Gerakan Rakyat Makassar Tolak Komersialisasi

Berbagai organisasi pergerakan di Makassar, Sulawesi Selatan, menggelar aksi massa bertepatan dengan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas), hari ini (2/5).

Aksi pertama dilakukan oleh sedikitnya 300-an orang dari Gerakan untuk Kemerdekaan Nasional (Graknas) di Kantor Gubernur Sulsel. Massa Graknas memulai aksinya dengan berkumpul di bawah Fly-over Tol Reformasi, lalu bergerak menuju kantor Gubernur.

Graknas juga membawa patung babi “ngepet”, sebuah simbolisasi terhadap watak pemerintah yang suka mengcoleng uang negara. Babi ngepet itu diarak dan diperlihatkan kepada para pengguna jalan di sepanjang jalan Urip Sumoharjo.

Setibanya di kantor Gubernur, perwakilan organisasi dari Graknas menyampaikan orasi politik secara bergantian. “Bangsa yang besar adalah bangsa yang mengedepankan pendidikannya,” kata Arham Tawarrang, ketua Partai Rakyat Demokratik (PRD) Sulsel, mengutip sebuah pepatah bijak.

Sementara itu, Makbul, aktivis LMND, menceritakan mengenai bahaya komersialisasi pendidikan yang sedang mengancam penyelenggaraan pendidikan di semua jenjang.

Selain Graknas, kelompok gerakan lain yang menggelar aksi adalah Forum Silaturahmi Lembaga Kemahasiswaan Universitas Hasanuddin. Jumlah massanya hanya seratusan orang. Para mahasiswa berjaket merah ini pun memilih untuk menggelar aksinya di Kantor DPRD Sulsel.

Tuntutan utama mahasiswa lembaga Mahasiswa Unhas ini adalah penolakan terhadap komersialisasi kampus, pencabutan PP nomor 66 tahun 2010 tentang penyelenggaraan pendidikan, dan menolak Ujian Nasional.

Juga Menggandeng Isu Buruh

Dalam tuntutan aksi Graknas, masalah-masalah perburuhan juga diangkat. “Kami merangkaikan aksi hari ini dengan peringatan Hari Buruh Se-dunia yang dirayakan kemarin,” kata Nurjaya selaku koordinator Graknas.

Persoalan perburuhan yang paling disorot oleh Graknas, yakni: pencabutan sistim kerja kontrak dan outsourcing, menolak politik upah murah, perlindungan terhadap produk lokal, dan industrialisasi nasional.

Menurut Nurjaya dalam orasinya, adanya praktek sistim kerja kontrak dan outsourcing telah menyebabkan tiadanya kepastian kerja dan hubungan industrial yang jelas. “Jika kepastian kerja tidak bisa dijamin, maka pemerintah telah melanggar konstitusi,” katanya.

Leave a Response