40 Tahun Globalisasi: Ilusi Pembangunan Ekonomi

Dengan menggunakan parameter kapitalisme sekalipun, data menunjukkan jika dunia tetap melakukan globalisasi versi neoliberalisme, pertumbuhan yang dijanjikan akan tetap gagal dicapai.

Salah satu adikarya dari kapitalisme adalah ide perdagangan bebas dan globalisasi. Batas antar negara seolah-olah menjadi konsep yang usang karena setiap negara bebas untuk melakukan hubungan dagang tanpa ada halangan atau proteksi dari pemerintah.

Janji surga yang diberikan oleh konsep ini adalah pertumbuhan ekonomi, walaupun manfaat yang diterima oleh semua partisipan dalam globalisasi tidak sama. Namun semuanya berada dalam arus yang yang sama: pertumbuhan ekonomi. Janji inilah yang membuat negara berkembang kemudian memutuskan untuk bergabung dengan sekte globalisasi sehingga meliberalisasi pasarnya.

Setelah diterapkan selama kurang lebih 40 tahun oleh mayoritas negara-negara di dunia, ternyata perekonomian dunia masih didominasi oleh pemain lama seperti Amerika Serikat dan negara-negara Eropa dari blok barat, Cina sebagai pengecualian. Jika negara berkembang di tahun 80-an belum berhasil meningkatkan statusnya sebagai negara maju setelah 40 tahun globalisasi, maka hal ini menunjukkan bahwa ada sesuatu yang salah dengan konsep tersebut.

Sejarahperkembangan globalisasi

Globalisasi tentunya bukanlah sebuah ide baru. Inggris sudah melakukannya dengan East India Trading Company (EITC) pada tahun 1599 dengan melakukan hubungan “dagang” dengan India. Di Indonesia, kita tidak mungkin lupa hubungan “dagang” yang bertahan ratusan tahun antara Indonesia dan Belanda melalui VOC. Globalisasi membawa berkah bagi kedua perusahaan tersebut dan menjadikan EITC dan VOC sebagai google dan amazon pada jamannya. Business Insider malah menahbiskan VOC sebagai korporasi terbesar sepanjang sejarah peradaban dunia. Di zaman modern ini, globalisasi tentunya semakin efektif dengan bantuan kekuasaan dan teknologi.

Konsep ini kemudian menjadi populer di era 80-an ketika PM Inggris Margareth Thatcher dan Presiden AS, Ronald Reaganmembawa kedua negara tersebut “hijrah” dari Keynessian menjadi Neoliberalisme. Di tangan mereka intervensi pemerintah terhadap ekonomi menjadi minimalis dan orientasi ekonomi berubah menjadi orientasi pasar. Deregulasi dan penurunan tarif pajak (tax cut) menjadi cara untuk mengurangi keterlibatan pemerintah, yang diiringi dampak tetesan kemakmuran ke [pelaku ekonomi] bawah (tricke down economic) sebagai landasan pembenaran bahwa penggerak perekonomian bukanlah pemerintah, melainkan swasta.

International Monetary Fund (IMF), Bank Dunia, dan Kementerian Keuangan Amerika Serikat kemudian merumuskan Konsensus Washington yang berupa rekomendasi kebijakan bagi negara berkembang. Salah satu butir di dalamnya adalah liberalisasi pasar.

Konsensus Washington

Konsensus Washington ini sendiri merupakan rekomendasi kebijakan ekonomi yang bernafaskan neoliberalisme. Neoliberalisme menggantikan mazhab Keynessian yang sebelumnya merupakan mazhab mainstream sejak era Perang dunia II. Jika Keynessian menitikberatkan pentingnya intervensi pemerintah dalam perekonomian melalui badan usaha milik negara dan kebijakan proteksionisme, maka neoliberalisme melakukan yang sebaliknya.

Konsensus Washington terdiri dari 10 rekomendasi, dan beberapa rekomendasi tersebut menurut saya bermasalah, namun itu adalah cerita di lain kesempatan. Rekomendasi yangakan saya bahas adalah yang terkait dengan globalisasi yaitu arus perdagangan dan arus investasi.Konsensus Washington menyarankan negara berkembang untuk melakukan liberalisasi pasar dengan meninggalkan kebijakan tarif dan restriksi lainnya seperti kuota impor sehingga tiap negara bebas untuk memasarkan produknya di negara lain. Selain arus barang, Konsensus Washington juga merekomendasikan adanya kebebasan arus investasi sehingga investasi asing bebas masuk ke negara berkembang.

Tentunya tidak semua negara dengan sukarela menjalankan rekomendasi ini. Keengganan yang sangat wajar, mengingat konsekuensi langsung dari rekomendasi ini adalah terbatasnya peran serta pemerintah dalam mengendalikan perekonomiannya sendiri. Krisis ekonomi yang terjadi pada era 90-an kemudian menjadi pintu masuk bagi IMF dan World Bank dalam melancarkan konsensus Washington ini. Konsensus Washington menjadi kebijakan wajibbagi negara yang mengajukan permohonan pinjaman uang, termasuk Indonesia setelah terkena krisis keuangan 1998.

Globalisasi dan perdagangan bebas

Salah satu teori ekonomi klasik yang menjadi acuan dalam perdagangan internasional adalah teori keunggulan komparatif yang dipelopori oleh David Ricardo. Teori ini menyarankan bahwa sebuah negara harus memusatkan aktivitas ekonominya pada sektor yang memiliki keunggulan tertinggi. Dengan konsep ini, David Ricardo mengatakan antara negara terkaya dan termiskin di dunia sekalipun selalu ada perdagangan yang akan menguntungkan kedua belah pihak.

Teori David Ricardo kemudian dikembangkan dengan model ekonomi H-O. Idenya dicetuskan oleh duet ekonom Swedia Eli Hecksher dan Bertil Ohlin dan kemudian diformalkan model matematikanya oleh Paul Samuelson. Model H-O kemudian menjadi landasan akademis untuk globalisasi di mana ekonomi yang menerapkan kebijakan kebebasan mobilitas barang, uang dan tenaga kerja menjadi kunci kesuksesan perdagangan internasional.

Teori H-O mengklasifikasikan negara ke dalam duajenis: negara yang memiliki tenaga kerja berlimpah (labor abundance) atau modal yang berlimpah (capital abundance).Berdasarkan teori ini, negara seharusnya mengekspor produk yang bahan produksinya murah dan banyak tersedia serta mengimpor produk yang terbuat dari bahan yang langka di negara tersebut.

Jadi jika Indonesia memiliki sumber daya manusia yang berlimpah dan sektor yang paling menguntungkan adalah pertanian jagung, maka berdasarkan rekomendasi dari model ini adalah Indonesia harus memusatkan faktor produksinya ke pertanian jagung. Jika suatu saat nanti ada perkembangan teknologi yang membuat pertanian kopi menjadi lebih menguntungkan, maka dilakukan mobilitas sumber daya ke pertanian kopi. Jika diasumsikan semua negara melakukan hal yang serupa, maka dengan tidak adanya proteksionisme dari pemerintah, perdagangan internasional akan menguntungkan bagi semua pihak.

Baik teori David Ricardo maupun teori H-O secara matematis telah terbukti berhasil menciptakan equilibrium di mana negara yang melakukan perdagangan sama-sama mendapatkan keuntungan. Hanya saja asumsi dasar kedua teori inilah yang kemudian menjadi kelemahannya dan merupakan alasan terbesar mengapa globalisasi tidak berhasil memenuhi janjinya.

Asumsi dari teori keunggulan komparatif adalah negara hanya memproduksi barang yang memiliki keunggulan komparatif karena hanya dengan menjual barang itulah, negara tersebut mendapatkan keuntungan yang terbesar. Pada kenyataannya, tidak ada negara yang mau memproduksi hanya satu jenis barang saja.

Untuk model H-O, selain negara hanya memproduksi barang yang memiliki keunggulan komparatif, negara juga diasumsikan memiliki mobilitas penuh faktor produksi (full factor mobility). Artinya, jika sebuah negara pada suatu saat memiliki keunggulan komparatif di industri tekstil, maka semua faktor produksi berupa barang mentah, modal dan tenaga kerja difokuskan ke industri tekstil. Pada kenyataannya, full factor mobility tidak mungkin terjadi. Negara dan swasta tidak serta merta dapat memindahkan modalnya dari satu industri ke industri yang lain.

Pembangunan infrastruktur dan nilai ekonomi dari investasi yang sebelumnya ada di industri yang lain harus dipertimbangkan juga sebagai biaya pemindahan fokus ekonomi. Hambatan terbesar ada pada tenaga kerja di mana tidak semua tenaga kerja siap untuk beralih profesi dari satu industri ke industri lainnya karena keterbatasan keahlian dan juga kemampuan untuk beradaptasi. Buruh yang tidak mampu beradaptasi untuk pindah industri akan menjadi pengangguran dan tersingkir(left behind) secara ekonomi.

Kebijakan Perdagangan Internasional Pra Globalisasi

Untuk melihat apa yang dihasilkan oleh neoliberalisme dengan globalisasinya, pertama sekali kita harus melihat kebijakan ekonomi negara maju sebelum 1980-an sebelum globalisasi dan pasar bebas diaplikasikan secara masif dan sesudahnya.  Ha Joon Chang, ekonom asal Korea Selatan yang mengajar di Universitas Cambridge dalam bukunya 23 things they don’t tell you about capitalism(2012) menyoroti hipokrisi World Bank, IMF dan negara maju dengan menggunakan tabel di bawah ini.

Jika negara maju mengatakan bahwa kebijakan proteksionisme yang diterapkan oleh negara berkembang adalah kebijakan yang salah, maka tabel di atas jelas-jelas menunjukkan bahwa negara-negara maju tersebut menerapkan kebijakan yang salah selama 100 tahun lebih. Data dari buku yang berjudul Economics and world history: myths and paradoxes (Bairoch, 1995) menunjukkan bahwa pada periode sebelum globalisasi di tahun 1980-an, dengan pengecualian Denmark dan Swedia, negara-negara maju menerapkan tarif di atas 10% rata-ratanya setiap tahun. Mengapa ketika mereka berhasil memantapkan posisi ekonominya kemudian mengatakan proteksionisme tidak memberikan manfaat, dan meminta pasar negara berkembang dibuka untuk menyambut kedatangan mereka?

Hal yang sama juga dilakukan oleh saudara kita dari Asia Timur yaitu Jepang dan Korea Selatan. Setelah mereka berhasil memulihkan perekonomian pasca perang, Jepang dan Korea Selatan ikut dalam barisan yang mendukung penghilangan tarif. Ini artinya mereka menginginkan level playing field, ketika keadaan menguntungkan mereka.

Ekonomi Pasca Globalisasi

Selanjutnya, kita bisa melakukan perbandingan ekonomi dunia sebelum 1980an dan sesudah pengaplikasian globalisasi yang dapat dilakukan dengan menggunakan Pendapatan Domestik Bruto (PDB) dunia secara keseluruhan.Benar, pada tulisan saya sebelumnya, saya mengatakan bahwa PDB bukanlah indikator yang sempurna untuk menangkap potret perekonomian secara riil. Dengan menggunakan indikator ini, saya berusaha mengikuti permainan mereka.

Berdasarkan data dari World Bank, pada periode 1961 hingga 1980, rata-rata pertumbuhan PDB dunia setiap tahunnya adalah 4,62%. Kebijakan ekonomi yang populer pada saat itu adalah proteksionisme dan juga subsidi dari pemerintah untuk perusahaan lokal atau mendirikan BUMN. Setelah periode itu, dunia memasuki zaman neoliberalisme dengan Ronald Reagan dan Margareth Thatcher sebagai jemaat mula-mula. Duniapun mengikuti mereka secara perlahan. Kebijakan tarif ditinggalkan, pajak penghasilan diturunkan dan BUMN diprivatisasi. Setelah kebijakan tersebut diadopsi, pada rentang waktu 1981-2000, angka tersebut turun ke rata-rata 2,97% per tahun dan pada 2001-2017 turun lagi menjadi rata-rata 2,81% per tahun. 

Dengan menggunakan parameter kapitalisme sekalipun, data menunjukkan jika dunia tetap melakukan globalisasi versi neoliberalisme, pertumbuhan yang dijanjikan akan tetap gagal dicapai. Mungkin saja pertumbuhan PDB akan lebih tinggi jika dunia tetap menerapkan kebijakan dagang sebelum globalisasi, dan mungkin saja krisis ekonomi tidak akan sesering era neoliberalisme sekarang ini.

Bagaimana dengan Indonesia?

Pertanyaan yang terakhir adalah bagaimana posisi Indonesia? Pemerintah Indonesia baru-baru ini mengesahkan Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja. UU yang sarat kontroversi ini disusun dengan dasar pikir sesuai dengan landasan akademiknya bahwa peraturan investasi Indonesia tidak ramah bagi investor. Oleh karena itu, diperlukan deregulasi besar-besaran untuk mempermudah  masuknya investasi asing (foreign direct investment) ke Indonesia untuk meningkatkan pertumbuhan perekonomian.

Perubahan yang dilakukan cukup beragam mulai dari pengendoran syarat investasi, meminimalisir daftar hitam investasi serta perubahan peraturan ketenagakerajaan, lingkungan hidup dan agraria. Harapan pemerintah, dengan perubahan ini, indeks kemudahan berinvestasi Indonesia akan semakin baik dan berpartisipasi dalam globalisasi khususnya dari sisi arus kapital.

Fakta bahwa globalisasi akan menciptakan orang-orang yang tidak mampu mengikuti perubahan harus segera disadari oleh pemerintah.  Oleh karena itu, jika secara hipotesis UU Cipta Kerja ini tidak diperbaiki, hal yang harus dilakukan oleh pemerintah adalah menciptakan jaring pengaman untuk meminimalkan efek bagipihak-pihak yang tersingkir.

Saya tidak berbicara trickle down economy dengan peningkatantarif pajak semata. Tapi pemerintahmeningkatkan kapasitas buruh dengancaramemberikan unemployment benefit,subsidi pendidikan, kesehatan, transportasi, maupun perumahan bagi mereka yang tersingkir. Harapan saya, kebijakan pemerintah tidak hanya fokus pada economic growth, tapi juga human well being atau kesejahteraan warga negaranya.

BERNARD NAIBORHU, Master Ekonomi dari Universitas Paderborn – Jerman

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid