Partai harusnya menjadi badan politik yang menampung sebanyak-banyak orang untuk memperjuangkan cita-cita politik bersama.
Faktanya, jumlah masyarakat Indonesia yang mengasosiasikan diri dengan partai politik sangat sedikit. Dalam politik, ukuran yang menggambarkan kedekatakan atau asosiasi diri dengan partai disebut party-identification atau party-ID.
Hasil survei terbaru Lembaga Survei Indonesia (LSI) menunjukkan, party-ID masyarakat Indonesia hanya 11,6 persen. Sementara survei Indikator Politik Indonesia menyebut lebih rendah lagi: hanya 9,8 persen.

Artinya, kalau merujuk ke angka itu, mayoritas rakyat Indonesia (90-an persen) merasa tidak terasosiasi atau terindentifikasi dengan partai tertentu. Boleh dibilang, mereka adalah massa mengambang.
Pablo Igleasias, pimpinan partai kiri Podemos di Spanyol, menyebut warga yang tak terasosiasi dan tak terwakili oleh partai politik, terutama partai politik arus utama (mainstream), sebagai “yatim piatu politik”.
Boleh dibilang, merujuk ke party-ID yang sangat rendah itu, mayoritas rakyat Indonesia sebetulnya adalah yatim piatu politik. Mereka merasa ditelantarkan oleh partai-partai yang ada. Suaranya tidak pernah didengarkan, apalagi diwakilkan oleh partai-partai di dalam kekuasaan.
Kegagalan Partai
Rendahnya party-ID, atau banyaknya orang yang menjadi yatim piatu politik, tidaklah jatuh dari langit, atau terjadi tiba-tiba secara alami. Penyebabnya ada pada kegagalan partai melakukan identifikasi dan menjalankan fungsi politiknya.
Kegagalan identifikasi merujuk pada dua hal. Pertama, partai-partai yang ada gagal menunjukkan orientasi ideologis sekaligus diferensiasinya dengan partai-partai yang lain. Walhasil, pemilih tidak bisa menemukan perbedaan yang menonjol dari masing-masing partai, kecuali tanda gambar dan warna.
Kedua, partai-partai gagal menciptakan pengorganisasian secara modern, mulai dari menata organisasi, mendemokratiskan pengambilan kebijakan, sosialisasi dan kampanye, hingga mobilisasi.
Banyak kasus, partai-partai malah makin terpersonalisasi. Seolah-olah partai milik pribadi. Relasi antara elit partai dan massa bergaya feodal, tak ubahnya relasi raja dan hamba di masa lampau. Pengambilan kebijakannya tidak demokratis.
Sementara, pada aspek fungsional, partai gagal sebagai alat politik yang memperjuangkan kepentingan warga. Mulai dari memperjuangkan aspirasi dan cita-cita politik, melakukan penyadaran politik, hingga menjadi penyuplai kader-kader politik yang kompeten untuk mengisi jabatan-jabatan politik di legislatif dan eksekutif.
Yang tampak terlihat, partai hanya rajin mengetuk pintu rumah pemilih ketika sedang pemilu. Namun, begitu mendapat kekuasaan, mereka tutup mata dan telinga terhadap berbagai aspirasi dan suara pemilih.
Kader-kader partai yang mengisi jabatan politik, baik di eksekutif maupun legislatif, banyak yang terseret kasus korupsi. Sebab, alih-alih menjadi petugas politik untuk memperjuangkan cita-cita politik partai, tetapi jadi petugas untuk mengalirkan uang negara maupun hasil rente ke kantong-kantong partai.
Oligarki Politik
Surutnya party-ID membawa beragam dampak. Mulai dari turunnya partisipasi elektoral, dukungan elektoral gampang berubah sekejap (volatility), dukungan politik bertumpu pada tokoh/figur (candidate-centered politics), menguatnya politik uang, hingga partai hanya jadi kendaraan politik pribadi (personalisasi politik)[1].
Wajah partai yang buruk itu bertatap muka dengan realitas ketimpangan ekonomi: segelintir orang menguasai kekayaan dan sumber daya.
Sebagian besar dari segelintir kaum kaya ini mendapatkan kekayaannya dari sektor ekstraktif, terutama kayu, sawit, dan batubara. Di sisi lain, karena hanya ekstraksi SDA dan jual dalam bentuk mentah ke pasar dunia, maka ekonomi ekstraktif tak menciptakan nilai tambah. Agar bisa memaksimalkan profit, mereka membutuhkan mekanisme-mekanisme politik untuk menurunkan biaya eksplorasi dan eksploitasi, mengurangi beban pajak, hingga mendapatkan kuota ekspor yang lebih banyak.
Karena itu, segelintir kaum kaya ini selalu butuh mengontrol politik sebagai sarana mempertahankan atau meningkatkan kekayaan (Jeffrey Winters, 2011).
Maka bertemulah kondisi parpol yang buruk itu dengan kepentingan oligarki untuk mempertahankan atau menumpuk kekayaannya. Ditambah lagi, alam politik Indonesia yang makin traksaksional: uang adalah kunci. Aliran uang menentukan mobilisasi dukungan.
Terjadilah, seperti ditemukan Jeffrey Winters, hampir 100 persen dana kampanye parpol di Indonesia diperoleh dari oligarki[2].
Survei KPK tahun 2017 menemukan, sebanyak 82,3 persen calon kepala daerah dan wakil kepala daerah menyatakan dibantu oleh pemodal. Sedangkan pada Pilkada 2018, calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang dibantu cukong sebanyak 70,3 persen[3].
Tentu saja, dukungan itu tak gratis. Setelah menjabat, para politisi itu wajib menjalankan tugasnya yang diberikan oleh oligarki: memastikan kebijakan ekonomi dan politik menguntungkan oligarki.
Partai Alternatif
Sayang sekali, buruknya kinerja partai, yang berujung pada rendahnya party-ID, justru coba dijawab dengan penyederhanaan partai politik. Salah satunya: penerapan ambang batas yang memberatkan parpol untuk mengikuti pemilu dan duduk di parlemen.
Tentu saja, rezim ambang batas bukanlah jawaban yang tepat. Ini hanya akan menguntungkan oligarki: mempertahankan agendanya dengan memelihara status-quo (partai-partai yang berada di parlemen).
Saya kira, yang dibutuhkan bukan penyederhanaan, tetapi justru memperbanyak pilihan-pilihan politik. Setiap upaya mendirikan partai baru, apalagi jika menawarkan warna politik baru, perlu diberi kesempatan.
Beragam kekecewaan warga, baik yang terekspresikan di jalanan maupun di media sosial, entah yang disuarakan lantang maupun dibisikkan pelan, harus diberi kesempatan menemukan artikulasi politiknya.
Karena itu, setiap usaha mendirikan partai baru harus didukung sepenuh-penuhnya. Sebuah partai baru yang tak hanya menyuguhkan wajah-wajah baru, tetapi menghadirkan kebaruan cara dan gagasan politik.
Sebuah partai yang dikelola secara modern, demokratis, dan punya orientasi politik yang jelas untuk kemajuan bangsa.
RUDI
HARTONO, pemimpin
redaksi berdikarionline.com
[1] Lihat Burhanuddin Muhtadi, Politik Uang Dan Dinamika Elektoral Di Indonesia: Sebuah Kajian Awal Interaksi Antara “Party-Id” Dan Patron-Klien, Jurnal Penelitian Politik LIPI Vol.10, nomor 1, 2013.
[2] https://politik.rmol.id/read/2020/06/09/438428/jeffrey-winters-hampir-100-persen-dana-kampanye-di-indonesia-berasal-dari-oligarki
[3] https://nasional.kompas.com/read/2020/10/20/15485561/biaya-politik-823-persen-calon-kepala-daerah-dibantu-pihak-ketiga-kekuasaan
- Fascinated
- Happy
- Sad
- Angry
- Bored
- Afraid