Gembar-Gembor Maritim, Tapi Abai Petani Garam

Derita petani garam hari ini hanya memperpanjang bukti betapa Negara tidak pernah hadir, apalagi memihak, pada perlindungan dan pemajuan garam nasional.

Dengan garis pantai terpanjang kedua di dunia, hampir 70 persen wilayah RI adalah laut, juga iklim tropis yang membuat suhu hangat dan terus terterangi matahari sepanjang tahun, Indonesia harusnya tak kekurangan garam.

Itu anugerah. Dan itu pula yang membuat bangsa ini cepat mengenal garam. Konon, nusantara sudah mengenal garam sejak abad ke-9 masehi. Sejak itu, garam jadi komoditas penting yang diperdagangkan oleh bangsa-bangsa di Nusantara.

Di masa lalu, untuk melaut dalam jangka waktu yang lama, leluhur kita menghasilkan teknik pengasinan makanan. Kita akhirnya mengenal ikan asin. Selain itu, banyak produk kuliner Indonesia yang diperkaya cita-rasanya oleh garam. Sampai keluar pepatah kuno: bagai sayur tanpa garam.  Orang yang kaya pengalaman disebut sudah banyak makan asam garam.

Sayang, meski bangsa ini sudah lama mengenal garam, lalu banyak aspek hidupnya bergantung pada garam, kemudian daya dukung alam cukup baik, bangsa ini tak banyak makan asam garam alias kurang berpengalaman dalam memproduksi dan mengolah garam.

Sebetulnya, ketika Jokowi muncul dengan narasi bangsa maritimnya, ada harapan besar agar Indonesia tak lagi memunggungi laut. Tak lagi mengabaikan nasib rakyat yang menggantungkan hidupnya pada laut.

Ternyata, narasi bangsa Maritim itu hanya gembar-gembor kosong. Garam contohnya. Hingga 2020 ini, Indonesia tetap tak berdikari dalam urusan garam.

Tahun 2020 ini, impor garam Indonesia meningkat menjadi 2,92 juta ton. Jumlah ini naik 6 persen dibanding tahun sebelumnya, 2019, yang sebesar 2,7 juta ton.

Di sisi yang lain, pada 2019, produksi garam nasional justru sedang naik. Jumlahnya mencapai  2,86 juta ton. Tahun sebelumnya, produksi garam kita hanya 2,7 juta ton. Di tahun 2019 juga, produksi PT Garam (Persero), BUMN yang berproduksi garam, tembus sebesar 450 ribu ton.

Menteri Perindustrian Agus Guwiwang mengatakan, impor garam dilakukan karena terpaksa, demi memasok kebutuhan industri yang terus meningkat.

Masalahnya, garam kebutuhan industri harus memenuhi standar kualitas tinggi, yakni kandungan NaCL miminal 98 persen hingga 99 persen. Sementara garam lokal, yang mayoritas dihasilkan oleh garam rakyat, kandungan NaCL-nya di kisaran 81-96 persen.

Apakah persoalannya sesederhana itu?

Aliansi Asosiasi Petani Garam Rakyat Indonesia (A2PGRI) berpendapat, ketika produksi garam nasional di satu sisi meningkat, sementara di sisi lain impor garam juga meningkat, memicu kondisi over-supply.

Begini hitung-hitungan A2PGRI. Tahun lalu, produksi garam nasional mencapai 2,9 juta ton, sedangkan impor mencapai 2,75 juta ton. Artinya, ada stok sekitar 5,6 juta ton. Kalau kebutuhan nasional hanya 4,5 juta ton, berarti masih ada sisa stok 1,1 juta ton.

Hitungan A2PGRI itu tidak jauh beda dengan penjelasan Direktur Jenderal Pengelolaan Ruang Laut, Brahmantya Satyamurti Poerwadi, yang dikutip oleh Detik.com pada 9 November 2019.

Menurut dia, stok garam di akhir 2019 bisa mencapai 5,2 juta ton, sedangkan kebutuhan nasional hanya 4 juta ton. Artinya, ada surplus sebesar 1,2 juta ton. Artinya lagi, masih ada 1,2 juta ton garam lokal yang belum terserap pasar hingga saat ini.

Kebijakan impor di tengah produksi lokal yang meningkat memang memicu over-supply.  Hingga saat ini, ada sekitar 1 juta ton garam rakyat yang belum terserap pasar.

Hal ini juga yang membuat harga garam rakyat terjun bebas, dari harga di kisaran Rp 2700 di tahun 2017 menjadi tinggal Rp 200-300 sekarang ini. Keadaan inilah yang membuat petani garam di daerah sentra-sentra penghasil garam, seperti di Madura, menjerit-perih.

Sayang, jerit perih petani garam nyaris tak didengar oleh pemerintahan yang gembar-gembor sebagai bangsa Maritim, yang gembar-gembor ingin menjadikan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia.

Derita petani garam hari ini hanya memperpanjang bukti betapa Negara tidak pernah hadir, apalagi memihak, pada perlindungan dan pemajuan garam nasional.

Pertama, dari sejak Nusantara mengenal garam, lalu menjadi komoditas penting dalam perdagangan di abad ke-19, hingga di abad yang disebut era revolusi industri 4.0, teknik produksi garam Indonesia tidak berkembang.

Tetap bersandar pada alam. Masih tetap bergantung pada kebaikan cuaca. Jika curah hujan tinggi, seperti ketika terjadi fenomena La Nina, maka sudah pasti produksi garam Indonesia akan anjlok drastis.

Nyaris tidak ada sentuhan teknologi dalam produksi dan pengolahan garam di Indonesia. Penyebabnya, negara tidak pernah hadir dalam melindungi, memberi dukungan modal hingga teknologi, kepada petani garam.

Teknik produksi garam rakyat yang nyaris tak disentuh oleh teknologi itu berdampak banyak: kualitasnya rendah (kandungan NaCL 81-96 persen), jumlah produksinya sedikit, tidak bisa kontinyu (karena bergantung cuaca), dan lain-lain.

Jadi, kalau pemerintah bilang, garam lokal tidak bisa diserap oleh industri karena kualitasnya rendah, sebetulnya itu seperti kata pepatah: menepuk air di dulang, memercik muka sendiri. Maksudnya, kualitas rendah pada garam lokal terjadi lantaran absennya negara/pemerintah.

Kedua, disparitas harga yang cukup tinggi antara garam lokal dan impor membuka celah bagi ekonomi rente. Untuk diketahui, harga garam lokal (pada 2017) di kisaran Rp 2700, sedangkan garam impor hanya Rp 500. Ditambah lagi, impor garam untuk kebutuhan industri tidak dikenai bea masuk.

Kondisi itu sangat menggiurkan bagi pemburu rente. Dan faktanya, seperti temuan Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU) beberapa hari lalu, garam untuk kebutuhan industri ternyata merembes ke pasar untuk konsumsi.

Jadi, kebijakan impor garam tidak melulu karena faktor menipisnya pasokan di dalam negeri, tetapi untuk melayani kepentingan para pemburu rente.

Selain itu, kebijakan impor ini juga karena ketundukan Indonesia pada agenda perdagangan bebas.

Singkat cerita, selama negara tak punya keberpihakan pada garam nasional, baik dalam bentuk perlindungan maupun dukungan modal dan teknologi, maka selamanya kita tidak akan berdaulat dalam urusan garam.

MAHESA DANU

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid