Alam politik Indonesia sebetulnya populis. Buktinya, hampir semua politisi mengasosiasikan diri dengan rakyat biasa; merakyat.
Seorang politisi dari salah satu keluarga terkaya di Indonesia tiba-tiba rajin naik ojek online semenjak namanya masuk bursa calon Presiden. Ada Gubernur, yang namanya juga masuk bursa Capres, tersorot kamera sedang makan di warteg.
Ada banyak contoh yang lain. Dari politisi yang suka membagikan bingkisan, ikut menanam padi di tengah guyuran hujan, hingga ada yang ikut langsung mengatur lalu-lintas.
Ada penyebutan yang kerap disematkan oleh media massa dan publik untuk aksi-aksi para politisi: merakyat. Dalam politik, merakyat sebetulnya lebih dekat ke populis. Dalam dialihbahasakan ke bahasa Inggris, maka merakyat diterjemahkan “populist”.
Masalahnya, aksi para politisi lebih ke gesture, hanya sebatas gerakan tubuh. Tidak disertai dengan sikap dan kebijakan politik. Jadinya, itu lebih menyerupai “gimmick” ketimbang sebagai aksi politik: sikap, program, dan kebijakan.
Yang kerap terjadi, gimiknya merakyat, tetapi kebijakan politiknya justru memihak kepentingan bisnis besar. Rajin mengunjungi petani, tetapi kebijakannya meliberalisasi impor pangan.
Dalam sejarah politik Indonesia, ada istilah politik untuk menautkan ekspresi, keberpihakan dan kebijakan politik yang mengutamakan rakyat banyak, yaitu kerakyatan.
Istilah kerakyatan bisa kita rujuk pada pemikiran dua tokoh besar dalam perjuangan kemerdekaan, yaitu Mohammad Hatta dan Sutan Sjahrir. Keduanya bahkan menjadikan politik kerakyatan itu sebagai azas dari organisasi politik yang mereka dirikan: Pendidikan Nasional Indonesia (PNI)–sering disebut PNI baru.
Pada risalah berjudul “Ke Arah Indonesia Merdeka”, yang ditulis pada 1932, Hatta mencoba mengurai esensi politik kerakyatan itu. Kerakyatan itu esensinya kedaulatan rakyat. Bahwa kedaulatan tertinggi berada di tangan rakyat. Bahwa segala hukum maupun kebijakan haruslah sesuai dengan nilai keadilan, kebenaran, dan kehendak rakyat.
Penjelasan Sjahrir memiliki ruh yang sama. Kerakyatan merupakan sebuah azas politik yang memperjuangkan kehidupan yang menjunjung tinggi kesetaraan derajat manusia.
Kerakyatan jelas bertentangan dengan teokrasi, autokrasi, monarki/feodalisme, fasisme, dan oligarki. Bahkan prinsip kerakyatan berbeda jalan dengan demokrasi liberal yang mereduksi partisipasi dan kehendak rakyat sekadar sebagai metode memilih pemimpin politik dan mengorganisasikan pemerintahan.
Hatta merinci tiga prinsip kerakyatan. Pertama, cita-cita rapat, bahwa setiap keputusan atau kebijakan politik harus melalui proses rapat atau musyawarah-mufakat. Kedua, massa-protes, yaitu jaminan kemerdekaan berekspresi dan menyatakan pendapat. Ketiga, tolong-menolong atau kolektivisme, yang mengedepankan pemilikan sosial, kerjasama, solidaritas, dan kemakmuran bersama.
Singkat cerita, politik kerakyatan itu berpijak di atas kedaulatan rakyat. Semua keputusan dan kebijakan politik harus tegak lurus dengan kehendak rakyat. Karena itu, pengambilan kebijakannya pun harus partisipatif melalui jalan musyawarah-mufakat.
Hari ini, kita menyaksikan anomali pada langgam politik kita. Hampir semua elit berlomba-lomba tampil merakyat, tetapi kebijakannya justru menjauh dan memunggungi kehendak dan kepentingan rakyat.
Elit yang hari ini berlomba-lomba tampil merakyat punya andil dalam pengesahan kebijakan yang merugikan kepentingan publik, seperti UU Cipta Kerja, revisi UU Minerba, revisi UU KPK, dan lain-lain. Mereka juga yang menjalankan resep-resep neoliberal, seperti privatisasi, liberalisasi perdagangan, liberalisasi pasar tenaga kerja, politik upah murah, pemangkasan anggaran sosial, dan lain-lain, yang membuat kehidupan sebagian rakyat semakin melarat.
Mereka bicara tentang pemerintahan bersih sambil mempertontonkan konflik kepentingan secara terang-terangan di hadapan publik. Bicara pemerintahan yang efektif sambil merangkap banyak jabatan. Konglomerat hitam tiba-tiba bicara kedermawanan sosial.
Namun, terus menerus unjuk gimik merakyat di tengah tumpukan persoalan bangsa, terutama ketimpangan ekonomi dan korupsi, itu tak ubahnya menabur butiran debu di saat ada tiupan angin kencang.
Untuk mengembalikan kepercayaan rakyat pada politik sekaligus melapangkan jalan menuju masyarakat adil dan makmur, bangsa ini perlu menghidupkan kembali politik kerakyatan.
Politik kerakyatan itu mesti dihadirkan lewat perangai penyelenggara negara maupun kebijakan politiknya. Pada perangai, politik kerakyatan hadir berbentuk kesederhanaan, kepekaan, responsif, empati, dan kerendahan hati untuk mau mendengar.
Pada wilayah kebijakan, politik kerakyatan tampak pada proses pengambilan kebijakan yang partisipatif dan deliberatif (musyawarah dan mufakat), sehingga hasilnya memberi manfaat bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat dan berkeadilan sosial.
NUR ROHMAN, penulis, tinggal di Yogyakarta
Keterangan foto: Ketua DPR-RI, Puan Maharani, sedang menanam padi di tengah guyuran hujan di Sendangmulyo, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), 11 November 2021.
- Fascinated
- Happy
- Sad
- Angry
- Bored
- Afraid