Sebagian besar dari kita memiliki pandangan tentang politik, agama, sosial kemasyarakatan, moralitas, olahraga hingga peristiwa terkini. Kita menghabiskan banyak waktu untuk mengekspresikan pandangan kita, baik dalam percakapan atau di media sosial. Kita berdebat untuk posisi kita, dan merasa terganggu jika ditentang. Mengapa kita melakukan ini?
Jawabannya adalah bahwa kita percaya pandangan yang kita ungkapkan itu benar, dan kita ingin orang lain mempercayainya juga, karena hal itu benar adanya. Kita semua ingin kebenaran menang. Begitulah tampaknya. Tapi apakah kita benar-benar percaya terhadap semua yang kita katakan? Apakah kita selalu berusaha membuktikan kebenaran saat berdebat, atau mungkin ada motif lainnya?
Kita mungkin secara tidak sadar dipengaruhi oleh masalah lain selain kebenaran. Saat ini, sebagian besar psikolog setuju bahwa proses mental yang cepat dan tidak sadar memainkan peran besar dalam membimbing perilaku kita. Proses-proses ini tidak dianggap sebagai pemikiran Freudian, yang melibatkan kenangan dan keinginan yang tertekan, tetapi penilaian sehari-hari, motif dan perasaan biasa yang beroperasi tanpa kesadaran sadar, seperti autopilot.
Tampaknya masuk akal bahwa proses semacam itu banyak membimbing kata-kata kita. Lagi pula, kita jarang memikirkan secara sadar alasan kita untuk mengatakan apa yang kita yakini dan lakukan.
Motif Pendorong
Ada beberapa motif yang bisa jadi mendorong kita untuk mengungkapkan pandangan yang “kita percayai”.
1. Kita mungkin ingin itu benar, dan merasa yakin saat kita berdebat untuk itu.
2. Kita mungkin mengaitkannya dengan orang (-orang) yang kita kagumi, dan menegaskannya agar menjadi seperti mereka.
3. Kita mungkin berpikir bahwa hal itu akan menarik perhatian, dan membuat kita tampak menarik.
4. Kita mungkin mengakuinya agar sesuai dan kita mendapatkan penerimaan sosial.
5. Kita mungkin merasa bahwa kita memiliki kewajiban untuk mempertahankannya karena komitmen kita terhadap beberapa kredo atau ideologi.
Motif semacam itu mungkin juga diperkuat oleh faktor lain. Sebagai bagian dari masyarakat, kita cenderung mengagumi orang yang mengenal pikirannya sendiri dan berpegang pada prinsip. Jadi, begitu kita telah mengungkapkan pandangan orang yang kita kagumi itu, untuk alasan apapun, kita mungkin merasa – sekali lagi, tanpa sadar – bahwa kita sekarang berkomitmen terhadapnya, dan harus tetap berpegang padanya sebagai masalah integritas. Pada saat bersamaan, kita bisa mengembangkan keterikatan emosional dengan pandangan tertentu, seperti keterikatan pada kandidat pemimpin tertentu. Pandangan kita, yang telah kita publish secara terbuka, tentu kita inginkan agar menang atas para pesaing hanya karena itu adalah milik kita. Dengan cara ini, kita mungkin akan memiliki komitmen pribadi yang kuat terhadap sebuah klaim, bahkan jika kita tidak benar-benar mempercayainya.
Bagaimana dan mengapa dibentuk
Penelitian telah mengungkapkan banyak kekuatan tersembunyi yang memengaruhi perilaku kita dengan cara yang mengejutkan. Kekuatan-kekuatan ini termasuk faktor biologis dan lingkungan yang datang untuk mengarahkan tindakan kita pada tingkat bawah sadar. Dengan kata lain, banyak hal yang kita lakukan, termasuk kebiasaan yang telah kita bentuk, bukanlah hasil dari perenungan dan pertimbangan yang cermat dari pihak kita.
Otak kita adalah prestasi luar biasa dari rekayasa evolusi, tetapi ini bukan tanpa masalah. Organ berpikir kita adalah pemakan energi, memakan hingga 20% dari asupan kalori harian tubuh — bahkan saat kita tidur. Dalam upaya menghemat energi, otak mengandalkan jalan pintas mental yang oleh para psikolog disebut heuristik. Otak bekerja keras untuk mengidentifikasi pola, kemudian membuat asumsi berdasarkan pola-pola itu.
Asumsi-asumsi ini dapat mempengaruhi perilaku kita dengan cara yang berada di bawah radar sadar kita. Karena otak menginvestasikan upaya besar dalam mengembangkan algoritma ini, ia enggan mengeluarkan energi tambahan untuk mengevaluasi kembali asumsi-asumsinya. Inilah sebabnya mengapa orang sering keras kepala, kadang-kadang menggandakan kepercayaan yang salah bahkan ketika dihadapkan dengan bukti kuat yang bertentangan.
Otak menggunakan pola yang telah dipelajarinya untuk dijalankan dengan autopilot jika memungkinkan. Ini melestarikan sumber daya tubuh, tetapi dapat mengakibatkan terulangnya kebiasaan buruk. Kita melakukan sesuatu tanpa berpikir. Kita membentuk kepercayaan tanpa mengevaluasi bukti. Kita menjadi bias dan membangun stereotip. Kebiasaan buruk dan keputusan irasional dapat berasal dari jalur heuristik otomatis ini di otak.
Di atas semua itu, kita dipandu oleh keprihatinan akan kebenaran dan pengetahuan (filsuf menyebutnya sebagai masalah epistemis), namun faktor heuristik memainkan peran yang lebih besar daripada yang kita pikirkan. Periksa tindakan Anda untuk mengungkapkan pilihan Anda. Renungkan setiap temuan di sepanjang perjalanan. Libatkan sirkuit logika Anda alih-alih membiarkan pikiran bertindak murni berdasarkan asumsi bawah sadar.
Malang – 08.11.23
RJ. Endradjaja – Pengamat Pinggiran
Kredit Foto: koleksi pribadi.