84 Tahun Putu Oka: Puisi dan Demokrasi Tidak Boleh Dijadikan Tujuan, Melainkan Harus Dijadikan Alat sebagai Langgam Kerja

“Aku meraba dada,

Jantungku belum kena agitasi.

… Saya menaruh simpati dan empati yang

mendalam kepada para korban dan keluarga korban…”

(Cuplikan puisi “Pengakuan” karya Putu Oka Sukanta)

Jakarta, Berdikari Online – 29 Juli 2023, malam hari Goethe House berkabut hangat. Tepat pada saat itu, Putu Oka Sukanta menerbitkan buku kumpulan puisi berjudul “Pengakuan” sekaligus merayakan ulang tahun dirinya yang ke-84. Peluncuran tersebut dimeriahkan dengan tari-tarian kontemporer berupa interpretasi dari beberapa karya puisi Putu Oka.

Puitisasi puisi Putu Oka yang berjudul “Perempuan oh Perempuan” ditarikan oleh Vita Valeskha berkolaborasi dengan Sanggar Sagita Kencana Budaya yang disuguhkan dengan sangat cantik dan indah menjadi pembuka acara peluncuran tersebut.


Puitisasi Puisi “Perempuan, Oh Perempuan” oleh Vita Valeska

Putu Oka, seorang sastrawan kelahiran Bali, 29 Juli 1939 yang dikenal tidak hanya karena karyanya yang indah melainkan juga dirinya yang menjadi bagian dari sejarah kelam Indonesia. Karya-karyanya seringkali menyinggung persoalan pelanggaran HAM, termasuk dalam puisinya yang berjudul “Pengakuan” yang menyinggung persoalan HAM yang tak kunjung selesai. Ia adalah satu dari sekian banyak orang yang dibui tanpa diadili pada tahun 1966 karena dianggap sebagai aktivis Lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA).

Di acara peluncuran tersebut, terdapat sesi “Celoteh Kebudayaan”. Pada sesi tersebut Putu Oka bercerita mengenai pengalamannya dalam proses berkarya. Ia menjelaskan bagaimana Ia pernah diwawancarai: apakah ia tetap berkarya setelah LEKRA sudah tidak ada?
“Aku menulis bukan karena LEKRA karena aku sudah menulis sebelum ada LEKRA dan masih tetap menulis hingga hari ini,” kata Putu Oka Sukanta tegas.

Dalam sesi celoteh kebudayaan tersebut, Putu Oka juga membahas mengenai puisi dan demokrasi. Puisi dan demokrasi menurutnya tidak boleh dijadikan tujuan melainkan harus dijadikan alat sebagai langgam kerja.

“Puisi dapat menjadi media untuk membangun kejernihan terhadap makna kebahagiaan. Dan demokrasi, tujuan akhirnya bukanlah kekuasaan di tangan rakyat melainkan terpenuhinya kesejahteraan rakyat; demokrasi sebagai langkah kerja harus dilandasi dengan prinsip-prinsip kesetaraan dalam perbedaan maka kesejahteraan dan kebahagiaan dapat tercapai; happiness is the core of human rights,” tuturnya. “Apabila puisi dan demokrasi dijadikan tujuan dan dicapai dengan cara-cara yang tidak mengindahkan kesetaraan melainkan justru menggunakan suara mayoritas dan otoriter untuk menentukan segala sesuatu maka dapat dipastikan bahwa puisi dan demokrasi adalah utopia atau hanya khayalan belaka,” imbuhnya.

Putu Oka juga menjelaskan bahwa demokrasi harus sudah dikerjakan pada saat pembentukan ide dan gagasan dengan transparansi dan puisi ditulis dengan kejujuran yang menyingkat permasalahan dan persoalan untuk meningkatkan kesadaran, kecerdasan, memperluas cara berpikir, dan cita rasa pembacanya.

“Sastrawan bukanlah orang gila; bukan monyet; bukan juga manusia yang luar biasa, melainkan hanya manusia biasa yang melukiskan cakrawala kehidupan dan melakukan perhitungan dengan angka-angka bahasa,” ucap Putu Oka menutup celotehannya dengan mengutip pernyataan salah seorang budayawan yang memberi pengantar pada buku terbitan pertamanya di tahun 1982.

Acara dilanjutkan dengan sesi diskusi; dibahas mengenai relevansi karya-karya Putu Oka di era sekarang. Marsen Sinaga sebagai penulis epilog dalam buku Pengakuan mengungkapkan bahwa Putu Oka seperti mengajak kita untuk menjadi pengamat dalam arus kehidupan yang serba cepat sehingga kita tidak tenggelam di dalamnya; juga tidak terlena melainkan dapat memetik peristiwa masa lalu dalam hal ini dapat berupa pengalaman Putu Oka sebagai penyintas HAM dan merefleksikan kejadian-kejadian saat ini.
“Putu Oka dengan karya-karyanya dapat menjadi marwah bagi zaman saat ini atau untuk generasi saat ini untuk menyentuh nurani kita semua mengenai persoalan HAM di Indonesia.”

(Penulis: Ndaru)

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid