Mantan Presiden Bolivia Evo Morales, mengisahkan pengalaman negerinya melakukan industrialisasi selama periode pemerintahannya (2006-2019) sebelum dikudeta atas dukungan AS dan Inggris. Kisah ini ia sampaikan dalam wawancara eksklusif dengan sebuah media independen Inggris, declassifieduk.org yang ditayangkan 14 Juli 2022.
Bolivia adalah negara kaya sumber daya alam, penghasil gas alam, minyak bumi, lithium dan kekayaan mineral lainnya.
Nasionalisasi
Dalam seratus hari pemerintahannya Morales telah menasionalisasi minyak dan gas alam negerinya. Ia memerintahkan angkatan bersenjata untuk menduduki seluruh ladang minyak dan gas, kemudian memberikan batas waktu enam bulan kepada koporasi-korporasi transnasional untuk memenuhi permintaannya atau pergi.
Dikisahkan, selama kampanye pemilihan presiden tahun 2005 pihaknya mempersoalkan keberadaan perusahaan-perusahaan transnasional di Bolivia. “Kami bilang, jika korporasi-korporasi ingin berada di sini maka mereka harus bersikap sebagai mitra, atau menyediakan jasanya, bukan sebagai bos atau sebagai pemilik dari sumber daya alam,” kata Morales. Posisi politik ini disampaikan dalam hubungan dengan perusahaan-perusahaan transnasional, “kami bicara, kami negosiasi, tapi kami tidak takluk pada mereka,” tambahnya.
Morales kemudian mencontohkan kontrak antara perusahaan hidrokarbon dengan pemerintahan sebelumnya. Di sana tertulis bahwa perusahaan transnasional mempunyai hak atas produk sejak dari mulut sumur minyak.
“Perusahaan itu bilang pada kami, saat masih di bawah tanah kekayaan itu milik orang Bolivia, tapi setelah keluar ke permukaan menjadi milik perusahaan. Kami katakan, baik masih di perut bumi atau di permukaan, itu milik rakyat Bolivia,” lanjut Morales.
Hal paling penting menurut Morales adalah skema bagi hasil penjualan kekayaan minyak dan gas selama pemerintahannya menjadi 85% untuk Bolivia dan 15% untuk korporasi, dari sebelumnya 15% untuk Boliva dan 85% untuk korporasi. Dalam skema yang lama tersebut negara tidak dapat mengontrol berapa banyak yang diproduksi.
Morales mengakui bahwa perjuangan untuk nasionalisasi itu berat. Sebagian perusahaan memilih hengkang dari Bolivia. Tapi ia menekankan agar perselisihan tidak dibawa ke International Centre for Settlement of Investment Disputes (ICSID), lembaga arbitrase yang dikontrol oleh Bank Dunia, melainkan diselesaikan di Bolivia. “Karena ini menyangkut kedaulatan dan kehormatan”, kata Morales.
Industrialisasi
Tahap kedua dari revolusi yang dilakukan pemerintahannya setelah nasionalisasi adalah industrialisasi. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan nilai tambah dari pertambangan, khususnya yang terpenting menurut Morales, adalah lithium.
Menurut lembaga Survey Geologi AS, Bolivia merupakan negara dengan cadangan lithium terbesar di dunia. Dari sekitar 80 juta ton cadangan terbukti, 21 juta ton terdapat di negeri tersebut.
Evo menceritakan pengalamannya dalam kunjungan kerja ke Korea Selatan tahun 2010. “Kami mendiskusikan persetujuan bilateral, investasi dan mereka membawa saya kunjungi sebuah pabrik yang memproduksi batre lithium,” cerita Morales. Sebelum itu Korea Selatan telah meminta Bolivia untuk memasok bahan mentah lithium.
Evo kemudian bertanya berapa biaya yang dibutuhkan untuk membangun pabrik batre tersebut. Jawabannya 300 juta dolar AS. Evo berpikir bahwa dari sumber daya alamnya, Bolivia memiliki cadangan anggaran tersebut. Ia kemudian meminta kepada orang Korea untuk membangun pabriknya di Bolivia. “Saya bisa menjamin 300 juta dolar, dan saya jamin investasi anda di Bolivia,” cerita Evo. Tapi jawaban yang diperoleh adalah tidak.
“Sejak itu saya berpikir bahwa negara industri maju hanya menginginkan kami (Amerika Latin) untuk menjamin pasokan bahan mentah sumber daya alam. Mereka tidak ingin memberikan kami nilai tambah,” kata Evo.
Pada titik tersebut Evo mengubah kebijakan negaranya. Tidak ada lagi penjualan bahan mentah. Evo putuskan bahwa Bolivia harus memproduksi batre sendiri dari sumber daya lithium yang melimpah.
“Kami memulainya dengan sebuah laboratorium, dengan mendatangkan ahli dari luar negeri yang kami rekrut,” kata Evo. Selanjutnya, mereka bergeser ke pabrik percontohan dengan investasi sebesar 20 juta dolar AS. Pabrik ini sudah melakukan produksi. Setiap tahun pabrik ini menghasilkan sekitar 200 ton lithium karbonat dan batre lithium.
Evo menceritakan bahwa Bolivia dalam pemerintahannya berencana membangun 42 pabrik baru sampai dengan tahun 2029. Keuntungannya bisa sampai dengan 5 miliar dolar AS.
“Pada saat itulah terjadi kudeta,” kenang Evo. Ia mengatakan bahwa Amerika Serikat tidak menginginkan kehadiran investor Tiongkok di Bolivia. “Padahal hubungan ekonomi dengan Tiongkok sangat penting. Begitu juga dengan Rusia dan Jerman,” tambahnya.
“Penting untuk berdagang dan berhubungan di atas dasar saling menguntungkan, bukan kompetisi. Dan kami mendapatkannya dari beberapa negeri Eropa. Tapi di atas semua kami temukan Tiongkok. Hubungan diplomatik dengan mereka tidak dibebani syarat apapun,” ujar mantan Presiden berlatarbelakang aktivis petani dan masyarakat adat tersebut.
(Dom)
- Fascinated
- Happy
- Sad
- Angry
- Bored
- Afraid