Bisakah RUU Cipta Lapangan Kerja mengatasi Persoalan Ekonomi Nasional?

Salah satu omnibus law yang tengah digodok oleh pemerintahan Joko Widodo adalah Rancangan Undang-Undang Cipta Lapangan Kerja (Cilaka).

Pemerintah menyakinkan, RUU Cilaka yang berisi rangkuman dari 2.517 pasal yang saling berbenturan di dalam 83 UU itu akan mempercepat pertumbuhan ekonomi 5,7 hingga 6 persen.

Untuk target itu, RUU Cilaka akan mendorong investasi, penciptaan lapangan kerja, dan pemberdayaan UMKM.

Bisakah target itu tercapai?

Menurut Wasekjend KPP-PRD Rudi Hartono, sebelum omnibus law/RUU Cilaka dibahas, seharusnya ada diagnosa yang mendalam terhadap persoalan ekonomi nasional.

Menurutnya, pertumbuhan ekonomi dan kinerja investasi di Indonesia sebetulnya tidak buruk. Dengan pertumbuhan ekonomi rata-rata 5 persen, sebetulnya Indonesia lebih baik dari Malaysia yang hanya di kisaran 4 persen dan Thailand 3 persen.

“Kita hanya kalah dari Vietnam yang di atas 6 persen. Pertumbuhan ekonomi dunia saja hanya di kisaran 2-3 persen,” terangnya.

Dari segi investasi, lanjut dia, Indonesia juga masih menjadi tempat favorit bagi berlabuhnya investasi. Buktinya, merujuk ke World Investment Report 2019, Indonesia masuk top-20 negara penerima investasi langsung (FDI) di dunia. Di tahun 2018, Indonesia di peringkat 16, sedangkan di tahun 2017 berada di peringkat 18.

Masalahnya, lanjut dia, kinerja pertumbuhan ekonomi dan investasi itu belum berkualitas dan berdampak langsung pada kesejahteraan rakyat.

Mengutip laporan Bank Dunia pada 2015, pertumbuhan ekonomi hanya dinikmati oleh 20 persen penduduk terkaya. Di sisi lain, bangsa ini menghadapi ketimpangan ekonomi yang sangat parah.

“Rasio gini kita mentok di angka 0,38. Sementara data Credit Suisse menyebut, 1 persen penduduk terkaya menguasai 46 persen kekayaan nasional,” paparnya.

Dia melanjutkan, dari sisi penyerapan tenaga kerja, pertumbuhan ekonomi 1 persen sekarang hanya bisa menyerap 110 ribu tenaga kerja. Padahal, di tahun 2003, penyerapannya bisa mencapai 400 ribu tenaga kerja.  

Begitu juga dengan kinerja investasi. Rudi membeberkan, banjir investasi di Indonesia belum berkontribusi banyak pada penyerapan tenaga kerja dan penerimaan pajak.

“Pengangguran versi BPS masih 7 juta orang. 57 persen orang bekerja di sektor informal. Hingga akhir Desember 2019, penerimaan pajak juga jauh dari target, baru di kisaran 80 persen,: terangnya.

Menurut Rudi, persoalan utama ekonomi nasional sekarang adalah deindustrialisasi dan deagranisasi, akibat kebijakan liberalisasi ekonomi yang massif sejak pasca reformasi hingga sekarang ini.

“Harusnya omnibus law bekerja untuk melindungi industri dan pertanian dalam negeri,” tegasnya.

Faktanya, menurut Rudi, RUU Cilaka hanya mendorong agenda deregulasi neoliberal guna memfasilitas liberalisasi investasi, dengan menghilangkan semua regulasi yang merintangi kebebasan berinvestasi.

Di sektor ketenagakerjaan, kata dia, RUU Cilaka juga bertumpu pada logika neoliberal, yaitu pasar tenaga kerja yang fleksibel (labour market flexibility).

Alih-alih mengurangi pengangguran dengan memperluas lapangan kerja, justru menghilangkan kepastian kerja lewat pemaksaan sistem kontrak dan outsourcing di semua bidang pekerjaan, pembongkaran banyak hak normatif pekerja, dan merombak sistim pengupahan.

“Jadi, RUU Cilaka ini bukan mau mengakhiri penderitaan, tetapi justru berbagi penderitaan,” tegasnya.

Pendapat hampir senada juga disampaikan oleh ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Abra P.G Talattov.

Ia mempertanyakan urgensi RUU Cilaka ini untuk situasi ekonomi nasional sekarang. Faktanya, kata dia, pada 2019 lalu, pemerintah sudah mengeluarkan 16 paket kebijakan ekonomi.

“Saya perhatikan, banyak aspek dalam 16 paket kebijakan ekonomi itu sama dengan omnibus law, sama berbicara soal deregulasi,” jelasnya.

Masalahnya, kata dia, setelah kebijakan-kebijakan itu keluar, hampir tidak ada proses monitoring dan evaluasi terhadap implementasinya di lapangan.

Terkait investasi, Abra mengutip sejumlah data yang menunjukkan bahwa investasi langsung, baik asing maupun domestik, sedang tumbuh positif.

Mengutip data BKPM, sepanjang 2015-2018 realisasi investasi menunjukkan tren positif. Bahkan melampui target Rp 2.558,10 triliun menjadi Rp 2.572,30 triliun.

Masalahnya, lanjut Abra, meskipun nilai investasi telah meningkat dari segi kuantitas, tetapi belum berkualitas. Ia merujuk pada penyerapan tenaga kerja yang mengecil.

“Apalagi kita sedang menghadapi bonus demografi,” jelasnya.

Menurut dia, terkait produktivitas dan keahlian sumber daya manusia yang kurang, harusnya sektor-sektor lain yang diperbaiki seperti pendidikan.

Ketua Umum Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI) Nining Elitos menyebut omnibus law/RUU Cipta Lapangan Kerja hanya bagus di nama saja, tetapi isiannya tidak berbicara soal perlindungan tenaga kerja.

Ia menyebut semangat utama RUU Cilaka adalah fleksibilitas tenaga kerja, yang membuat buruh gampang di-PHK, upah murah, dan kehilangan hak-hak normatifnya.

“Saya kira, kondisi ketenagakerjaan di bawah pemerintahan sekarang ini yang terburuk sejak reformasi,” ujarnya.

Karena mengadopsi konsep fleksibilitas tenaga kerja itu, Nining memprediksi ke depan dunia ketenagakerjaan akan didominasi oleh sistim kontrak, alih-daya atau outsourcing, dan pemagangan.

“Justru itu mengancam masa depan pekerja. Mereka akan dibayar sesuka hati pengusaha, tanpa jaminan keamanan bekerja, juga tanpa tunjangan kesejahteraan,” jelasnya.

Karena itu, bagi Nining, RUU Cilaka hanya berbicara kepentingan pemilik modal, tetapi mengorbankan kepentingan pekerja dan rakyat banyak.

“Omnibus law jelas tidak sesuai dengan frame Pancasila. Tidak berperikemanusiaan dan berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia,” tandasnya.

Hampir senada, Ketua Umum Front Nasional Perjuangan Buruh Indonesia (FNPBI) Lukman Hakim menyebut omnibus law yang didorong oleh pemerintahan Jokowi terlalu melayani kepentingan investasi asing.

“Kita kecewa, karena omnibus law bukan untuk melindungi ekonomi nasional, tetapi untuk memuluskan investasi asing,” katanya.

Ia menyebut omnibus law hanya mendorong liberalisasi ekonomi dengan mempermudah akses penguasaan lahan dan sumberdaya alam, menghilangkan barrier  ekonomi, termasuk sanksi-sanksi terhadap pelanggaran oleh investor.

“Penciptaan lapangan kerja dan pemberdayaan UMKM hanya sebagai subordinat pendukung dan bunga-bunga yang akan berkembang jika syarat investasi terpenuhi,” jelasnya.

Lukman juga mengatakan, berdasarkan draft omnibus law  yang beredar maupun yang tersirat dari berbagai pernyataan pemerintah, kuat indikasi bahwa regulasi ini akan semakin mengorbankan buruh demi terciptanya investasi.

Harus dalam Bingkai Pancasila

Menurut Nining, semangat yang diusung oleh omnibus law, terutama RUU Cipta Lapangan Kerja, harusnya sesaui dengan Pancasila.

“Harusnya pembahasannya partisipatif dan mendengar aspirasi semua pihak, termasuk kaum buruh,” tegasnya.

Agar sesuai dengan bingkai Pancasila, Rudi Hartono mengusulkan agar omnibus law bisa merespon persoalan rakyat dan ekonomi nasional.

“Omnibus law bisa menyederhanakan semua urusan administrasi warga negara, dari urusan kelahiran, perkawinan, urusan beragama dan berkeyakinan, dan lain-lain,” ujarnya.

Ia juga berharap omnibus law menghilangkan semua produk UU yang sudah tidak sesuai dengan semangat demokrasi dan nilai-nilai kemanusiaan.

Selain itu, omnibus law harusnya juga memastikan pemenuhan kebutuhan dasar rakyat, seperti hak pendidikan, kesehatan, tempat tinggal layak, dan lain-lain.

Yang terakhir, kata Rudi, omnibus law harusnya memberi perlindungan dan dukungan terhadap penguatan ekonomi nasional, terutama industri dan pertanian. Mulai dari dukungan modal, teknologi, hingga jaminan pasar.

Lukman mengusulkan agar omnibus law fokus pada perlindungan UMKM, dengan membatasi impor, memberikan dukungan modal, hingga keringanan pajak.

Dia juga bicara soal perlunya omnibus law melindungi pekerja dengan mencabut semua regulasi perburuhan yang merugikan pekerja, seperti UU ketenagakerjaan dan UU Penyelesaian Hubungan Industrial.

Ia juga mengusulkan konsep upah minimum nasional (UMN) untuk mendorong keadilan upah dan redistribusi kesejahteraan di seluruh tanah air.

“Konsep UMN juga bisa mencegah pengusaha gampang melakukan relokasi pabriknya ke daerah yang upah minimumnya rendah,” katanya.

Ia juga mengusulkan penghapusan sistem kerja kontrak (PKWT) dan sistem alih daya di sektor manufaktur.

MAHESA DANU

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid