Mengenai Gerakan Perempuan Berbasis Massa

Sudah hampir tiga abad, sejak Mercy Otis Warren dan kawan-kawannya mendesak pengakuan atas hak perempuan dalam Undang-Undang Dasar AS, gerakan perempuan berada di teleng pembebasan kaumnya, untuk menempatkan kaum perempaun sebagai manusia bermartabat dan setara dengan lainnya.

Dalam kurun waktu itu, gerakan perempuan telah ambil-bagian pula dalam berbagai perjuangan bersama rakyat secara umum, seperti pejuangan anti-kolonial, anti-imperialisme, hingga perjuangan untuk sosialisme.

Demikian pula dengan Indonesia, negara tempat kaum perempuan telah memainkan peran yang sangat signifikan, bahkan menjadi cikal bakal dari munculnya gagasan soal nation itu sendiri—Kartini.

Akan tetapi, paska penghancuran dan represi brutal oleh rejim Soeharto terhadap gerakan perempuan, kita semakin sulit menemukan sebuah gerakan perempuan yang melibatkan partisipasi massa secara luas. Kita jarang sekali menemukan minat kaum perempuan secara luas, khususnya kalangan bawah, untuk mendiskusikan atau berpartisipasi dalam isu-isu gerakan feminis.

Kita menyaksikan keterputusan antara isu-isu feminis dengan kenyataan-kenyataan yang dihadapi sebagian besar kaum perempuan. Ketika sebagian besar feminis menyerukan peningkatan porsi perempuan di dalam kekuasaan politik, sebagian besar pemilih perempuan masih termobilisasi menurut pilihan-pilihan pragmatis mereka. seperti ditemukan CSIS, bahwa 80% perempuan lebih senang memilih SBY-Budiono, padahal kebijakan neoliberal keduanya sangat menindas perempuan.

Elitisme Gerakan Perempuan

Setelah rejim Soeharto tumbang dan angin kebebasan (terbatas) mulai bertiup,  gerakan perempuan mulai berusaha menemukan momentum untuk muncul kembali, namun belum berkembang seperti sedia-kala.

Memang, sebagai konsekuensi dari kebebasan (terbatas) itu, sebagian aktifis perempuan bisa membaca kembali dan bergelut dengan persoalan teoritis, sehingga lebih cerdas dalam meluncurkan isu-isu yang berbau gender. Perempuan kelas atas dan kelas menengah, termasuk dari golongan akademisi dan mahasiswa, menjadi sektor yang paling dinamis dalam menyerap teori-teori feminis dari luar.

Ada sedikit masalah di sini; pertama, sebagaian gerakan perempuan—liberal, radikal, dan sosialis—terkadang menyerap teori-teori feminis secara tidak kritis, dan sangat minim sekali melakukan kajian mengenai karakteristik situasi perempuan di Indonesia. Kedua, gerakan perempuan memang berhasil menjawab sebagian besar problem teoritis, namun gagal dalam menjalan problem nyata kaum perempuan mayoritas. Sangat sedikit kaum feminis yang memahami situasi perempuan kaum tani, buruh, dan kaum miskin lainnya.

Alih-alih bisa menjawab tuntutan konkret perempuan kebanyakan, sebagian kaum feminis sibuk menyusun kampanye mereka di “menara gading”. Sehingga mereka terlihat agak eksklusif di tengah-tengah kaumnya sendiri.

Di mata perempuan kebanyakan (petani, buruh, dan miskin perkotaan), masalah terbesar mereka adalah sosial-ekonomi akibat sistim neoliberalisme; bagaimana mendapatkan pekerjaan yang layak, mendapatkan akses kesehatan, pendidikan, dan mendapatkan perlindungan dari kekerasan. Itu pula persoalan kerumah-tanggaan yang paling banyak membuat pusing “tujuh keliling” kalangan ibu-ibu.

Adalah fakta yang tak terbantahkan, bahwa sebagian besar orang miskin di Indonesia adalah kaum perempuan, sebagian besar putus sekolah adalah perempuan, tingkat kematian tertinggi adalah perempuan. Inilah medan perang yang sebenarnya.

Roti dan Neoliberalisme

Jika membaca sejarah gerakan perempuan di masa lalu, kita akan menemukan bahwa perempuan banyak menuntut soal roti. Theroigne de Mericourt, seorang feminis perancis, telah memimpin 8000 perempuan berbaris meminta roti. Di Amerika, tahun 1908, puluhan ribu perempuan juga menuntut roti. Dan di Rusia, ketika perempuan yang mengawali bergemanya revolusi oktober, mereka telah berteriak “roti, tanah, dan perdamaian”.

Ada yang mengatakan, isu semacam itu terlalu “urusan perut” dan sedikit sekali berbau tuntutan gender. Akan tetapi, bagi perempuan kalangan bawah yang kurang terpelajar dan terlalu tertekan karena masalah ekonomi, tuntutan “roti’ jauh lebih nyata dan konkret dibanding isu lainnya. Dan, seketika tuntutan roti bisa menjadi pemberontakan politis, tatkala rejim berkuasa tidak cakap dalam meresponnya.

Sekarang ini, di era yang disebut neoliberalisme, perempuan terkena dampak buruk tidak saja karena posisi yang tak adil di dalam kelurga ataupun masyarakat, tetapi juga dihasilkan oleh pembagian kerja secara seksual. Perempuan sangat menderita karena fleksibilitas pasar tenaga kerja, terkena dampak privatisasi, dan penghapusan subdisi.

Dengan tujuan memudahkan perampokan sumber daya alam dan kekayaan nasional yang diakumulasi secara kolektif, neoliberalisme melakukan penyusutan atau deformasi negara, terutama aspek negara yang baik-buruknya berhubungan dengan kepentingan kolektif atau ide-ide kesejahteraan. Akibatnya, perempuan yang sudah tidak berdaya secara sosial harus berhadapan dengan, meminjam istilah sutradara Oliver Stone, “kapitalisme ganas”.

Tidak jauh-jauh, korban paling terpukul dari serangkaian kebijakan itu adalah kaum perempuan, yang sudah sejak lama memang sudah dilumpukan kemampuan dan dihambat kemajuannya. Ada tiga persoalan krusial yang sangat genting untuk dipenuhi bagi perempuan; pekerjaan yang layak, pendidikan, dan kesehatan. Disamping persoalan-persoalan lainnya, seperti kesehatan reproduksi, perlindungan dari kekerasan dan pelecehan seksual, perdagangan perempuan, diskriminasi, dan lain sebagainya.

Secara politik, suka atau tidak suka, gerakan perempuan harus menjadi bagian paling aktif dalam konvergensi gerakan anti-neoliberal dan anti-imperialisme. Dan, karena neoliberalisme juga melahirkan polarisasi kelas yang sangat tajam di kalangan perempuan sendiri, maka perempuan kalangan bawahlah yang sangat berkepentingan dan terbukti aktif dalam mobilisasi-mobilisasi menuntut kesejahteraan.

Turun Ke Bawah

Ada pengalaman menarik dari gerakan perempuan Indonesia di masa lalu sehubungan dengan kerja-kerja di tengah massa. Seperti diceritakan Umi Sardjono, ketua umum Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani), bahwa gerakan perempuan di masanya sangat aktif dalam melakukan pembelaan hak-hak perempuan sebagai ibu, pekerja, dan warga negara, menyokong pendidikan dan kesejahteraan, dan memperjuangkan hak anak-anak untuk hidup.

Gerwani aktif memberikan ketrampilan kepada perempuan, seperti menjahit, merenda, menyulam, dan masak-memasak. Mereka juga aktif dalam gerakan pemberantasan buta huruf dan gerakan pendidikan hingga ke desa-desa. Untuk anak-anak, organisasi yang dicap komunis ini mendirikan TK.Melati. Untuk menarik dukungan pedagang menengah dan kecil yang sebagian besar adalah perempuan, gerwani juga mendirikan tempat penitipan anak di pasar-pasar.

Dalam lapangan perjuangan lain, gerwani juga aktif bersama organisasi lain dalam membela ibu dan anak-anak terlantar karena suami kurang bertanggung-jawab, mengorganisir buruh perempuan yang dirugikan sistim kerja, hingga turun ke sawah atau ladang untuk membela kaum tani dan hak atas tanah garapan dari tuan tanah dan perusahaan besar.

Pantas saja, gerwani berhasil tumbuh menjadi organisasi perempuan terbesar saat itu dengan jumlah anggota mencapai 1,5 juta. Sampai sekarang, belum ada organisasi perempuan revolusioner yang mempunyai anggota sebanyak itu.

Bagi gerakan perempuan sekarang, tidak ada salahnya untuk mengambil pelajaran-pelajaran terbaik dari masa lalu dan mengkombinasikannya dengan kebutuhan-kebutuhan dalam situasi yang baru. Tetapi, prinsip bahwa “aktivis perempuan harus turun ke bawah”, adalah bersifat wajib.

Turun ke bawah adalah sekaligus untuk mengetahui dan mengenal massa atau keadaan lebih lanjut, seperti pernah dikatakan Mao Tse Tung; “massa adalah pahlawan yang sebenarnya, sementara kami sering bersifat kekanak-kanakan dan mengabaikannya, dan tanpa memahami hal ini, adalah mustahil untuk mendapatkan pengetahuan bahkan yang paling dasar.”

Karenanya, tugas mendesak gerakan perempuan adalah mendirikan sekretariat atau komite-komite di tengah massa, mempelajari dengan detail situasi masyarakat dan kaum perempuan di suatu tempat, dan mengorganisasikan mereka menurut kebutuhan-kebutuhan paling real.

Bergaris massa bukan berarti mengabaikan orientasi atau perspektif politik, tetapi keduanya bersifat satu kesatuan, yaitu, bekerja di tengah massa sambil memberikan arah atau perspektif perjuangan politik. Karena, bagaimanapun, perjuangan perempuan hanya akan berjangkauan luas jikalau mengambil bentuk-bentuk perjuangan politik dan didasarkan pada teori-teori revolusioner.

Rudi Hartono

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid