API Kartini: Negara Harus Hadir Memperjuangkan Kesetaraan Gender

Meski kesetaraan menjadi cita-cita kemerdekaan, bahkan menjadi nilai penting Pancasila, tetapi kesetaraan gender tak kunjung terwujud di Indonesia.

Merujuk ke Global Gender Gap Report, yang disusun tiap tahunnya oleh World Economic Forum (WEF), butuh 108 tahun lagi untuk menghapus gap kesetaraan gender. Sementara kesetaraan ekonomi, yang meliputi kesetaraan kerja dan upah, butuh 202 tahun lagi.

Ketua Umum Aksi Perempuan Indonesia (API) Kartini, Diena Mondong, mengatakan, perjuangan untuk kesetaraan gender di Indonesia masih sangat berat mengingat posisinya masih peringkat 85 dari 153 negara di Global Gender Gap Index di tahun 2020.

“Disamping itu, perempuan Indonesia juga masih kerap mendapat kekerasan dan perlakuan diskrimatif,” kata Diena di Jakarta, Minggu (8/3/2020).

Merujuk Catatan Akhir Tahun Komnas Perempuan, sepanjang 2019 masih ada 431.471 kasus kekerasan yang menimpa perempuan Indonesia.  Dibanding 12 tahun sebelumnya (2008), jumlah ini meningkat hampir delapan kali lipat atau 792 persen.

Diena melanjutkan, selain sangat rentan terhadap kekerasan, perempuan juga masih berhadapan dengan ketidaksetaraan ekonomi.

Hingga 2019, baru 55,5 persen perempuan Indonesia berusia 15 tahun ke atas yang berpartisipasi dalam angkatan kerja (baik bekerja atau mencari pekerjaan). Bandingkan dengan laki-laki yang mencapai 83,13 persen.

“Upahnya juga senjang. Upah perempuan cenderung lebih rendah dari laki-laki,” ungkapnya.

Berdasarkan data BPS, pada Februari 2019, rata-rata laki-laki mendapat upah Rp 2,8 juta, sedangkan perempuan hanya Rp 2,1 juta.

Diena menegaskan, karena kontruksi sosial yang patriarkis, yang menekankan peran perempuan sebagai pengurus rumah tangga (domestik), kesempatan kerja dan meniti karir bagi perempuan lebih kecil.

“Banyak perempuan, termasuk di lembaga dan perusahaan negara, terpaksa berhenti bekerja karena tuntutan mengurus keluarga,” jelasnya.

Janggalnya, kata Diena, meskipun perempuan yang menikmati pendidikan tinggi lebih banyak dari laki-laki, yakni perempuan 3,4 juta dan laki-laki 3,1 juta, tetapi jumlah perempuan yang terserap ke dunia kerja, profesi, maupun karir justru lebih sedikit.

Misalnya, data dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menunjukkan, perempuan yang berkarir di bidang sains hanya 30 persen, guru iptek 36 persen, bisnis swasta 18 persen, peneliti 31 persen, dan engineer 29 persen.

Hal semacam itu, lanjut Diena, juga tampak di lembaga pemerintahan. Dari 34 Kementerian, kendati proporsi PNS perempuan dan laki-laki relatif berimbang, jumlah perempuan yang menduduki jabatan penting eselon sangat sedikit.

“Makin tinggi eselonnya, makin sedikit jumlah perempuannya,” katanya.

Lebih lanjut, Diena juga menunjukkan masih kuat ketimpangan gender di ruang politik. Dari sejak negeri ini berdiri hingga sekarang, jumlah perempuan di parlemen belum pernah menembus 30 persen.

Sementara di ruang publik, kata dia, partisipasi dan perempuan terus terdesak seiring dengan menguatnya konservatisme di masyarakat.

“Konservatisme ini melahirkan cara pandang dan regulasi yang membatasi aktivitas perempuan di luar rumah, cara berpakaian, hingga perilakunya,” jelasnya.

Menuntut Kehadiran Negara

Menurut Diena, sebagai negara yang bercita-cita mewujudkan kesetaraan, sudah seharusnya negara turut hadir memperjuangkan kesetaraan gender.

Langkah penting yang dirasa penting oleh API Kartini adalah perlindungan perempuan dari kekerasan dan perlakuan diskriminatif.

“Negara, dalam hal ini pemerintah dan DPR, harus segera mengesahkan RUU penghapusan kekerasan seksual. Agar perempuan bisa lebih terlindungi dari ancaman kekerasan seksual,” terangnya.

Selain itu, menurut dia, negara juga perlu mendorong penghapusan berbagai regulasi, baik di pusat maupun daerah, yang mendiskriminasi perempuan.

“Harusnya omnibus law itu menghapuskan semua UU dan Perda yang merugikan perempuan dan rakyat Indonesia, lalu melahirkan UU yang lebih progressif,” katanya.

Yang penting juga, kata dia, negara turut memperjuangkan sebuah kondisi kerja yang menghargai hal-hal khusus yang dialami oleh setiap perempuan, seperti haid, hamil, dan melahirkan.

“Jangan karena haid, hamil dan melahirkan, perempuan dibuang kesempatannya bekerja dan mengejar karir,” tegasnya.

Beberapa contoh, seperti keharusan setiap kantor pemerintah, layanan publik maupun tempat kerja menyediakan ruang laktasi bagi ibu, daycare, dan paternity leave (minimal 12 hari).

Seturut dengan hal itu, kata dia, kerja-kerja pengasuhan, baik untuk anak-anak maupun lansia, yang selama ini sering dikerjakan perempuan dan dianggap gratis,  diakui sebagai kerja sosial yang produktif dan mendapat insentif dari Negara.

“Kalau belum bisa digaji layaknya pekerja pada umumnya, setidaknya kerja pengasuhan itu mendapat insentif melalui bantuan dana sosial,” jelasnya.

Dia juga berharap, pemerintah lebih memperluas kebijakan yang memberdayakan ekonomi perempuan, mulai dari dukungan modal, teknologi, pelatihan manajemen, hingga akses pasar.

Mahesa Danu

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid