Kita berdiri di hari depan
Mengenang reformasi yang lalu
Berakhir pada garis batas itu
berlapis-lapis windu untuk mencapai bentuk yang baru
seakan zona penirmalaan; dengan kebodohan, kebencian, kebengisan, sisa amis darah, amarah dan air mata
Kita berdiri di hari depan
Mengenang kegusaran kaum terbuang
Terpekur pada belas kasihan sendiri dalam upaya tetap hidup
Menelisik belas kasihan palsu yang berujung pada ketakutan atas hilangnya kuasa diri
Mendengarkan kembali kebisingan politik tanpa hikmah sejarah,
keributan dangkal tanpa kearifan atas segala titipan
Terhenyak menyaksikan optimisme yang retak
antara gimik pemasaran dan kecanggungan menipu diri
Membaca kembali wajah tuna aksara yang menyusuri jalanan pinggiran kota,
sembari menerka kelanjutan hidup esok dengan menyepak seonggok sampah di depannya
Kita harus berdiri di hari depan dan bercermin
Pada waktu-waktu yang durjana
kala kaki-kaki kawula dibabat dan terus dipangkas
serupa bonsai keramat di taman nirwana yang terbengkalai
yang dikutuk untuk tak akan pernah sampai pada daulatnya kembali
seperti siksa abadi yang tak perlu menunggu pada kehidupan kembali
Kita berjalan ke hari depan
rumuskan satu pertanyaan yang harus dinyatakan:
kutukan atas kawula akan berakhir atau diakhiri
kita berangkulan dengan perbedaan,
dengan pandangan kepada Semesta Yang Esa,
dengan hati yang sama pada sesama
tenteram, asih, nan senantiasa menyemai harapan akan keadilan
Dari hari depan itu kita akan bersaksi:
kutukan angkara tergusur menjadi legenda
…
Jakarta, 18/6/2023
Dominggus Oktavianus
(Terinspirasi lukisan “Mengenang Reformasi” karya Mas Firman Ichsan – [1998])