa besar yang memiliki sejuta kekayaan budaya dan adat istiadat tentu mengharuskan kita menjunjung tinggi prinsip multikultural sebagai syarat untuk hidup berdampingan. Mengenal diri sendiri dan mengenal identitas bangsa melalui kebudayaan adalah salah satu syarat kemajuan bangsa karena sejatinya seseorang mencapai kepenuhan pribadi bila mana mampu untuk mengenal diri sendiri. Berbanding terbalik dengan mereka yang kehilangan identitas maka krisis akan datang menghantui.

Sejalan dengan itu, orang-orang Yunani dan Romawi kuno menganggap begitu pentingnya seseorang mengenal identitas melalui kebudayaan dan filsafatnya menganjurkan bahkan memerintahkan : Nosce Te Ipsum! Kenallah dirimu sendiri!

Sejarah panjang bangsa Indonesia mulai dari era prakolonialisme sampai pada era reformasi telah menjadi bukti bahwa Indonesia adalah telah hidup dalam berbagai macam kebudayaan. Banyak hal baru datang dengan konsekuensi banyak hal yang hilang pula. Misalnya jika melihat pada era kejayaan kerajaan-kerajaan Islam yang datang hanya untuk berdagang lalu berhasil menyingkirkan kebudayaan Hindu Buddha di Indonesia. Kemudian masuk pada era kolonial yang datang kemudian memanfaatkan budaya feodal untuk memecah belah bangsa, memberi jabatan kepada tuan tanah dan kaum bangsawan yang korup untuk mendapatkan tanah kemudian memonopolinya. Jika dicermati, pencaplokan selalu bermula dari kebudayaan. Mereka mempelajari kebudayaan kita untuk menemukan celah yang tepat agar bisa masuk dan merusak kebudayaan. Sebagai konsekuensi kita kehilangan identitas sehingga mudah diperdaya.

Oleh karena itu penting untuk memastikan bahwa setiap langkah dalam hidup memastikan siapa kita sebenarnya. Setiap langkah yang membentuk pribadi seseorang berlaku juga di kelompok masyarakat atau etnis, dan kelompok masyarakat yang mewarisi itu kemudian bisa memperkenalkan diri pada khalayak luas. Bercermin dari itu, muncul pepatah yang mengatakan bahwa: Ambillah kudanya, dan dia bukan orang Kozak lagi. Hal serupa juga bisa kita berikan pada suku bangsa Bajo yang mendiami perairan Indonesia, Malaysia, Filipina, dan Thailand ini: Musnahkan perahunya, dan mereka bukan orang bajo lagi. Kuda dan perahu sudah menjadi satu dengan orangnya (Dhakidae : 1979)

Indonesia Dalam Ketidakpastian Dunia

Krisis indetitas sedang melanda Indonesia yang telah berumur 78 tahun ini. Di tengah krisis dunia berupa peralihan dari tatanan dunia lama menuju tata dunia multipolar, Indonesia pun mengalami dilema. Politik luar negeri bebas aktif yang diusung Indonesia masih bimbang apakah harus berpihak kepada Barat dengan terus menghamba kepada Capital Financial milik Amerika dengan watak parasitisme (mengumpulkan kekayaan dari bunga dan sewa), atau beralih ke ekspansi kapital Tiongkok yang bertolak dari basis industrialiasi dan modernisasi yang kuat (produktif menghasilkan nilai tambah). Situasi dilematis ini dapat diatasi dengan melihat kembali identitas Indonesia.

Politik luar negeri bebas aktif harus berjalan berdasarkan semangat yang ada dalam pembukaan UUD 1945 yaitu; “Ikut melaksanakan perdamaian dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial”. Artinya keberpihakan yang berdasarkan perdamaian abadi mampu menentukan politik luar negeri Indonesia harus condong ke kekuatan baru yaitu BRICS yang dipelopori oleh Rusia dan Cina.

Mengapa? Dalam keadaan tertentu, meskipun kekuatan militer Rusia berada di atas rata-rata negara lain, tapi tidak bisa dikategorikan sebagai negara imperialis karena tidak memiliki daerah koloni, sehingga tidak mampu untuk melakukan ekspansi kapital seperti yang dilakukan oleh AS. Jika ditelusuri lebih dalam konflik Rusia-Ukraina, terdapat kepentingan imperialis yang terstruktur.   Perusahaan Blackrock yang melibatkan Hunter Biden (anak Presiden Joe Biden) sudah menguasai jutaan hektar lahan di Ukraina. Belajar dari perang dunia ke-1 dan perang dunia ke-2 seharusnya kita sadar bahwa perang dibuat untuk mengatasi krisis overproduksi yang dialami. Dalam konteks Perang Rusia-Ukraina, AS memang diuntungkan karena menyuplai peralatan perang kepada Ukraina yang dihitung sebagai utang kemudian akan dibayar nanti oleh rakyat Ukraina.

Posisi Indonesia seharusnya bisa lebih berani dalam melaksanakan politik luar negeri berdasarkan semangat kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Bukan mengambil posisi netral seperti yang dilakukan oleh pemerintah Jokowi yang masih agak ragu untuk mengajukan diri bergabung ke dalam BRICS. Ada dua tesis yang bisa penulis ambil dari sini yaitu; pertama, jika dilihat dari perkembangan geolopitik dunia sekarang Indonesia adalah salah satu negara yang dikatakan berminat untuk bergabung dengan koalisi dagang tersebut namun masih belum memutuskan untuk bergabung lantaran ketakutan akan intervensi negara Barat terutama AS, karena AS selama ini sangat agresif dalam mencampuri urusan dalam negeri Indonesia.

Kedua, peristiwa berdarah pembantaian PKI pada tahun 1965-1966 telah membuat Indonesia kehilangan identitas. Identitas yang dimaksud adalah merujuk pada pikiran Sukarno yang dimanifestasikan dalam masa Demokrasi Terpimpin yaitu NASAKOM. Menurutnya, 3 pilar perjuangan bangsa Indonesia adalah Nasionalisme, Agama, dan Komunis telah menjadi identitas dan roh perjuangan bangsa Indonesia. Peristiwa yang meninggalkan trauma hebat bagi bangsa ini telah membuat Indonesia kehilangan satu kekuatan politik yang secara alami membela kaum tertindas. Hal ini kemudian diwariskan ke generasi yang tidak paham akan sejarah sehingga mudah untuk di perdaya.

Mampukah Sejarah Dikembalikan?

Perjuangan korban pelanggaran HAM dan aktivis peduli HAM pada awal 2023 lalu seakan mendapatkan angin segar ketika Presiden RI Joko Widodo mengumumkan penyesalan dan pengakuan negara atas dua belas kasus pelanggaran HAM yang terjadi di masa lampau, salah satunya adalah peristiwa 65/66. Melalui Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, pemerintah memberikan “buku hijau” kepada para korban pelanggaran HAM berat untuk bisa mengakses kesehatan secara cuma-cuma sebagai bentuk perhatian kecil dari pemerintah.

Namun masih banyak pekerjaan rumah yang mesti dilaksanakan oleh pemerintah. Dengan penyesalan dan pengakuan dari pemerintah terkait pelanggaran HAM berat ini dirasa kurang sebelum ada pembenaran sejarah. Tiga puluh dua tahun hidup dalam rezim otoriter dengan propaganda tentang PKI melalui film yang dibuat pemerintah Orde Baru meninggalkan stigma negatif kepada paham komunisme dan sosialisme di Indonesia. Menurut Frans Magniz Suseno, stigma buruk tersebut membuat demokrasi Indonesia mengalami pembusukan dan hanya akan menjadi sarang oligarki karena tidak ada kekuatan politik kiri yang secara alami membela buruh, petani dan kaum miskin.

Pembenaran sejarah seharusnya dipandang sebagai problem pokok demi pembenahan kembali semua struktur yang kacau. Yang menjadi dilema sekarang adalah pemerintah mau untuk melakukan reformasi pelajaran sejarah pada sekolah-sekolah? Semisal banyak tokoh penting yang namanya tidak pernah muncul dalam pelajaran sekolah seperti Tan Malaka. Kemudian jika pemerintah berani mengambil langkah seperti diatas, apakah semua golongan menerima pembenaran sejarah? Karena seperti kata Sukarno dalam perbincangan dengan D.N Aidit, Indonesia dan Cina mirip, hanya saja di Indonesia ada kaum yang tidak suka dengan Kaum Komunis di Indonesia. Sebagai langkah awal untuk melakukan pembenaran sejarah pemerintah bisa memulainya dengan reformasi pelajaran sejarah. Banyak nama-nama yang bahkan lebih besar dari nama Sukarno dan Hatta. Seperti kata Sukarno, jangan sekali-sekali melupakan sejarah! Pembenaran sejarah harus dilakukan melalui pendidikan karena sejatinya mengenal sejarah adalah cara terbaik untuk menentukan langkah berikut.

(Marselinus Vito Bria)

Foto : Illustrasi Pengetahuan, Buku, Perpustakaan

Leave a Response