Hasil Pemilu Thailand Bukan Sekedar Soal Dinasti Thaksin

Sebuah tsunami politik baru saja terjadi di Thailand. Yingluck Shinawatra, kandidat dari partai Phuei Thai, memenangkan pemilu dan sekaligus mengalahkan partai demokrat yang didukung oleh militer.

Ada beragam pendapat mengenai kemenangan perempuan berusia 43 tahun ini. The Economist, majalah ekonomi paling bergengsi di Inggris, menyebut Yingluck sebagai politisi ‘tak dikenal dan tidak berpengalaman seraca politik’. Sementara The Guardian, ketika mengulas soal pemilu Thailand, menggaris-bawahi sebuah situasi yang menandai kembalinya politik Thaksin Sinawatra.

Di dalam negeri, media-media arus utama juga hampir sefikiran dengan pandangan di atas. Metro TV, misalnya, menyebut hasil pemilu itu sebagai pertanda ‘kembalinya dinasti Thaksin berkuasa di Thailand’. Republika malah bertindak sangat bodoh ketika mengangkat judul ‘Politisi Bau Kencur Menangi Pemilu Thailand, Singkirkan Abhisit Vejjajipa’.

Kalaupun ada pandangan lain, paling-paling sebuah apresiasi atas kemenangan Yingluck Shinawatra sebagai perempuan pertama yang memimpin Thailand. Soal gender memang penting, tetapi ada hal lain yang jauh lebih penting.

Sebagian besar analisa di atas bertumpu pada satu posisi: ini adalah pertarungan antara Abhisit Vejjajiva melawan Thaksin Sinawatra. Jarang sekali yang berusaha melihat pemilu itu dari aspirasi rakyat Thailand, khususnya kalangan miskin, yang telah menjadi korban penindasan rejim ‘sok demokratis’ dan berhaluan neoliberal.

Fenomena Thaksin

Kamala Naichu, 63 tahun, seorang pendukung Thaksin, menganggap pemilik Shin Corporation itu telah memberikan uang kepada orang miskin. “Thaksin menjanjikan akan memberi bantuan kepada penduduk desa. Dan, ia memang melakukannya,” ujarnya.

Padahal, Naichu mengaku mengetahui bahwa Thaksin sebetulnya korup. “Saya tidak peduli jika dia koruptor. Semua politisi Thailand adalah koruptor. Tetapi Thaksin telah memberikan uang kepada si miskin.”

Semasa berkuasa dari 2001 hingga 2005, Thaksin telah meluncurkan sejumlah program populis untuk kaum miskin di perkotaan dan pedesaan. Diantaranya: program kesehatan universal dan kredit mikro bagi para petani.  Pendek kata, Thaksin telah menggunakan negara untuk memperbaiki tingkat penghidupan rakyat.

Tetapi ada pihak yang tidak senang dengan kebijakan Thaksin. Dalam sistim monarki, hanya satu menara yang boleh dipuja-puji. Kehadiran Thaksin adalah sebuah sebuah menara baru yang mengganggu kekuasan monarki. Di luar itu, ada kelompok royalis dan pendukung neoliberal, yang sangat tidak suka gaya Thaksin menggunakan negara untuk  memberi uang kepada si miskin. Satu lagi adalah kelompok LSM. Yang disebut terakhir ini merasa dirampas perannya ketika Thaksin menggunakan negara dan partainya untuk sejumlah program populis.

Terjadilah kudeta militer pada tahun 2006. Thaksin pun terguling dan akhirnya menjadi pelarian politik. Akan tetapi, rakyat yang sudah merasa mendapat manfaat dari pemerintahannya, tidak terima dengan kudeta itu. Itu sama saja dengan merampas mimpi-mimpi mayoritas kaum miskin di Thailand.

Gerakan rakyat pun melakukan perlawanan dengan membuat sebuah gerakan terorganisir dan sangat massif: gerakan kaos merah. Sebagian besar penggerak gerakan ini adalah pendukung Thaksin, tetapi gerakan ini sebetulnya lebih mengakar pada kepentingan rakyat itu sendiri: demokrasi dan kesejahteraan.

Gerakan Kaos Merah

Menurut Giles Ji Ungpakorn, seorang aktivis politik dan akademisi di Universitas Chulalongkorn Thailand, kaos merah adalah gerakan massa terbesar dalam sejarah politik Thailand, bahkan lebih besar dari gerakan komunis pada tahun 1970-an.

Kaos merah diperkirakan memiliki anggota ratusan ribu orang dan punya jutaan pendukung setia. Pendukung utamanya adalah kaum miskin: petani miskin, pedagang kecil, pekerja dan kaum miskin perkotaan.

Meskipun merupakan gerakan pendukung Thaksin Sinawat, tetapi menurut Giles, gerakan kaos merah kini telah berkembang melampaui sosok pemilik klub Manchester City itu. Gerakan kaos merah telah bergeser ke kiri: menekankan pada ketidaksetaraan dalam masyarakat Thailand.

Tahun lalu, gerakan kaos merah mengguncang kediktatoran militer dengan gerakan massa militan dan radikal. Sedikitnya 90 orang anggota kaos merah gugur akibat aksi penembak jitu dan kekejaman militer Thailand. Ribuan anggota dan pimpinannya juga dipenjara.

Membesarnya gerakan kaos merah, sekalipun ada bayang-bayang Thaksin Sinawatra, adalah aspirasi umum dari rakyat Thailand yang sudah muak dengan monarki, kediktatoran militer, dan neoliberalisme.

Sekarang, dengan kehadiran gerakan kaos merah, politik tidak lagi menjadi milik segelintir kelas menengah terdidik dan klas elit.

Jittra Chotchadet, anggota serikat pedagang kaos merah, juga menangkap sikap antusiasme rakyat terhadap politik. “Lima tahun lalu politik hanya didiskusikan oleh klas menengah dan atas. Sekarang orang miskin dan orang desa sudah mulai tertarik dan terlibat,” katanya.

Fred Warren Riggs, penulis buku ‘Thailand: the modernization of a bureaucratic polity, menulis bahwa politik Thailand sesunggunya hanyalah tentang apa yang dikerjakan oleh elit, karena sebagian besar penduduknya sangat ‘pasif dan bodoh secara politik’.

Itu pula yang selalu menjadi landasan kenapa kaum intelektual dan kalangan elit Thailand selalu menuduh Thaksin telah membeli orang miskin. Kata orang-orang tercerahkan itu, para pendukung Thaksin adalah orang-orang bodoh yang tak tahu politik, atau pendek kata, korban dari patronase politik.

Benarkah demikian? Tidak juga. Kemenangan Thaksin adalah hasil dari kebangkitan gairah politik rakyat; gairah dari mereka yang mulai sadar bahwa ada pemerintahan yang bisa mendatangkan kebaikan bagi si miskin.

Justru, dengan kemenangan Thaksin dua periode, rakyat sedang menunjukkan bahwa merekalah pengendali politik yang sebenarnya. Bukan para pakar politik di Universitas, bahkan bukan raja.

Arti Penting Kemenangan Pemilu

Menurut Giles Ji Ungpakorn, hasil pemilu Thailand baru-baru ini adalah sebuah tamparan keras bagi kediktatoran. Ini membuktikan bahwa mayoritas rakyat menolak militer, partai demokrat, dan elit royalis.

Hasil pemilu sekaligus memperlihatkan polarisasi kelas dalam masyarakat Thailand. Sebagian besar pendukung Abhisit Vejjajipa datang dari klas menengah dan kaum elit, sementara pendukung Yingluck Shinawatra datang dari kalangan miskin dan kaum terpinggirkan.

Karena persoalannya lebih mendasar, sampai pada konflik klas-klas sosial, maka hasil pemilu pun harus dilihat sebagai aspirasi umum dari kelas bawah dan kaum terhisap. Kendati yang dimajukan adalah seorang pengusaha dan kendaraan politiknya adalah partai kapitalis, tetapi kegairahan politik rakyat saat ini adalah didorong oleh keinginan adanya redistribusi kekayaan dan pengelolaan sumber daya secara lebih adil.

Ini adalah kemenangan dari sebuah politik harapan; bukan harapan akan kembalinya Thaksin Sinawatra, sang miliarder yang terkenal itu, melainkan kembalinya atau datangnya sebuah negara yang memihak kepada si miskin dan seluruh rakyat.

Leave a Response