Berpacu Mengganti Neoliberalisme yang Sekarat

Esok akan datang/ Ketika dunia dalam genggamanku Hari-hari esok adalah milikku. (Kutipan dari film CABARET (1972))

Memetakan respon terhadap bencana yang disebabkan oleh pandemi korona, setidaknya ada tiga garis besar.

Yang pertama, menganggap situasi ini memang darurat, sehingga butuh tindakan yang tidak biasa. Tetapi menganggap basis produksi dan konsumsi tidak bermasalah. Masalahnya hanya terletak pada momen ketika situasi sudah kembali normal.

Pendapat ini dominan di kalangan elit politik dan bisnis. Salah satu yang mewakili pandangan ini adalah telekonferensi yang dimotori oleh Goldman Sachs pada maret lalu, yang melibatkan sejumlah pemain di pasar saham.

Mereka menyimpulkan bahwa “tak ada resiko sistemik”. Pemerintah hanya perlu mengintervensi pasar untuk menstabilkannya. Sedangkan sektor perbankan swasta hanya perlu dikapitalisasi. Terkesan mereka melihat situasi hari ini lebih mirip dengan dampak 9/11 (Tragedi 11 September 2001) ketimbang krisis keuangan 2008.

Yang kedua, anggapan bahwa kita hanya berada dalam situasi “normal baru”. Sistem ekonomi global hanya sedikit terganggu. Hanya beberapa elemennya yang perlu diperbaiki, seperti mendesain kondisi kerja yang mengakomodosasi pembatasan sosial, memperkuat sistem kesehatan masyarakat (sesuatu yang kini diperjuangkan oleh Boris Johson setelah Sistem Kesehatan Nasional/NHS menyelematkan nyawanya), dan bergerak menuju “pendapatan azasi universal (UBI)”.

Yang ketiga, menganggap pandemi membuka peluang untuk merombak sistem yang menyebabkan ketidaksetaraan ekonomi dan politik yang parah dan terus merusak ekologi. Bagi mereka ini, tak cukup hanya dengan mengakomodosasi situasi “normal baru” atau memperluas jaring pengaman sosial, tetapi perlu bergerak menuju ke sistem ekonomi baru.

Di belahan bumi utara (negara kapitalis maju), tuntutan perubahan diartukulasikan dalam bentuk proposal “Green New Deal”, yang tak hanya memperjuangkan ekonomi yang lebih hijau, tetapi juga mensosialkan kepemilikan alat produksi dan modal investasi, mendemokratiskan pengambilan kebijakan, dan pengurangan ketimpangan pendapatan.

Di belahan dunia selatan (negara berkembang), solusi yang diajukan, disamping bicara perubahan iklim, lebih menekankan soal aksi mengurangi ketimpangan sosial, ekononomi, dan politik. Salah satu contohnya: Manifesto Sosialis untuk Filipina pascapandemi, yang disusun oleh koalisi kiri Labang ng Massa (Berjuang bersama Massa). Isinya, ada solusi jangka pendek dan jangka panjang.

“Cara dan kekacauan respon oleh pemain hegemonik terhadap krisis ini menunjukkan tanpa bayang keraguan bahwa tatanan lama tak bisa lagi dipulihkan dan kelas berkuasa tak bisa lagi memerintah masyarakat dengan gaya lama. Kekacauan, ketidakpastian, dan ketakutan akibat covid-19, sekalipun itu menyedihkan dan suram, juga kaya kesempatan dan tantangan untuk mengembangkan dan menawarkan kepada publik jalan baru untuk mengorganisasikan dan mengatur masyarakat secara ekonomi, politik, dan sosial. Seperti pernah dikatakan oleh Albert Einstein: “Kita tak bisa menyelesaikan masalah dengan cara berpikir yang sama ketika kami menciptakannya.”

Waktunya Berbeda

Dua dari respon yang paling pertama disebut di atas mengecilkan kemungkinan untuk perubahan radikal, dengan asumsi bahwa respon masyarakat akan sama seperti krisis keuangan 2008—saat itu, orang merasa terguncang, tapi tak ada keinginan kuat untuk perubahan, apalagi perubahan radikal.

Pandangan ini bertumpu pada kesalahan menyamakan kondisi masyarakat pada dua krisis yang berbeda.

Krisis tak selalu mendatangkan perubahan yang signifikan. Ini adalah interaksi atau sinergi dua hal: di satu sisi, kondisi objektif, yaitu krisis sistemik; di sisi lain, kondisi subjektif, respon psikologis masyarakat terhadapnya.

Krisis keuangan global 2008 merupakan krisis kapitalisme yang mendalam, tetapi elemen subjektifnya—alienasi masyarakat dari sistem—belum mencapai posisi kritis massal.  Sebab, ledakan yang dipicu oleh komsumsi yang dibiayai utang selama dua dekade, masyarakat dikejutkan oleh krisis ini, tetapi mereka belum teralienasi oleh sistem di saat krisis dan sesudahnya.

Situasinya berbeda sekarang

Sekarang, tingkat kepuasan dan aliaenasi oleh sistem neoliberalisme sudah sangat tinggi di belahan dunia utara. Bahkan sebelum pandemi ini datang menghantam. Sebagai akibat kegagalan elit mapan (established elit) menghentikan kejatuhan standar hidup dan melebarnya ketimpangan. Membawa Amerika dalam dekade yang suram pasca krisis 2008.

Di AS, periode ini disimpulkan oleh pikiran masyarakat, bahwa elit lebih memprioritaskan bankir besar ketimbang menyelamatkan jutaan rumah tangga yang bangkruk dan mencegah ledakan pengangguran.

Sementara di Eropa, terutama di bagian selatan, pengalaman masyarakat dalam dekade terakhir dapat disimpulkan dengan satu kata saja: penghematan.

Sementara di sebagian besar belahan dunia selatan, krisis kronis akibat kegagalan pembangunan di bawah kapitalisme pinggiran, yang diperburuk oleh penerapan kebijakan neoliberal sejak 1980-an, telah mencabik-cabik legitimasi institusi penting dari globalisasi, seperti Bank Dunia, Dana Moneter Internasional, dan Organisasi Perdagangan Dunia. Bahkan itu terjadi sebelum krisis 2008.

Sekarang, pandemi virus korona muncul di tengah sistem ekonomi global yang sudah mengalami krisis legitimasi. Artinya, akibat pandemi, segala makin di luar kendali—kontrol politik tradisional dan pengatur ekonomi—membuat situasinya makin memburuk. Persepsi masyarakat terhadap ketidakmampuan elit itu (dalam menangani pandemi) sudah menyambung dengan perasaan kecewa dan kemarahan yang mendidih sejak pasca-krisis 2008.

Jadi, elemen subjektifnya, yaitu respon psikologis masyarakat, adalah itu: kekecewahan dan kemarahan yang sudah tersimpan lama bertemu dengan ketidakpuasan baru terhadap respon elit terhadap pandemi (tambahan penjelasan penerjemah). Ini seperti angin puyuh yang siap ditangkap oleh setiap kekuatan politik yang bersaing. Pertanyaanya, siapa yang bisa menangkap peluang ini?

Kekuatan elit mapan dunia, tentu saja, akan mencoba mengembalikan situasi “normal lama”. Tapi, masalahnya, sekarang ada begitu banyak kemarahan, juga kekecewaan, juga ketidaknyamanan, yang perlu dilampiaskan. Dan tak mungkin memaksa jin masuk ke dalam botol—(catatan penerjemah: ini sebuah ungkapan yang berarti: segala upaya untuk mengembalikan keadaan lama dengan menindas segala hal yang bersifat kebaruan (ide, gagasan, tindakan, dll).

Meskipun sebagian besar gagal, tetapi intervensi fiskal dan moneter besar-besaran di negara kapitalis selama pandemi korona ini justru dibayangkan oleh sebagian orang jika itu terjadi pada sistem ekonomi-politik lain dengan prioritas dan nilai yang berbeda.

Neoliberalisme sedang sekarat; ini hanya soal pertanyaan, jika ia akan berlalu, apakah cepat atau lambat, seperti dikatakan oleh Dani Rodrik (seorang professor ekonomi-politik internasional di Harvard Kennedy School).

Siapa yang akan menjadi penunggang Singa?

Hanya kiri dan kanan yang paling serius berpacu untuk menghadirkan alternatif terhadap sistem ini.

Kaum progressif hadir dengan kekayaan ide dan paradigma yang berkembang selama beberapa dekade terakhir, tentang bagaimana bergeser menuju perubahan sistemik yang sesungguhnya.

Dan itu melampaui orang-orang Keynesian kiri macam Joseph Stiglizt dan Paul Krugman. Muncul beragam jalan keluar yang benar-benar radikal, seperti Grand New Deal (proposal Bernie Sanders dan koalisi kirinya), sosialisme-demokratik, degrowth (alternatif terhadap asumsi pertumbuhan berbasis PDB), deglobalisasi (dikembangkan oleh Walden Bello), eko-feminisme, kedaulatan pangan, dan Buen Vivir (hidup dengan baik, konsep yang dikembangkan oleh progressif Amerika latin, seperti Evo Morales di Bolivia).

Masalahnya, gagasan ini belum diterjemahkan ke dalam situasi massa kritis di akar rumput (belum membumi).

Penjelasannya, masyarakat belum siap menerima ide itu. Tetapi penjelasan yang tampak masuk akal adalah: sebagian besar masyarakat masih terombang-ambing di tengah arus kiri dan kiri-tengah/moderat.

Di akar rumput, massa belum bisa membedakan strategi ini (strategi kiri yang disebutkan di atas) dengan dukungan mereka terhadap Sosial-Demokrasi di Eropa dan Partai Demokrat di AS. Akibatnya, sistem neoliberal yang sudah gagal itu bisa bersalin wajah dengan “wajah progressif”.

Untuk sebagian besar pemilih, wajah kiri itu masih Partai Sosial Demokrat (SPD) di Jerman, partai Sosialis di Perancis, dan partai Demokrat di AS. Meskipun, rekam jejak mereka nyaris tak ada yang inspiratif.

Di belahan dunia selatan, kepempimpinan atau keikutsertaan partai kiri dalam pemerintahan demokratik-liberal juga membuat kaum kiri mengecewakan. Ketika koalisi pemerintahan ini menjalankan kebijakan neoliberal.

Bahkan gelombang merah jambu (Pink Tide, istilah untuk berkuasanya Presiden dan partai kiri di Amerika latin) tengah menemui batasannya sendiri. Sementara negara komunis di Asia timur sekarang bersalin rupa menjadi negara kapitalis, bahkan dengan dosis neoliberal yang besar.

Bahkan yang sebelumnya tampak berbelok meninggalkan masa lalu, seperti Concertacion (koalisi kiri, kiri tengah, dan liberal) di Chile, partai buruh di Brazil, dan Chavismo di Venezuela, kini dianggap bagian dari masa lalu.

Singkat cerita, semua kiri tengah—yang telah berkompromi dengan neoliberalisme, bahkan jika tak langsung mengadopsi kebijakan neoliberal—telah menodai spektrum progressif secara keseluruhan. Bahkan berdampak pada kiri non-mainstream, dalam hal ini kiri yang belum berkuasa, yang sudah mengeritik neoliberalisme dan globalisasi sejak 1990an dan 2000-an.

Ini adalah warisan gelap harus kita buang, jika kaum progressif ingin terhubung dengan kemarahan dan kekecewaan massa yang mendidih, lalu mengubahnya menjadi kekuatan yang positif dan membebaskan.

Yang diuntungkan: Ultra-Kanan

Sedihnya, dalam situasi begini, kelompok kanan ekstrem berada pada posisi terbaik untuk mengambil keuntungan dari ketidakpuasan global itu.

Bahkan, sebelum pandemi, kanan-kanan ekstrem itu telah menjiplak dan mencomot program dan pendirian politik anti-neoliberalisme dari kelompok kiri independen, seperti penolakan terhadap neoliberalisme, perluasan welfare state, dan penguatan peran Negara dalam ekonomi—tentu saja, disesuaikan dengan keinginan mereka.

Sehingga di Eropa, berkembang biaklah kanan jauh atau ekstrem kanan, seperti Front Nasional-nya Marine Le Pen di Perancis, Partai Rakyat Denmark, partai Kebebasan di Austria, dan partai Pidesz-nya Victor Orban di Hungaria. Mereka membuang beberapa model neoliberalisme lama, seperti liberalisasi dan pengurangan pajak. Sebaliknya, mereka memproklamirkan negara kesejahteraan dan proteksi ekonomi nasional, tetapi dengan karakter yang eksklusif: hanya untuk rakyat dengan warna kulit, budaya, etnik, dan agama tertentu.

Pada dasarnya, ini adalah sosialisme nasional (ideologinya Hitler dan NAZI), tetapi dengan pendekatan budaya dan ras yang lebih eksklusif. Ini dipraktekkan dengan sempurna sekarang oleh Donald Trump.

Tapi, sedihnya, itu efektif di tengah situasi krisis begini. Seperti ditunjukkan oleh kemenangan yang tak terduga partai ekstrem kanan dalam pemilu, dengan merebut massa pekerja yang notabene basis sosial partai Sosdem.

Sementara di belahan dunia selatan, muncul pemimpin karismatik dengan daya tarik lintas-kelas, seperti Rodrigo Duterte di Filipina dan Narendra Modi di India. Mereka memanfaatkan daya tarik otorianisme di tengah kekecewaan terhadap rezim liberal-demokratik yang struktur sosialnya sangat tidak setara. Berhasil menyingkirkan partai-partai progressif yang entah karena berkompromi dengan neoliberalisme, atau yang terpenjara dalam paradigma klasik sehingga gagal memahami realitas baru populisme, atau yang dilemahkan oleh perseteruan sektarian (persaingan merasa paling kiri).

Sekarang, dengan dalih melawan pandemi korona, sosok yang otoriter ini telah memperkuat cengkeraman mereka pada sistim politik dengan tingkat persetujuan massa yang tinggi atas tindakan mereka.

Jangan acuhkan kiri

Namun, satu hal bodoh bila tak memperhitungkan kiri.

Sejarah adalah pergerakan dialektik yang kompleks. Dan sering terjadi, perkembangan yang tak terduga membuka peluang bagi siapa pun untuk menangkapnya. Asalkan mereka berani berpikir out the box dan berani menunggangi singa dalam jalan yang sulit menuju kekuasaan.

Tapi sejarah juga tak kenal ampun. Dan jarang mentoleransi pembuat kesalahan dua kali. Haruskah kaum progressif kembali tercemari oleh Sosial Demokrasi di Eropa atau Demokrat tipe Obama-Biden di AS, yang berpotensi menyeret kembali kaum progressif dalam kompromi dengan neoliberalisme yang sudah sekarat itu dan konsekuensinya benar-benar fatal.

Jika itu terjadi, maka adegan mengerikan dari film Cabaret, ketika rakyat jelata di pimpin oleh seorang NAZI muda, bernyanyi: hari-hari esok adalah milik kita, akan berkesempatan besar untuk menjadi kenyataan lagi…dan lagi.

WALDEN BELLO, seorang ekonom sekaligus pendiri  Focus on the Global South; Dia juga aktivis yang terlibat gerakan politik di Filipina dan dunia.

Artikel ini diterjemahkan dari sumber aslinya di Foreign Policy in Focus (fpif.org).

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid