Kisah CIA Gulingkan Mossadegh di Iran

Mohammed Mossadegh, seorang nasionalis progressif, terpilih sebagai Perdana Menteri Iran tanggal 28 April 1951. Dia menjadi pemimpin politik paling progressif dan paling sekuler dalam sejarah politik Iran.

Mossadegh lahir dari keluarga elit dan aristokrat di Teheran, pada 16 Juni 1882. Dengan latar belakang sosial itu, ia bisa mengenyam pendidikan terbaik hingga ke tanah Eropa. Dia adalah orang Iran pertama yang berhasil meraih gelar PhD bidang hukum di kampus Eropa.

Kembali ke Iran, Mossadegh langsung terjun ke gelanggang politik. Dalam usia sangat muda, 24 tahun, dia terpilih sebagai anggota Majelis Iran (parlemen). Namun, karena dianggap tidak cukup umur, ia tak jadi dilantik.

Ia sempat menjadi anggota Partai Sosialis Moderat, yang belakangan berganti nama menjadi Partai Demokrat. Partai ini berhaluan sosial-demokrat dan sekuler.

Tahun 1923, ia terpilih sebagai anggota parlemen. Tetapi di tahun itu juga Ia diangkat menjadi Menteri Keuangan di bawah pemerintahan Perdana Menteri Ahmad Qavam. Dia juga sempat menjadi Menteri Luar Negeri dan Menteri Pertahanan.

Tahun 1949, dia mendirikan partai politik sendiri. Namanya: Front Nasional. Partai ini berhaluan nasionalis, sekuler, dan progressif. Partai inilah yang mengantarkan Mossadegn ke kursi perdana menteri tahun 1951.

Jalan Radikal

Meski dari partai nasionalis, juga dari lapisan keluarga elit-aristokrat, Mossadegh justru sangat radikal. Begitu terpilih sebagai Perdana Menteri, dia langsung berpaling pada kebijakan progressif dan sekuler.

Hanya dua hari setelah dilantik sebagai Perdana Menteri, pada 1 Mei 1951, Mossadegh langsung menasionalisasi perusahaan minyak milik Inggris, Anglo-Iranian Oil Company (AIOC/APOC)–sekarang British Petroleum.

AIOC adalah perusahaan minyak milik Inggris. Sudah lama perusahaan ini mengangkangi ladang-ladang minyak Iran. Meski menikmati untung besar, setorannya sangat sedikit ke pemerintah Iran. Tak hanya itu, buruh-buruh yang bekerja di perusahaan minyak ini juga dibayar murah.

“Sudah bertahun-tahun kami bernegosiasi dengan perusahaan asing, tetapi tidak ada hasil. Dengan pendapatan minyak kami memenuhi kebutuhan anggaran kami dan memerangi kemiskinan, penyakit dan keterbelakangan rakyat kami,” ujar Mossadegh.

Langkah itu mendapat dukungan rakyat Iran. Salah satunya dari Partai Rakyat Iran alias Partai Tudeh. Partai yang berdiri sejak 1941 ini getol menyoal dominasi asing, terutama Inggris, dalam industri perminyakan Iran.

Dukungan juga datang dari ulama. Salah satunya, Ayatollah Abol-Ghasem Kashani, seorang ulama besar Iran. Ia mendukung penuh nasionalisasi tersebut. Ia bilang, “siapa yang menentang nasionalisasi adalah musuh Iran.”

Belakangan, Khasani menjadi penentang Mossadegh. Ia tidak mendukung langkah sekuler sang Perdana Menteri. Selanjutnya, ulama besar ini mendukung aksi-aksi jalanan menentang Mossadegh, yang di belakangnya membonceng kepentingan Inggris dan Amerika Serikat. Ia juga mendukung Fadā’iyān-e Islam, kelompok Syiah fundamentalis dan garis keras, yang kerap membunuhi aktivis, penulis, dan politisi sekuler.

Inggris tak terima langkah nasionalisasi Mossadegh, lalu membawanya ke pengadilan internasional di Den Haag. Mereka menuding Iran telah melanggar kontrak. Mossadegh tak mau menyerah. Ia pergi ke Den Haag dan berpidato di sana. Ia menyingkap betapa rakusnya perusahaan minyak Inggris merampok minyak Iran. Tak hanya itu, ia membeberkan 200-an dokumen tentang betapa rakusnya AIOC itu. Akhirnya, keadilan berpihak ke Iran.

Cerita tak berakhir. Barat terus mengincar minyak Iran. Selain mendorong kekacauan politik, barat juga melakukan blokade ekonomi untuk menghancurkan ekonomi Iran. Dengan begitu, ketidakpuasan rakyat muncul terhadap pemerintahan Mossadegh.

Tahun 1952, sebagai Perdana Menteri, Mossadegh menuntut hak prerogatifnya untuk menunjuk Menteri Pertahanan dan Kepala Staf Angkatan Bersenjata. Namun, monarki Iran pada saat itu, Shah Fahlevi, menolak keras. Sebagai balasannya, Mossadegh menyatakan mengundurkan diri sebagai Perdana Menteri.

Inilah yang sudah ditunggu-tunggu oleh Monarki Iran dan negeri-negeri imperialis. Beberapa hari kemudian, Shah Fahlevi menunjuk seorang kolaborator asing, Ghavam Saltaneh, sebagai perdana menteri. Pada hari pengangkatannya, Ghavam mengumumkan keinginannya memulai negosiasi dengan Inggris untuk mengakhiri konflik minyak. Artinya, ia ingin membatalkan nasionalisasi.

Rakyat Iran marah. Front Nasional bersama kaum komunis, sosialis, dan islam progressif, menggelar mobilisasi umum. Pemogokan besar meledak di hampir seluruh kota di Iran. Akhirnya, karena tekanan massa rakyat, Shah Fahlevi mengembalikan jabatan Mossadegh.

Pasca krisis politik itu, popularitas Mossadegh makin menjulang. Merasa mendapat dukungan rakyat, ia memulai langkah-langkah yang makin radikal. Mulai dari reforma agraria, yang mengikis penguasaan tanah oleh kaum feodal. Kemudian pembentukan Dewan Desa, yang pelan-pelan memotong kekuasaan kaum feodal di desa. Hingga mendorong UU tentang pembagian hasil yang adil antara tuan tanah dan petani penggarap.

Mossadegh melangkah lebih jauh lagi. Ia, yang terkenal sangat sekuler dan anti-feodal, mulai mengusik kenyamanan dan hak-hak istimewa Mornarki di Iran. Ia mengusulkan pembatasan kekuasaan monarki, memotong anggaran pribadi, hingga menyita tanah kerajaan. Ia juga mendorong independensi pengadilan dan kemerdekaan beragama.

Langkah radikal itu mendorong Mossadegh berhadapan dengan tiga musuh sekaligus: imperialis, mornaki, dan agamawan fundamentalis.

Tahun 1953, Dwight Eisenhower menjadi Presiden AS. Segera setelah itu, Dulles bersaudara, yakni Allen dan John Foster, menyakinkan Eisenhower bahwa Mossadegh makin membawa Iran ke kubu Uni Soviet.

Penggulingan Mossadegh

Sejak Maret  1953, CIA mulai mempelajari segala potensi untuk penggulingan Mossadegh. Sebulan kemudian, sebuah hasil studi berjudul “Factors Involved in the Overthrow of Mossadegh” menyimpulkan bahwa Mossadegh sangat mungkin untuk digulingkan lewat kudeta.

Pada bulan Juni 1953, operasi untuk menggulingkan Mossadegh dimulai. Nama operasi itu adalah TP-AJAX. Sebagai tahap awal, CIA bersama M-16 Inggris memulai kampanye massif untuk mendiskreditkan pemerintahan Mossadegh.

Sejalan seiring dengan penyebaran propaganda negatif itu, CIA mulai mengorganisir kudeta. Mulai dari menyisir kekuatan dari kalangan monarki, agamawan, hingga militer. Juga mengalirkan dana dan senjata.

Demonstrasi bayaran meledak di mana-mana. Kadang disertai dengan kekerasan. Targetnya jelas: untuk memancing ketidakpuasan rakyat terhadap situasi ekonomi menjadi kerusuhan jalanan.

Dokumen CIA yang dibuka ke publik tahun 2017 lalu mengungkapkan, CIA berhasil melatih dan mensupport logistik 10 ribu orang milisi hanya dalam 6 bulan. Lalu menggelontorkan 5,3 juta USD (atau setara dengan 48 juta USD hari ini) untuk mendanai aksi-aksi anti-Mossadegh.

Itu strategi bawahnya. Untuk strategi atasnya, CIA terus mendorong monarki Iran, dalam hal ini Shah Fahlevi, untuk menggalang dukungan anti-Mossadegh di kalangan parlemen dan tentara.

Plot kudeta sudah dirancang. Plot pertama, kudeta dilakukan dengan mendesak Shah Fahlevi untuk memecat Mossadegh dan menggantinya dengan Jenderal Fazlollah Zahedi. Jenderal Zahedi adalah bekas simpatisan NAZI dan sangat pro-barat. Plot ini direncanakan pada 15 Agustus 1953.

Kermit “Kim” Roosevelt, cucu dari mantan Presiden Theodore Roosevelt, menjadi pimpinan lapangan operasi ini. Ia yang membujuk Shah Fahlevi agar segera memecat Mossadegh dari kursi Perdana Menteri. Namun, bujukan itu gagal.

Atas desakan CIA, Putri Ashraf, saudara kandung Shah Fahlevi, terbang dari Perancis ke Teheran. Ia ditugasi CIA membujuk Shah Fahlevi untuk segera meneken surat pemecatan Mossadegh, lalu menunjuk Jenderal Zahedi sebagai penggantinya.

Mossadegh, yang mengendus persekongkolan jahat untuk melengserkan dirinya, segera melalukan manuver politik. Ia mendesak referendum untuk mendorong pembubaran parlemen Iran. Itu terjadi pada 4 Agustus 1953.

Tetapi plot kudeta tetap jalan. Tanggal 13 Agustus 1953, Shah meneken pemecatan Mossadegh. Rumor tentang Shah mendukung kudeta menyebar ke seantero Negeri, yang mengundang gelombang perlawanan balik.

Pada 15 Agustus, hari-H kudeta, ternyata kudeta gagal. Mossadegh sudah mengendus rencana kudeta ini, sehingga ia bisa mengantisipasinya. Shah Fahlevi melarikan diri. Sedangkan Jenderal Zahedi lari terbirit-birit ke tempat persembunyian.

Rupanya, CIA sudah menduga plot pertama ini berpotensi gagal. Karena itu, mereka punya plot kedua: menyebar kekacauan ke seantero Negeri, lalu menggulingkan Mossadegh.

Sementara Mossadegh, yang merasa sudah menang, memerintahkan seluruh pendukungnya untuk kembali ke rumah agar eskalasi kekerasan mereda. Agar keamanan dan ketertiban terpulihkan.

Rupanya, plot kedua baru mau dimulai. Pada 19 Agustus 1953, CIA menggerakkan massa bayaran yang mengaku “aktivis komunis” untuk berdemonstrasi di jalanan. Mereka mengajak simpatisan partai Tudeh untuk bergabung. Toko-toko dan segala yang berbau kapitalisme dihancurkan.

Donald Wiber, agen CIA yang menyamar sebagai arsitek dan penulis, menjadi arsitek utama plot ini. Dia menceritakan, CIA menyamar sebagai komunis, sosialis, dan nasionalis, lalu melakukan provokasi di jalan-jalan.

Komunis-komunis palsu ini menyebar ancaman di jalan-jalan, bahwa siapa pun yang tidak mendukung Mossadegh akan dihukum sangat kejam. Provokasi ini membuat marah kelompok agamawan dan penganut muslim syiah.

Di sisi lain, karena blokade dan sabotase ekonomi, situasi ekonomi terpuruk. Ditambah lagi, untuk menghadapi sisa-sisa konspirator kudeta, Mossadegh terpaksa membubarkan parlemen. Semua ini menjadi amunisi CIA untuk menyebarkan propaganda mendiskreditkan Mossadegh.

Koran-koran di Teheran, yang dikendalikan CIA, Monarki dan tentara, mulai menyebar kabar tentang dekrit yang dikeluarkan oleh Shah Fahlevi terkait pemecatan Mossadegh. Pendukung Shah Fahlevi turun ke jalan.

Arus balik terjadi. Demonstrasi anti-Mossadegh, yang digerakkan oleh CIA dan tentara, meletus di jalanan. Tanpa mobilisasi tandingan, demo oposisi kian membesar. Mereka menuntut pemulangan Shah Fahlevi.

Ketika kekacauan jalanan meningkat, tentara dan polisi mulai mendukung oposisi. Situasi itu benar-benar dimanfaatkan CIA. Jenderal Zahedi keluar dari sarang persembunyian, dengan memobilisasi tentara pendukungnya menggunakan kendaraan lapis baja ke Teheran.

Massa yang seakan mendapat angin dari tentara mulai menyerbu kediaman Mossadegh. 200-an orang tewas dalam bentrokan antara oposisi dan pendukung Mossadegh.

Puncaknya, pada 20 Agustus 1953, tentara menyatroni rumah Mossadegh dan menangkapnya. Mossadegh terjungkal dari kekuasannya. Plot kedua CIA berhasil.

Dua hari kemudian, Shah Fahlevi kembali dari pelariannya di Roma, Italia. Dia disambut bak pahlawan.

Mossadegh digiring ke pengadilan militer. Ia kemudian dipenjara selama tiga tahun dan menghabiskan sisa hidupnya di tahanan rumah. Ia meninggal 5 Maret 1967. Bersamaan dengan tergulingnya Mossadegh, seluruh aktivis komunis, sosialis, nasionalis, dan sekuler dibantai.

Setelah itu, berkuasalah Shah Fahlevi, yang membawa Iran ke dalam kegelapan: korupsi kawin-mawin dengan kediktatoran dan kekejian. Jadi, kudeta yang disponsori oleh CIA telah melahirkan diktator paling bengis dan keji dalam sejarah dunia: Mohammad Reza Fahlevi. Situasi ini juga yang membuka jalan menuju Revolusi Iran 1979.

Selama berkuasa hingga 1979, Shah Fahlevi memagari kekuasaannya dengan pasukan sangat kejam dan bengis: SAVAK. Ribuan orang dieksekusi mati hanya dalam kurun waktu 23 tahun. Lebih dari 300.000 orang dipenjara hanya dalam kurun waktu 19 bulan. Rata-rata 1500 orang dipenjara tiap bulannya. Dan tentara Iran bersama SAVAK membantai 6000 rakyat saat protes 5 Juli 1963.

Raymond Samuel

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid