Haiti

Saya hampir tidak pernah melirik Haiti. Kalau bukan karena bencana, kekacauan politik, dan wabah penyakit, negeri kecil di kepulauan Karibia ini jarang mendapat sorotan.  Haiti nyaris menjadi negeri yang hilang.

Tapi, siapa sangka, melalui artikel pendek Eduardo Galeano, jurnalis kiri Uruguay itu, saya mengetahui bahwa Haiti merupakan negara Amerika pertama yang meraih kemerdekaannya.

Sementara Amerika Serikat, negara yang didapuk sebagai negeri merdeka pertama di benua itu, memerdekakan diri dengan tetap membiarkan 650 ribu orang tetap menjadi budak.

Dari Galeano, saya juga mengetahui bahwa Haiti-lah negara pertama di dunia yang menghapuskan perbudakan. Budak-budak kulit hitam di Haiti telah mengalahkan tentara Napolen Bonaparte dan eropa tidak pernah terima “penghinaan” ini.

Thomas Jefferson, seorang pemilik budak dan sekaligus dikenang sebagai bapak pembebasan Amerika, pernah mengatakan, “kebebasan kaum negro, jika diakui di Haiti dan disahkan oleh Perancis, akan menjadi titik kumpul para pencari kebebasan dan dunia baru.”

Amerika Serikat tidak mau melihat kemerdekaan Haiti. Eropa juga tidak mau melihat kebebasan bersinar terang di sana. Untuk mengembalikan perbudakan di Haiti, Perancis sampai mengirimkan tentara yang diangkut oleh 50 kapal. Invasi itu juga didukung oleh Amerika Serikat, Inggris, dan Belanda.

Perancis baru mau mengakui kemerdekaan Haiti, setelah negeri itu bersedia membayar 90 juta franc dalam bentuk emas sebagai “konpensasi atas kebebasan”.

Jean-Bertrand Aristide, Presiden Haiti yang digulingkan oleh AS, pernah mengatakan, “Perancis telah memeras uang dari Haiti dengan paksaan…sehingga negerinya benar-benar tidak punya lagi uang untuk membangun sekolah, jalan, irigasi, kesehatan dasar, dan jalan raya.”

Utang itu telah menjadi senjata para kolonialis untuk menjarah hutan, emas, minyak, dan gas milik rakyat Haiti. Setiap tahunnya, Perancis menyedot 80% anggaran Haiti untuk pembayaran utang itu.

Penderitaan dan penghinaan terhadap Haiti belum berakhir. Pada tahun 1915, dengan menggunakan topeng kemanusiaan, mariner Amerika Serikat menyerbu dan menduduki Haiti. Para penyerbu ini bertahan di sana hingga 19 tahun. Selama itu, Presiden Haiti dan orang-orang kulit hitam dilarang masuk ke hotel pribadi, restoran, dan klub.

Amerika Serikat meninggalkan Haiti pada tahun 1934. Sekalipun penjajah telah pergi, mereka telah mewariskan sebuah kekerasan dan konflik berkepanjangan. Haiti jatuh ke tangan diktator yang saling berganti.

Jean-Bertrand Aristide, seorang pastor penganjur pembebasan, menjadi Presiden Haiti pada tahun 1991. Tapi ia hanya berkuasa beberapa bulan karena AS segera mengusirnya dan memaksanya ke Amerika Serikat. Ia kembali lagi berkuasa di Haiti pada tahun 2004, tetapi lagi-lagi diturunkan paksa oleh AS.

Christopher Columbus, ketika menemukan pulau ini pada abad ke-15, memberi gelar “permata dari Karibia”. Tetapi kini Haiti telah menjadi tempat dari sebuah kemalangan dan kekejian kolonialisme barat.

Saat ini, tentara dari berbagai negara, termasuk perusahaan tambang, masih menduduki Haiti.

Saya menuliskan artikel ini  hanya untuk membawa sebuah pesan: “marilah kita berterima kasih kepada negeri kecil di Karibia itu. Karena merekalah yang pertama kali membuka pintu kebebasan!”

KUSNO

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid