Pada 10 Juli 1945, setelah didahului dengan debat, sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) menyepakati negara Indonesia merdeka berbentuk Republik.
Keputusan itu diambil lewat voting. Dari 64 suara, 55 suara mendukung Republik, 6 suara menginginkan bentuk kerajaan, 2 suara menginginkan bentuk lain, dan 1 suara kosong.
Yang menarik, bila melihat resume debat para anggota BPUPKI itu, bentuk negara Republik dipilih karena sebuah kehendak mulia: satu, Indonesia tidak boleh diperintah oleh segelintir orang (entah golongan, elit, maupun raja); dua, pemerintahan harus dipilih oleh rakyat; dan tiga, tidak ada kekuasaan yang terwariskan turun-temurun.
Hari-hari ini, setelah 75 tahun merdeka, kita bertatap muka dengan kenyataan pahit: Indonesia termasuk negara paling timpang di dunia. Sejumlah lembaga, dari Oxfam, Credit Suisse, hingga punya Negara sendiri (TNP2K), menyebut 1 persen orang terkaya di Indonesia mengusai hampir separuh kekayaan nasional.
Ketidaksetaraan yang ekstrim itu berimbas pada politik. Segelintir orang paling kaya itu, yang jumlahnya tak lebih dari 1 persen, sibuk menggunakan politik untuk meningkatkan dan mempertahan kekayaannya.
Sejak itu, kita pun akrab dengan istilah oligarki. Sederhananya, oligarki adalah kekuasaan yang dijalankan oleh segelintir orang, dalam hal ini kaum super-kaya, untuk meningkatkan dan mempertahankan kekayaannya.
Berbeda dengan raja atau bangsawan di masa lalu yang berkuasa berdasarkan klaim atas darah biru atau wakil Tuhan/titisan dewa, para oligark berkuasa karena sumber daya materialnya (kekayaan).
Apa dampaknya politik yang dikontrol oligarki ini pada cita-cita negara Republik kita?
Pertama, para oligark (orang terkaya) menggunakan politik untuk dua tujuan: satu, mempertahankan kekayaannya dari ancaman distribusi; dan kedua, mendapatkan akses kekuasaan untuk menggampangkan bisnisnya.
Prof Jeffrey Winters menyebut fenomena itu sebagai politik pertahanan kekayaan (wealth defense).
Kedua, demi tujuan itu, para oligark menggunakan material power-nya, yaitu uang, untuk menanamkan pengaruh yang kuat dalam politik.
Para oligark jor-joran dalam membiayai politisi maupun partai politik. Tak mengherankan, Jeffrey Winters menyebut hampir semua partai politik di Indonesia dibiayai oleh oligark.
Survei KPK tahun 2017 menemukan, sebanyak 82,3 persen calon kepala daerah dan wakil kepala daerah menyatakan dibantu oleh pemodal. Sedangkan pada Pilkada 2018, calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang dibantu cukong sebanyak 70,3 persen.
Akibatnya, politik Indonesia semakin berbiaya tinggi. Peran uang dalam politik sangat dominan. Bahkan, menurut Edward Aspinall, indonesianis dari Australian National University, biaya politik di Indonesia termasuk tertinggi di dunia.
Ketiga, akibat politik yang berbiaya tinggi, maka tidak semua warga negara punya kesempatan yang sama untuk berkompetisi dalam pemilu. Hanya orang-orang yang punya uang yang bisa bertarung dalam Pemilu.
Di Pilkada 2020, sebanyak 45 persen pasangan calon yang berlaga di Pilkada berasal dari latar-belakang pengusaha. Sebagian besar dari sektor konstruksi dan pertambangan.
Kemudian, di pemilu 2019, 262 orang (45 persen) anggota DPR juga berasal dari latar-belakang pengusaha. Bisnis mereka mencakup sektor penyiaran, perdagangan umum, hingga industri ekstraktif.
Sekarang, Kabinet pemerintahan Jokowi-Ma’ruf juga diwarnai banyak crazy rich, seperti Sandiaga Uno, Muhammad Lutfi, Erick Tohir, Wahyu Sakti Trenggono, Nadiem Makarim, Prabowo Subianto, dan lain-lain. Menteri-Menteri yang lain juga punya bisnis, seperti Airlangga Hartarto, Luhit Panjaitan, Agus Gumiwang Kartasasmita, dan Johnny G Plate.
Keempat, dominasi oligark dalam politik berpengaruh pada output politik: makin banyak kebijakan yang melayani kepentingan bisnis oligark.
Contoh konkretnya adalah revisi UU Minerba di tengah kecamuk pandemi. Alih-alih fokus menangani pandemi, para politisi di DPR justru mengesahkan kebijakan untuk melayani kepentingan oligark-oligark di sektor minerba, terutama batubara.
Menurut ekonom Faisal Basri, revisi UU Minerba hanya melayani 6 perusahaan tambang yang menguasai 70 persen produksi batubara dalam negeri.
Contoh lainnya adalah UU Cipta Kerja. UU sapu jagat ini dikritik oleh banyak pihak, dari akademisi hingga gerakan sosial, karena mendahulukan kepentingan investasi di atas resiko lingkungan, hak-hak buruh, hak-hak petani dan masyarakat adat.
Kelima, oligarki melemahkan cita-cita negara hukum. Negara hukum mensyaratkan persamaan semua warga negara di hadapan hukum (equality before the law).
Faktanya, oligarki kerap berada di atas hukum. Banyak kasus pelanggaran hukum mereka yang tidak bisa disentuh oleh hukum. Contoh terbarunya: pemberian SP3 kepada Sjamsul Nursalim, salah satu orang terkaya Indonesia, yang terkait kasus korupsi BLBI.
Singkat cerita, politik Indonesia hari ini hanya dikendalikan oleh segelintir orang. Kebijakan politiknya juga hanya melayani kepentingan segelintir orang. Tentu saja, kenyataan ini tak sesuai dengan cita-cita Republik.
Sukarno sebetulnya sudah menyadari kemungkinan-kemungkinan semacam ini juah di masa lampau. Di tahun 1930-an, dia sudah menegaskan: siapa yang mengontrol ekonomi, maka dia pula yang mengontrol kehidupan politik. Atau bahasa sekarang: ketidaksetaraan ekonomi akan berimbas pada ketidaksetaraan politik.
Karena itu, Sukarno menganjurkan agar kesetaraan politik dilengkapi dengan kesetaraan ekonomi. Bahwa perluasan hak-hak politik, dari hak pilih, berserikat, menyatakan pendapat, dan lain-lain, harus disertai dengan politik kesejahteraan sosial.
RUDI HARTONO
- Fascinated
- Happy
- Sad
- Angry
- Bored
- Afraid