Beragama dan Berbangsa

Penyerangan terhadap kegiatan jemaah Ahmadiyah kembali terjadi di Pandeglang, Banten (Minggu, 6/2). Terlaporkan bahwa tiga jemaah tewas serta puluhan orang lainnya mengalami luka-luka serius akibat penyerangan tersebut. Serangan kejam dan brutal ini tidak dapat dibenarkan, apapun alasannya. Kecaman dan kutukan datang dari berbagai kelompok masyarakat terhadap penyerangan ini. Bahkan, sejumlah unsur politik, yang selama ini turut mengipas-ngipas masalah keberadaan Ahmadiyah, dengan kejadian ini, ikut menyampaikan kecaman. Sebut saja Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang telah memfatwa Ahmadiyah sebagai ajaran sesat.

Pemerintah dan unsur politik yang disebut belakangan memang mengecam aksi kekerasan yang membawa korban jiwa tersebut. Tetapi harus diingat, bahwa kekerasan tersebut hanyalah dampak dari kesalahan cara pandang dan cara penyelesaian masalah yang digunakan selama ini, baik oleh pemerintah maupun kelompok-kelompok tertentu. Bagaimana mungkin mencegah kekerasan sementara pemerintah telah mengamini fatwa MUI, dengan mengeluarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga menteri yang melarang seluruh kegiatan Ahmadiyah.

Setiap keyakinan, apapun itu, pertama-tama senantiasa bersifat individual. Keyakinan mulai mempunyai corak sosial ketika dilembagakan, misalnya menjadi agama. Namun corak sosial di sini masih terbatas pada kesatuan keyakinan yang berangkat dari keyakinan individu tadi. Artinya, keyakinan tidak dapat lepas dari interpretasi subyektif, dan seringkali tidak memerlukan suatu pembuktian maupun diskusi lebih lanjut. Dalam ranah ini tidaklah penting, atau tidaklah berguna, memperdebatkan hal-hal yang bersifat final bagi individu-individu yang meyakini kebenaran ajaran agamanya. Yang lebih penting adalah memberikan jawaban kongkrit terhadap persoalan-persoalan sosial kemasyarakatan, menyangkut kebutuhan ekonomi dan ilmu pengetahuan, sehingga perbedaan keyakinan kemudian dapat ditangkap sebagai kewajaran.

Negara memang tidak dapat netral dalam ranah sosial politik. Keberpihakannya harus jelas pada kepentingan bangsa dan kepentingan rakyat. Namun dalam hal kehidupan beragama, negara tidak mempunyai sedikitpun hak menyatakan suatu keyakinan sebagai kebenaran dan keyakinan lain sebagai terlarang. Terlebih, perbedaan keyakinan beragama telah diterima sebagai kondisi dasar yang membentuk bangsa ini. Dalam konsensus untuk hidup sebagai sebuah bangsa, sebagaimana sejarah mengajarkan, telah disepakati persoalan yang dihadapi bersama oleh komonitas sosial bernama “Bangsa Indonesia” adalah merdeka dari imperialisme, atau penjajahan dalam segala bentuk. Hal ini telah jelas tertuang dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.

Kondisi dasar ini, suka atau tidak suka, harus diterima oleh seluruh insan yang hidup di Indonesia. Mengingkarinya samadengan mengingkari pra-syarat bagi lahirnya Indonesia. Namun disadari bahwa tantangan untuk mencapai penerimaan tersebut tidaklah mudah. Pemerintah sendiri seperti orang linglung yang kehilangan orientasi berbangsa, begitu gampang ditekan untuk mengambil tindakan yang bertentangan dengan prinsip berbangsa. Bahkan kondisi ini telah memunculkan kecurigaan, bahwa pemerintah sengaja membiarkan masalah-masalah semacam ini berlarut-larut, sehingga penguasa dapat turut menuai keuntungan politik ditengah ketidakmampuan menyelesaikan persoalan sosial ekonomi rakyat.

Untuk selanjutnya, kita menuntut pemerintah untuk mengambil sikap tegas menyangkut komitmen berbangsa. Sikap tegas bukan dalam pengertian yang disampaikan kalangan sempit pikiran, dengan membubarkan Ahamadiyah secara paksa. Juga bukan dalam konteks “merayakan keberagamaan” sebagaimana dikampanyekan banyak kaum liberal. Namun bagaimana menerima keberagamaan tersebut sebagai kondisi dasar bangsa Indonesia untuk dimajukan kualitasnya, sehingga bangsa Indonesia dapat menjawab persoalan sosial yang dihadapinya, terutama dalam menghadapi imperialisme modern saat ini.

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid