Untuk Memahami Pandangan ekologi sosial, kita harus siap melakukan Perubahan Paradigma. Perubahan paradigma tidak hanya menghendaki suatu perluasan dalam persepsi-persepsi dan cara-cara berpikir kita, tetapi juga menyangkut nilai-nilai kita.
Apa yang kita lihat di jaman modern sekarang ini yaitu adanya perubahan-perubahan paradigma; yang bukan saja pada ilmu pengetahuan, tapi juga dalam ranah sosial, untuk menganalisis tranformasi kultural; yaitu berupa paradigma ilmiah kedalam paradigma sosial, sebagai suatu konstelasi konsep-konsep, nilai-nilai, persepsi-persepsi; Dan praktek-praktek yang digunakan bersama oleh suatu komunitas, yang membentuk suatu visi tertentu atas realitas yang merupakan basis bagi cara komunitas tersebut mengatur dirinya.
Perubahan kultural ini diperlukan karena paradigma lama (paradigma Cartesian) yang kini sedang surut telah mendominasi kebudayaan kita selama beberapa ratus tahun, selama itu telah membentuk suatu masyarakat Barat modern yang berdampak kuat bagi ketegangan dunia. Paradigma lama ini terdiri dari sejumlah ide-ide dan nilai-nilai yang mengugkung budaya manusia, diantaranya adalah: Pandangan alam semesta sebagai suatu sistem mekanik yang tersusun dari pilar-pilar dasar bangunan, suatu pandangan yang menganggap dunia sebagai mesin, dan demikian juga tubuh manusia di ibaratkan sebagai mesin.
Suatu pandangan yang mengatakan bahwa kehidupan dalam masyarakat sebagai perjuangan kompetitif demi eksistensi, kepercayaan akan kemajuan material yang tak terbatas hanya dapat dicapai melalui pertumbuhan ekonomi dan teknologis, dan kepercayaan bahwa suatu masyarakat yang menempatkan wanita dibawah laki-laki merupakan syarat yang mengikuti hukum alam dasariah. Semua asumsi ini ditentang habis-habisan oleh berbagai peristiwa yang kita saksikan dewasa ini, yaitu adanya revisi radikal di dunia modern yang sedang berlaku dewasa ini.
Paradigma Baru yang dimaksud dalam tulisan ini adalah paradigma Ekologi, yang didalamnya terkandung pengertian:
1. Pandangan Ekologi Dangkal.
Ekologi Dangkal yang bersifat antroposentris, atau berpusat pada manusia. Memandang manusia berada diatas atau diluar alam, sebagai sumber nilai, sedangkan alam dianggap bersifat instrumental atau hanya memiliki nilai ´guna` saja.
2. Pandangan Ekologi Dalam.
Ekologi dalam tidak memisahkan manusia atau apapun dari lingkungan alamiah. Benar-benar melihat dunia sebagai kumpulan objek-objek yang terpisah, tetapi sebagai suatu jaringan fenomena yang saling berhubungan dan saling bergantung satu sama lain secara fundamental. Ekologi dalam mengakui nilai intrinsik semua mahluk hidup dan memandang manusia tak lebih dari satu untaian dalam jaringan kehidupan.
Dalam praktek kehidupan yang kita saksikan di NKRI, sebagai dampak dari ekologi dangkal adalah sistem masyarakat kapitalis yang sekarang ini telah berevolusi menjadi masyarakat kapitalis neoliberal, yang di dipraktekan di NKRI oleh rezim SBY-Boediono. Bisa dipercaya bahwa sistem neoliberal yang dipercayai dan di junjung tinggi, dan dipraktekan oleh rezim SBY-Boediono di NKRI adalah 100% bermuatan sifat anti ekologi secara mendasar dalam struktur-struktur sosial dan ekonomis, ini termanifestasikan dalam bentuk —exploitation de l´homme par l´homme– (penghisapan manusia atas manusia) yang tercermin dalam sistem penjualan buruh murah bangsa Indonesia (baca:perbudakan) yang antara lain temanifestasikan dalam bentauk TKI/TKW, korupsi besar-besaran yang didukung oleh budaya KKN ciptaan orde baru, selain itu juga melakukan perusakan genetika sumber-sumber daya alam, tumbuh-tumbuhan, dan binatang, yang tercermin dalam penggundulan hutan-hutan lindung, menguras dan menjual habis-habisan sumber-sumber daya kekayaan alam bumi Indonesia pada pihak asing (cermati: Freeport, Newmont dan Exxon Mobil blok Cepu); yang seharusnya digunakan sebagai cadangan-cadangan strategis untuk kemakmuran rakyat Indonesia yang berkelanjutan.
Inilah yang terjadi di negara kita dibawah kekuasaan kaum penganut setia –holargi-globali-ekonomi pasar bebas– yaitu golongan pendukung imperialisme neoliberal yang di Indonesia diwakili oehen pemerintah SBY-Boediono, yang didukung oleh PD dan Golkar. Jadi Tidak mengherankan jika kemiskinan di NKRI semakin menggunung!! Karena NKRI yang Merdeka telah dirubahnya menjadi NKRI yang terjajah oleh kapitalisme neoliberal pimpinan A S.
Lain halnya dengan dasar ekonomi yang telah ditunjukkanm dalam pasal 33 UUD 45 yang sepenuhnya mengikuti dasar –umum dari ekologi sosial, khusnya ekologi dalam yang secara konsekuen menentang sifat-sifat anti-ekologi yang mendasar dari kebanyakan struktur-struktur sosial dan ekonomis kita dan juga teknologi-teknologinya yang berakar pada apa yang disebut sebagai `sistem domonator` dari oranisasi sosial; separti Patriaki, imperialisme, kapitalisme neoliberal, kolonialisme, feodalisme, diktatorisme, militerisme dan rasisme, yang merupakan sebagai contoh-contooh dominasi sosial, yang bersifat eksploitatif dan anti ekologi. Dibidang Teknologi para pendekar anti ekologi telah merencanakan tenologi Nuklir yang akan di jalankan di Indonesia yaitu; Pembangkitan Listrik Tenaga Nuklir, yang sudah direncanakan akan di didrikan di Jepara-Kudus, tetapnya di di daerah Gunung Muryo.
Dewas ini yang kita sedang menghadapai dampak-dampak konkrit dari pelaksaanaan ekologi dangkal yang telah menyebakan terjadinya konflik–konflik ekologi,yang dampaknya membahayakan biofer (lapisan kehidupan yang mengelilingi Bumi), merusak/mencemari tanah, udara dan air, yang dampaknya akan menyebabkan terjadinya bencana alam ciptaan manusia yang menyebabkan kesengsaraan hidup dan kemniskinan terutama sekali bagi wong cilik yang tersebar luas diseluruh nusantara.
Mengapa bisa terjadi Konflik-ekologi, untuk ini cukup jelals sebabnya; Pertentangan atau konflik ini nampak jelas terutama sekali dalam pertentangan antara ekonomi dengan ekologi , yang berasal dari fakta bahwa alam yang bersifat siklis, sementara system industry kita bersifat linier. Artinya Dunia bisnis kita mengambil sumber-sumber daya alam, selanjutnya mentranformasikan menjadi produk-produk plus sampah, lalu menjual produk-produknya kepada konsumen-konsumennya, yang kemudian membuang lebih banyak sampah setelah mengkonsumikan produk-produk itu.
Pola-pola produksi dan konsumsi yang berkelanjutan seharusnya bersifat siklis, meneruskan sifat siklis yang terjadi di alam. Untuk mencapai pola-pola siklis yang demikian, kita perlu merancang kembali secara fundamental bisnis dan ekonomi kita. Inilah masalah pokok yang kita hadapi sekarang ini, karena kekuasaan di NKRI dikuasai oleh golongan kapitalis neoliberal yang sama sekali tidak mempunyai hari depan terhadap ekologi.
Ini semua tercermin dalam kebijakan-kebijakan para pendekar ekonomi pemerintah neoliberal SBY-Boediono yang dikuasai oleh ekonom-ekonomnya yang secara populer disebut ekonom the Berkeley Mafia, yang sama sekali tidak mempunyai sifat kemitraan (partnership) terhadap ekologi yang merupakan ciri esensial komunitas-komunitas yang berkelanjutan. Dibawah kekuasaan kaum kapitalis neoliberal SBY-Boediono, PD dan Golkar, kemitraan terhadap ekologi dan pasal 33 UUD 45 tidak akan mempunai hari depan. Ini sudah dapat dilihat dan dicermati dari pola-pola ekonominya, dan pembangunannya yang semuanya selalu bersandar pada Utang Luarnegeri.
Pernyataan ini didukung oleh praktek-praktek yang dilakukan oleh para ekonom the Berkeley Mafia, yang tidak banya membahayakan udara, air dan tanah sebagai komunitas-komunitas yang bebas, tetapi juga membahayakan jaringan hubungan-bubungan soaial yang rapuh, yang sangat dipengaruhi oleh ekspansi ekonomis yang terus menerus dideask oleh perekonomian yang mabuk pertumbuhan, seperti misalnya proyek Lapindo Brantas milik keluarga Bakri, yang telah mencoret nama salah sutu desa didaerah Bojonegoro dari peta Jawa Timur, karena desa itu tak mungkin lagi di huni oleh manusia, karena telah menjadi lautan lumpur pasas Lapindo, sebagai dampak dari semburan lumpur panas Lapindo yang tak kunjung berhanti. Belum lagi jika kita cermati kerugiaan-kerugian besar yang dialami oleh penduduk didaerah-daerah itu, terutama sekali wong ciliknya.
Demikianlah yang kita saksikan di NKRI ini, yaitu kebijakan perekonomian yang dikuasai oleh ekonom-ekonom neoliberal yang anti ekologi, yang dengan sendirinya kesadaran ekonominya adalah opportunity cost. Artinya mereka hanya memahami bahwa tehnologi sebagai faktor produksi strategis, tanpa memperhatikan saling kaitannya antara ekonomi dan ekologi. Oleh karena itu tidaklah menherankan jika di NKRI ini dinama-mana terjadi konflik-ekologi.
Para pendekar ekonomi kapitalis neoliberal yang mendominasi kekuasaan politik di NKRI nampaknya tidak tahu bahwa ekonomi adalah hanya merupakan salah satu aspek dari jaringan sosial dan ekologi. Mereka cenderung meretakkan jaringan-jaringan itu baik secara teori maupun secara praktek. Semua konsep dasar dari teori ekonomi kapitalis pada umumnya hanya menyangkut produktivitas dan efisiensi dari tiga faktor ekonomi (yaitu alam, tenaga kerja dan modal), tanpa memperhatikan saling hubungan dan saling ketergantungannya dari komunitas-komunitas sosial dan ekologi.
Suatu contoh lain tentang adanya konflik Ekologi di seluruh dunia termasuk di Indonesia yang nampak dikota-kota dan desa-desa, yang mengancam usaha untuk memeprtahankan komunits-komunitas manusia yang berkelanjutan nampak semakin jelas. Yang gampang saja, misalnya Energi Matahari, dalam banyak bentuk-cahaya matahari sebagai sumber panas dan pembangkit listrik fotovoltaik, angin dan tenaga air, biogas dan sebagainya; adalah merupakan satu-satunya jenis energi yang dapat diperbaruhi, efisien secara ekonomis, serta ramah lingkungan. Sayangnya, para teknokrat pemerintah SBY-Boediono penganut faham kapitalis neoliberal cenderung untuk memilih Pembangkitan Listrik Tenaga Nuklir, seperti yang sudah di rencanakan di daerah gunung Muria (Jepara-Kudus), Madura dan entah dimana lagi. Kehendak pemerintah seperti ini mencerminkan adanya sikap yang mabuk pada pertumbuhan, sekedar mengejar pada pertumbuhan ekonomi tapa memikirkan dampak-dampak sistemik yang akan memicu conflict ekologi dan conflict sosial. Selain dari pada itu industri Nuklir basanya berkaitan erat dengan kepentingan industri persenjataan militer.(cermati AS, Korea Utara, Pakistan, India ).
Ditinjau dari sudut pandang ekologi sosial, secara umum pemerintah NKRI cenderung bersifat anti-ekologis yang mendasar, ini tercermin dalam struktur-struktur sosial dan ekonomis dan teknologi-teknologinya, yang pada umumnya didominasi oleh kekuatan pembela imperialisme neoliberal, kapitalisme neoliberal, rasisme, yang semuanya itu adalah merupakan contoh-contoh dominasi sosial yang eksploitatif anti ekologi. Yang dampaknya dirasakan oleh wong cilik yang hidup di desa-desa, yang paling menyolok adalah proyek Lapindo Brantas milik gruops Bakri dengan seburan lumpur panasnya yang tak kunjung padam seperti yang sudah disinggung diatas, yang dampaknya telah merusak genetika alam, perkampungan tempat tinggal wong cilik, dan lain-lain.
Sekarang wapres Boediono berbicara akan menuntaskan kemiskinan dengen dana sebesar RP 55 triliun, seperti yang di rencanakan oleh Wapres Boediono adalah omongkosong besar. Bisa dipercaya bahwa dana sebesar RP 55 triliun itu adalah dana utangan dari IMF, yang mudah didapatkan oleh Boediono, karena Boediono adalah orangnya IMF yang beroperasi di NKRI. Kalau bukan uang utangan lalu dari mana? Dari sini dapat disimpulkan bahwa pola pembangunan pemerintah neoliberal SBY-Boediono adalah pola pembangunan yang hanya mengejar untuk mencapai kenikmatan di masa jabatannya saya (baca: refleksi -egoisme-, yang egosentris sebagai dampak ekses-ekses-globalisasi kedalam holargi-spirituil); bahwa dampak dari kebijakannya itu akan sangat merugikan generasi bangsa yang berkelanjutan, karena harus menaggung utang yang sangat besar sekali jumlahnya sama sekali tidak dipikirkan.
Dalam hal ini ekologi sosial berpendapat lain: Suatu pemerintahan yang baik adalah suatu pemerintah yang dapat memenuhi kesejahteraan hidup seluruh rakyatnya di era kekeuasaannya, tetapi tidak akan merugikan atau mengurangi kesempatan hidup pada generasi-generasi bangsa dan masyarakat yang akan datang yang berkelanjutan.
Rupanya disaat sekarang ini kita bangsa dan rakyat Indonesia sudah didesak untuk mengadakan kemitraan yang sejati dan komit, belajar bermitra dan berubah untuk berkembang bersama antara komunitas-komunitas manusia dan lingkungan alamnya. Ini berarti kita harus memperhatikan ketegangan dasariah antara tantangan keberlanjutan ekologis dan cara pembentukan masyarakat kita, yaitu antara ekonomi dan ekologi. Dimana ekonomi selalu menekankan kompetisi, ekspansi dan dominasi; sementara ekologi menekankan kerjasama, pelestarian dan kemitraan.
Untuk semuanya itu kita semua dan khusnya para elite bangsa kita terutama sekali yang memegang kekuasaan negara, harus benar-benar melek ekologi dalam!
Melek ekologi dalam atau menyadari kesadaran ekologi dalam, berarti memahami prinsip-pronsip ekkologis, berupa ekosistem-ekosistem, dan menggunakan prinsip-prinsip itu untuk membentuk komuniras-komunitas manusia yang berkelanjutan.
Menyadari kesaling-tergantungan ekologis berarti memahami hubungan-hubungan. Ia memerlukan peruhaban persepsi yang mencirikan pemikiran sistem. Jadi merubah paradigma berarti harus membuang pandangan Cartesian dan menganti dengan pandangan yang menggunakan pemikiran sistem.
Dalam masalah ini saya berpendapat bahwa, hanya dengan kesadaran Ekologi khususnya ekologi dalam kita bangsa Indonesai akan dapat memberantas secara mendasar proses terjadinya klemiskinan dan pemiskinan; menjalankan secara konsekuen pasal 33 UUD 45 dan Amanat penderitaan rakyat serta menghapus adanya praktek-praktek exploitation de l´homme par l´homme yang menjadi sebab utama terjadinya kemiskinan di seluruh NKRI.
Roeslan
- Fascinated
- Happy
- Sad
- Angry
- Bored
- Afraid