Yuval Noah Harari, sejarawan populer penulis buku “Sapiens”, pernah menyebut revolusi feminis sebagai revolusi sosial dan politik terbesar di abad 21.
Bila merujuk pada gelombang pertama feminisme, yang muncul kira-kira pada abad ke-19, revolusi feminis baru berusia sekitar 200-an tahun. Namun demikian, revolusi itu telah banyak mengubah relasi perempuan dan laki-laki maupun posisi perempuan dalam masyarakat.
Ada banyak yang berubah dalam 200-an tahun itu. Kalau penaklukan perempuan lewat domestikasi dihitung dari kemunculan pertanian, maka ada 12.000 tahun lamanya perempuan hanya dianggap sebagai warga kelas dua di bawah kuasa laki-laki.
Lalu, bagaimana revolusi feminis bisa mengubah wajah dunia? Berikut ini tujuh aksi massa perempuan yang banyak mengubah wajah dunia.
#1 Aksi Perempuan di Versailles 1789
Pada 5 Oktober 1789, ketika revolusi Perancis sedang berkobar, kaum perempuan berkumpul di pasar Paris (sekarang dikenal sebagai Faubourg Saint-Antoine) untuk memprotes mahalnya harga roti. Aksi spontan ini melibatkan 7000-an orang massa.
Siangnya massa bergerak ke Hôtel de Ville, yang saat itu berfungsi seperti Balaikota. Di sana, massa tak hanya menuntut roti, tetapi juga senjata.
Namun, karena tak mendapat apa-apa di Balaikota, ribuan massa yang sudah bergabung dengan kaum revolusioner ini bergerak menuju Istana Versailles.
Begitu sampai di Istana Versailles, massa disambut sejumlah anggota Estates-General (semacam parlemen), termasuk Mirabeau dan Robespierre. Selain menuntut penurunan harga roti, massa juga menuntut agar Raja dan pejabatnya pindah dari Versailles ke Paris.
Aksi ini berujung bentrok ketika sejumlah massa aksi memaksa masuk ke dalam istana. Sejumlah massa aksi dan pasukan penjaga terbunuh.
Aksi perempuan di Versailles ini dianggap salah satu momentum penting revolusi Perancis. Ini juga menandai keterlibatan perempuan dalam revolusi.
Raja sendiri memenuhi tuntutan massa aksi untuk pindah ke Paris. Di sisi lain, posisi faksi konservatif di Estates-General merosot drastis.
#2 Suffragette
Sampai abad ke-19, kaum perempuan belum punya hak pilih. Inilah yang mendorong kaum perempuan untuk bangkit memperjuangkan hak pilih. Mereka disebut: suffragist.
Bermula di Inggris dan AS pada akhir abad ke-19, suffragette berkampanye untuk hak pilih. Tak hanya lewat pawai, tetapi juga aksi-aksi radikal.
Suffragette di Inggris, yang dimotori oleh Emmeline Pankhurst, merupakan yang paling radikal. Awal abad 20, perjuangan mereka membuahkan hasil: kaum perempuan mulai punya hak pilih.
Hak pilih perempuan (30 tahun ke atas) diakui di Inggris pada 1918, Belanda pada 1917, Rusia 1917, Amerika Serikat 1920, dan Perancis 1944.
#3 Aksi Perempuan untuk Kesetaraan (1970)
Pada 26 Agustus 1970, lebih dari 50 ribu perempuan menggelar aksi di kota New York. Aksi mereka dinamai “Women’s Strike for Equality”.
Mereka menuntut kesetaraan kesempatan di tempat kerja, hak aborsi, kesetaraan dalam perkawinan, dan lain-lain. Gerakan ini disebut menandai gelombang kedua feminisme.
#4 Aksi Mogok Perempuan Islandia (1975)
Pada 24 Oktober 1975, hampir 90 persen perempuan Islandia ikut serta dalam aksi mogok kerja, yang disebut “Woman’s Day Off” untuk memperjuangkan kesetaraan hak di tempat kerja dan masyarakat.
Di kota Reykjavik, ada 25 ribu perempuan yang menggelar aksi protes. Setahun setelah aksi ini, parlemen Islandia mengesahkan UU kesetaraan upah.
Dan lima tahun kemudian, Islandia punya Perdana Menteri perempuan pertama dalam sejarah negeri itu: Vigdís Finnbogadóttir.
#5 Aksi Hari Perempuan Sedunia Rusia 1917
Aksi memperingati Hari Perempuan Sedunia di Rusia pada 8 Maret 1917 bertepatan dengan membesarnya ketidakpuasan terhadap perang dan situasi ekonomi.
Hari itu, 90 ribu orang bergabung dalam aksi. Mereka meneriakkan slogan “Roti dan Perdamaian”. Aksi protes ini memicu protes lebih luas yang memicu Revolusi Rusia 1917.
Pada 15 Maret 1917, Tsar Nicholas menyerahkan takhta kepada adiknya, Michael Alexandrovich. Namun, besoknya, tanggal 16 Maret, adiknya itu menolak takhta itu. Berakhirlah Dinasti Romanov yang memerintah kekaisaran Rusia selama 300-an tahun.
#6 Ni Una Menos in Argentina (2015)
Aksi ini dipicu oleh kasus pembunuhan Chiara Paez, perempuan usia 14 tahun yang dibunuh oleh pacarnya karena menolak aborsi paksa. Sebelumnya, dia hamil karena dibius dan diperkosa beramai-ramai (gang-raped).
Kabar kematiannya menyebar di media sosial dan melahirkan simpati besar. Hashtag #NiUnaMenos dicuitkan dan diikuti oleh banyak pengguna media sosial.
Siapa sangka, kemarahan di media sosial itu diikuti dengan mobilisasi besar-besaran di jalanan. Di kota Buenos Aires, sekitar 200 ribu perempuan bergabung dalam aksi protes.
Aksi ini makin kuat karena mendapat dukungan tokoh-tokoh seperti mantan Presiden Argentina Néstor Kirchner dan bintang sepak bola Argentina Lionel Messi.
Mereka menuntut legalisasi aborsi dan penghapusan femicide. Aksi ini menyebar ke negara lain, seperti Peru, Chile, Uruguay, dan Meksiko.
#7 Black Live Matters
Black Live Matters merupakan gerakan anti-rasisme yang terbentuk pada 2013 pasca pembunuhan Trayvon Martin. Pendirinya adalah tiga perempuan: Alicia Garza, Patrisse Cullors, dan Opal Tometi.
Pembunuhan George Floyd pada 2020 lalu memicu aksi anti rasisme terbesar dalam sejarah: melibatkan 15 hingga 26 juta orang di 2000 kota di AS. Gerakan Black Live Matter berkontribusi besar mengorganisir aksi ini.
RINI MARDIKA