Sukarno berpidato di depan Sidang BPUPKI, yang kemudian disebut pidato 1 Juni 1945, sudah berlalu 75 tahun. Kemudian, Departemen Penerangan RI mempublikasikan pidato itu dengan judul “Lahirnya Pancasila” sudah sejak 1947—sudah 73 tahun. Lalu, sejak tahun 1964, pidato bersejarah itu diperingati tiap tahun sebagai Hari Lahirnya Pancasila.
Lalu, kenapa masih banyak orang Indonesia yang belum pernah membaca pidato itu?
Polemik tentang Trisila dan Ekasila menunjukkan fakta atas tudingan saya itu. Polemik itu menunjukkan, banyak orang yang belum membaca pidato tersebut.
Tentu saja, ini bisa dimaklumi. Merujuk pada data UNESCO, dari setiap 1000 orang Indonesia, hanya 1 orang yang mau membaca. Jadi, jangankan membaca pidato 1 Juni 1945, semangat membaca saja tak ada.
Sudah begitu, meski angka buta-huruf di Indonesia semakin menurun, tapi jumlah buta huruf fungsional (bisa membaca, tetapi tidak memahami teks yang dibacanya) masih melebihi 55 persen.
Masalahnya, minat bacanya rendah, bahkan sebagian besar mengalami buta huruf fungsional, tetapi semangat merasa tahu dan paling benarnya sangat tinggi. Malas membaca, apalagi mengkaji, tapi gampang termobilisasi oleh hasutan dan hoax.
Itu yang terjadi terkait polemik Trisila dan Ekasila. Ada yang menganggap itu telah mengubah Pancasila. Ada yang menyebut itu komunisme. Bahkan, MUI menyebut Trisila dan Ekasila itu bentuk penghianatan terhadap bangsa dan negara.
Saya sangat yakin, sebagian besar orang yang berpandangan di atas belum pernah membaca pidato 1 Juni 1945. Kalau pun sudah baca, dia tak memahami teks-teks dalam pidato itu.
Lebih jauh lagi, dia tak paham dengan gagasan-gagasan politik Sukarno, terutama sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi.
Jadi begini, tuan dan puan. Dalam pidato 1 Juni 1945, setelah menguraikan lima nilai atau azas yang bisa menjadi pemersatu sekaligus pandangan hidup berbangsa (weltanschauung), Sukarno mengusulkan penamaan atas lima azas itu.
“Namanya bukan Panca Dharma, tetapi – saya namakan ini dengan petunjuk seorang teman kita ahli bahasa, namanya ialah Panca Sila . Sila artinya azas atau dasar, dan di atas kelima dasar itulah kita mendirikan Negara Indonesia, kekal dan abadi,” kata Sukarno.
Lalu, setelah usulan itu, ia mengajukan opsi lain. Bila tak setuju dengan bilangan lima, maka bisa diperas menjadi tiga saja. Jadi, azas kebangsaan dan internasionalisme digabung, lalu disebut sosio-nasionalisme. Sementara azas demokrasi/mufakat digabung dengan keadilan sosial, lalu disebut sosio-demokrasi. Sedangkan azas Ketuhanan tetap berdiri sendiri.
Nah, setelah diperas menjadi tiga azas, yakni sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi, dan Ketuhanan, inilah yang diberinama Trisila.
Kemudian, Sukarno melangkah lagi. Jika tetap kurang sreg dengan bilangan tiga, itu pun bisa diperas menjadi satu: Ekasila. Jadi, sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi, dan Ketuhanan dilebur jadi satu, menjadi satu gagasan besar yang mewakili semuanya: gotong-royong.
Mari ke pertanyaan, apakah Trisila bertentangan dengan Pancasila?
Bagi manusia tipe malas baca, yang emosinya gampang diaduk oleh fitnah dan hoax, gagasan sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi tentu makhluk asing. Alih-alih mencoba mengetahuinya, mereka langsung melempar cap: itu komunis!
Baiklah, saya akan jelaskan secara singkat.
Sosio-Nasionalisme
Sebagai istilah dan gagasan, sosio-nasionalisme sudah diperkenalkan oleh Sukarno sejak 1930-an. Ketika kakek-nenekmu masih balita.
Saat itu, Sukarno menyadari, ide kebangsaan atau nasionalisme tak melulu positif. Ia merujuk pada nasionalisme Eropa, yang agresif, chauvinis, dan berorientasi imperialistik.
Sukarno tak setuju. Baginya, nasionalisme Indonesia tidak boleh berorientasi sempit, yang hanya mengunggulkan bangsa sendiri di hadapan bangsa lain. Tak boleh merugikan bangsa lain.
Untuk itu, nasionalisme Indonesia harus bergandengan dengan persaudaraan antar semua bangsa atau umat manusia di muka bumi ini. Atau sering disebut: internasionalisme.
Nasionalisme bukan saja menganggap sebangsa sebagai saudara, tetapi juga bangsa atau umat manusia lainnya di seluruh muka bumi ini. Tanpa membedakan suku, agama, maupun rasnya.
Maka, Sukarno kerap menyitir Gandhi: nasionalismeku adalah perikemanusiaan.
Nah, kira-kira, kalau sosio-nalisme menggabungkankan faham kebangsaan dan internasionalisme/perikemanusiaan, apa bedanya dengan menggabungkan sila perikebangsaan dan perikemanusiaan? ya, sama saja. Hanya orang malas baca, tukang hoax, dan manusia tak mau belajar yang tak mengetahui hal itu sama.
Sosio-Demokrasi
Sosio-demokrasi juga ajaran Sukarno, yang seumuran lahirnya dengan sosio-nasionalisme.
Sosio-demokrasi lahir dari kritik terhadap demokrasi barat. Demokrasi barat, yang begitu memuliakan parlemen dan pemilu, terbukti gagal mengangkat suara dan martabat rakyat jelata.
Penyebabnya, kata Sukarno, demokrasi itu hanya memberi kesetaraan dalam politik, tetapi tak ada kesetaraan dalam ekonomi. Akibatnya, kendati semua orang punya hak pilih yang sama, one man-one vote, tetapi pengaruh politiknya berbeda.
Kaum borjuis, sang pemilik alat-alat produksi dan sumber-sumber kekayaan, punya kekuasaan lebih untuk membeli suara pemilih, semua corong propaganda (media massa, lembaga keagamaan, lembaga pendidikan, dll), bahkan bisa membeli penyelenggara pemilu.
Karena itu, Sukarno meyakini, tanpa kesetaraan dalam lapangan ekonomi, maka tak ada kesetaraan dalam politik. Karena itu, demokrasi yang sejati hanya bisa kokoh jika bertumpu di dua kaki: demokrasi politik dan demokrasi ekonomi.
Ringkasnya, sosio-demokrasi itu menghendaki demokrasi politik sekaligus kesejahteraan sosial. Hanya masyarakat yang sejahtera bersama, yang setara secara ekonomi, bisa berdemokrasi secara sehat.
Nah, jika demikian, apakah penggabungan sila demokrasi-mufakat dengan sila kesejahteraan sosial bertabrakan dengan sosio-demokrasi?
Tentu saja, tidak. Kalau ada yang masih menganggapnya bertabrakan, tolong perbanyak waktu untuk membaca.
Ketuhanan yang berkebudayaan
Dalam polemik RUU HIP, frasa “Ketuhanan yang berkebudayaan” juga menjadi bulan-bulanan oleh kaum malas baca dan penderita buta huruf fungsional.
Ada yang menuduh frasa itu akan membawa semangat sekulerisme (tentu saja, dengan salah-paham yang akut soal sekularisme). Yang lain menganggap frasa itu mengesampingkan sila pertama: Ketuhanan yang Maha Esa (tentu saja, salah kaprah akut dengan pengertian Esa). Benarkah?
Frasa “Ketuhanan yang berkebudayaan” ada dalam pidato 1 Juni 1945. Bukan tanpa penjelasan. Di bagian puncak dari pidato itu, saat Sukarno menjelaskan soal sila Ketuhanan, dia menjelaskan maksud frasa itu.
Intinya, bagi Sukarno, karena di Indonesia ada beragam agama dan keyakinan, maka harus ada hormat-menghormati antar sesama penganut agama dan keyakinan. Tidak boleh ada “egoisme agama”.
“Marilah kita amalkan, jalankan agama, baik Islam, maupun Kristen, dengan cara yang berkeadaban. Apakah cara yang berkeadaban itu? Ialah hormat–menghormati satu sama lain,” kata Sukarno.
Tentu saja, aspirasi keagamaan dibolehkan, tetapi dengan cara-cara yang berbudaya dan beradab. Di situ Sukarno menunjukkan jalannya: jalan demokrasi. Bukan penggunaan paksaan, apalagi kekerasan (teror).
Jadi, frasa “Ketuhanan yang berkebudayaan” tidak menanggalkan prinsip “Ketuhanan yang maha esa”. Berkebudayaan di sini berarti cara berelasi antar pemeluk agama dan keyakinan.
Singkat kata, Trisila yang mememeras sila-sila Pancasila menjadi sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi, dan Ketuhanan yang maha esa, tidaklah mendegradasi, apalagi bertentangan, dengan sila-sila Pancasila.
Gotong-Royong
Ketika sila-sila Pancasila mau diperas menjadi satu ide atau nilai yang bisa memewakili semuanya, Sukarno menyebut nilai: gotong-royong.
Dalam pidato 1 Juni 1945, Sukarno menjelaskan esensi gotong-royong. “Gotong-royong adalah pembantingan-tulang bersama, pemerasan-keringat bersama, perjoangan bantu-binantu bersama. Amal semua buat kepentingan semua, keringat semua buat kebahagiaan semua. Ho-lopis-kuntul-baris buat kepentingan bersama! Itulah Gotong Royong!” kata Sukarno.
Sukarno menempatkan gotong-royong bukan sekedar kerja bersama, tetapi juga sebagai “amal”. Dalam konteks agama, amal adalah perbuatan baik yang akan diganjar pahala. Jadi, dalam gotong-royong, ada aspek beragama dan berkeyakinan dalam bentuk praksis.
Sebagai seorang muslim, saya akrab dengan firman Allah SWT: Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum, sebelum kaum itu sendiri mengubah apa yang ada pada diri mereka (QS. Ar-Ra’d:11).
Jadi, gotong-royong tidak mengabaikan prinsip “Ketuhanan”. Bukan ajakan untuk ateisme. Penyebutan gotong-royong sebagai amal jelas menunjukkan pengakuan adanya Tuhan sebagai pemberi keputusan atas segala usaha dan perbuatan kita.
Ciri Pokok
Yang perlu disadari, dalam pidato 1 Juni 1945 itu, Sukarno sebetulnya menyuguhkan Trisila dan Ekasila sebagai pilihan-pilihan atau alternatif penamaan terhadap nilai-nilai atau azas-azas yang diusulkannya.
Jika Pancasila dengan lima azas itu agak panjang, maka Trisila dan Ekasila lebih sederhana. Yang penting, dari tiga istilah itu, substansinya tetap sama.
Seperti kita ketahui, peserta Sidang BPUPKI menerima Pancasila. Bukan Trisila maupun Ekasila. Jadi, nama Pancasila-lah, dengan lima azasnya, yang menjadi kesepakatan bersama.
Kenapa kesekapatan bersama ini perlu ditegaskan? Agar tak ada kesan, Pancasila menjadi tafsir atau milik kelompok politik tertentu. Agar Pancasila tetap kokoh sebagai alat pemersatu.
Persoalannya, RUU HIP menyebut Trisila dan Ekasila sebagai ciri pokok. Ciri pokok mengesankan sebuah penanda yang menunjukkan “kekhasan” atau “keunikan”. Ini jelas problematik.
Pertama, sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi dan Ketuhanan yang maha Esa, yang kemudian disebut Trisila, bukanlah sesuatu yang berbeda dengan lima nilai dalam Pancasila (Ketuhanan, Kebangsaan, Kemanusiaan, demokrasi/mufakat, dan Keadilan Sosial).
Maka, istilah yang digukan oleh Sukarno adalah peras/memeras, yaitu penyederhanaan nilai-nilai tanpa menghilangkan substansinya.
Sosio-nasionalisme tak mengurangi subtansi sila Kebangsaan dan sila Kemanusiaan. Ini tak ada bedanya dengan kita menyebut “nasionalisme kemanusiaan”.
Begitu juga dengan sosio-demokrasi, tak berbeda esensi dengan sila demokrasi-mufakat dikawinkan dengan sila keadilan sosial. Tak ada bedanya jika kita menggunakan “demokrasi berkeadilan sosial”.
Ini berbeda jika disebut “ciri pokok”. Ada kesan lima nilai/azas Pancasila itu hanya ornamen atau hiasan luar, tetapi substansinya adalah Trisila itu. Trisila seolah sesuatu yang berbeda dari lima sila Pancasila itu sendiri.
Kedua, dengan menyebutnya ciri pokok, sebuah penanda yang khas, ada asumsi sosio-demokrasi, sosio-nasionalisme, Ketuhanan yang maha Esa itu sesuatu yang unik, tak ditemukan di tempat lain.
Padahal, kekuatan Pancasila justru terletak di nilainya yang universal. Dia diterima sebagai ide bersama karena nilai-nilainya itu universal. Sukarno berani menawarkan Pancasila pada dunia, lewat pidato di Sidang Umum PBB tahun 1960, karena nilai-nilainya universal.
Contohnya begini. Gagasan nasionalisme yang berjangkar pada kemanusiaan (sila kebangsaan dan sila kemanusiaan: sosio-nasionalisme), apakah itu berbeda dengan nasionalisme-nya San-min Chu-I-nya Sun Yat Sen atau nasionalisme kemanusiaannya Gandhi? Apa ciri pokok yang membedakan?
Saya kira, letak kekuatan Pancasila sehingga bisa menjadi ide bersama atau pemersatu justru ada pada nilai-nilainya yang luhur dan universal. Dia merangkum lima nilai/gagasan terbaik umat manusia.
Karena keluhuran dan keuniversalannya itu, Pancasila bisa berterima oleh siapa pun, kecuali oleh kelompok manusia yang terpapar sektarianisme yang akut, cenderung takfiri, dan anti-dialog.
RUDI HARTONO, pimred berdikarionline.com
- Fascinated
- Happy
- Sad
- Angry
- Bored
- Afraid