Ada seorang kawan yang tiba-tiba saja datang dengan wajah yang kusam, seolah “gambaran” tentang dirinya selama ini adalah sebuah tirai atas kondisi atau sesesap suasana kebatinan yang “runyam,” yang sejatinya adalah kondisi yang sebenar-benarnya.
Saya mengatakan tiba-tiba karena “gambaran-gambaran” yang sampai ke angan saya sejauh ini adalah soal keperkasaan atau kejagoannya dalam dunia pergerakan, pemberdayaan masyarakat, dan kedekatannya dengan tokoh-tokoh yang jauh dari gapaian saya.
Pada waktu kedatangannya itu ia hanya merasa sakit hati, bingung, dan sedikit khawatir dengan masa depan di dunia yang tengah digelutinya selama ini. Ia berupaya, dengan segala pilihan yang sulit untuk dipilih, mundur dari dunia yang selama ini telah membesarkannya—bahkan ia pun sempat berangan untuk menjadi petani yang jauh dari segala kemegahan kaum elit yang seakan gagal untuk ia raih.
“Katanya ring pertama para penguasa itu adalah golonganmu?,” canda saya dengan berlagak bocil.
Siapa sangka ternyata semua gambaran dan kabar yang pernah saya terima selama ini, dan mungkin juga orang lainnya, sangatlah jauh berbeda.
Sejak beberapa tahun terakhir, dengan mengeksplorasi kebudayaan Jawa yang konon feodalistik, saya mengembangkan berbagai pola yang dapat pula dikenakan pada dunia politik. Entah kenapa sepertinya, sejak pilpres 2014, dinamika perpolitikan di Indonesia, dan juga dunia-dunia yang masih terkait dengannya, seolah mengikuti pola-pola tertentu yang dalam kebudayaan Jawa disebut sebagai “jangka.”
Dalam tangkapan saya, pola yang menjebak kawan saya itu saya sebut sebagai pola “wis wani wirang.” Saya tak mengatakan bahwa pola ini, ataupun pola-pola lainnya, berkonotasi baik ataupun buruk.
Dalam amatan seorang Guy Debord, di masa sekarang orang tengah hidup di zaman yang dikenal sebagai zaman “masyarakat tontonan” dimana relasi-relasi sosial lebih didasarkan pada “gambar” atau citra-citra. Selama ingin menjadi sebuah “tontonan” yang menarik tentu saja ada berbagai syarat yang mesti ditempuh. Dan syarat-syarat itu pun tak mesti harus jelas tertulis. Ketika tak mampu memenuhi syarat-syarat yang semuanya tak mesti tertulis, orang pun mesti pula harus di-“putih”-kan atau dibuang.
“Putih” adalah juga sebuah pola sebagaimana “wis wani wirang”—bahkan pun konon mereka sekubu. Dalam jagat pewayangan, “wis wani wirang” adalah pola yang menjadi pendekatan khas seorang Durga. Adapun “putih” adalah pola yang menjadi pendekatan khas Lara Amis atau Setyawati, isteri Prabu Santanu di Hastinapura.
Untuk sedikit menautkan dengan dinamika politik yang ada, pola “putih” inilah yang sebenarnya jauh lebih berbahaya dari pola-pola yang sementara ini ada. Sebab, dalam beberapa kasus, ibarat sepetak hutan, pola inilah yang membenci pohon-pohon yang tinggi menjulang dan membabatnya untuk setara dengan pohon-pohon yang ada. Padahal, semestinya pohon-pohon yang menjulang tinggi itu justru digunakan untuk menolong pohon-pohon rendah yang berada di bawahnya untuk meninggi dan kemudian setara. Dengan kata lain, pola “putih” inilah yang justru menghambat dan melarang sesuatu untuk menjadi besar.
Dan demikianlah yang saya kisahkan pada kawan saya itu, untuk tak “mengencani” Lara Amis yang hanya akan mendatangkan petaka tersendiri. Kegagalan dalam dunia politik mutakhir di Indonesia tak selamanya mesti me-“mutih”-kan orang-orang yang ditengarai gagal. Taruhlah Prabowo dan Sandiaga Uno yang justru menjadi orang-orang yang setia pada yang terpilih yang dahulu adalah lawan politik mereka.
Dengan melihat sejarahnya, pola “putih” jelas-jelas bukanlah pihak atau golongan yang menjadi representasi dari yang terpilih. Dahulu mereka justru menjadi salah satu pembenci yang paling radikal dari yang terpilih. Dengan demikian, ketika orang benar-benar mengangankan masyarakat sipil yang ideal, tentu saja pendekatan “Yes or nothing at all” ala Lara Amis bukanlah pendekatan yang tepat.
Heru Harjo Hutomo
- Fascinated
- Happy
- Sad
- Angry
- Bored
- Afraid