10 Lagu Populer yang Menggema di Aksi Protes

Dalam aksi protes, massa aksi tak cukup diberi makan agitasi. Tak cukup dibakar dengan pidato-pidato. Tak cukup disuguhi selebaran dan famplet.

Seperti kata Joe Hill, aktivis dan penulis lagu Amerika: “sebuah famplet, sebagus apapun, hanya dibaca sekali. Tapi sebuah lagu dipelajari dengan hati dan dinyanyikan berulang-ulang.”

Ya, aksi protes butuh lagu-lagu. Sebagai pembakar semangat, penyiram rohani, pembawa pesan, dan sebagai sesuatu yang dibawa dalam ingatan.

Berikut ini 10 lagu yang populer di tengah massa aksi:

#1 BELLA CIAO

Di sepanjang 2019 dan 2020, demonstrasi besar meledak di sejumlah negara di Amerika latin, Amerika utara, Afrika, Eropa, dan Asia, ada lagu yang turut menggema di tengah-tengah massa aksi.

Ya, lagu itu adalah Bella Ciao. Ini adalah lagu perjuangan yang lahir di bumi juang: Italia. Ketika Italia dikoyak fasisme, sepanjang 1922-1945, kelompok perlawanan muncul dengan gagah-berani. Mereka menamai diri: partisan.

Para partisan ini, yang rela menyerahkan nyawa demi terbebasnya Italia dari kekejian fasisme, menyemangati diri dengan lagu-lagu perjuangan. Satu yang paling terkenal: Bella Ciao.

Bella Ciao, bila diterjemahkan ke bahasa Indonesia, kurang lebih berarti: Selamat tinggal, Cantik. Lagu ini bercerita tentang seorang pemuda yang meninggalkan kekasihnya, lalu bergabung dengan partisan untuk melawan fasisme.

Lagu ini direkam pertama kali oleh musisi kiri Italia, Giovanna Daffini, pada 1962.  Tiga tahun kemudian, Maria Ilva Biolcati, seorang penyanyi kiri Italia, menyanyikan lagu ini. Dan berkontribusi meluaskan lagu ini di Eropa.

Tahun 2017, sebuah film berseri yang tayang di Netflix, La Casa de Papel/ Money Heist, juga menyelipkan lagu Bella Ciao. Sejak itu, Bella Ciao tak lagi hanya lagu juang, tetapi jadi lagu populer.

#2 INTERNASIONALE

Bagi kelas pekerja di seluruh dunia, lagu internasionale tentu tak asing lagi. Lagu ini diciptakan oleh Eugène Pottier, seorang buruh dan sosialis di Perancis.

Pottier menulis lagu ini pada 1871, hanya beberapa hari setelah tumbangnya kekuasaan kelas pekerja pertama di dunia: Komune Paris. Komune Paris hanya bertahan dalam waktu yang singkat: 72 hari.

Komune Paris berakhir setelah ditindas dengan brutal oleh militer Perancis. Novelis Émile Zola menyebut 8000-an komunard gugur dalam pertempuran tidak berimbang di balik barikade-barikade. Mereka yang selama ditembak mati di depan umum.

Nah, si Pottier berhasil meloloskan diri dari pengejaran tentara Perancis. Di tempat persembunyiannya, dia menulis puisi “Internasionale”. Dia berharap, puisi itu bisa menyemangati kelas pekerja untuk terus berjuang demi masyarakat yang lebih baik.

Lebih dari satu dekade kemudian, tepatnya 1888, Pierre Degeyter, seorang buruh dan sosialis Perancis, membuat melodi untuk puisi tersebut. Pelan-pelan Internasionale dikenal kelas pekerja Perancis.

Pada 1899, berlangsung Kongres sosialis Perancis di Paris. Suasana saat itu berujung debat keras: haruskah kaum sosialis ikut dalam pemerintahan konservatif? Di hari terakhir, dalam suana debat yang panas, seseorang meneriakkan: internasionale. Lalu seluruh peserta dalam ruangan menyanyikan lagu ini dengan khidmat. Sejak itulah internasionale jadi lagunya kelas pekerja Perancis.

Tahun 1901, koran progressif di Rusia, Iskra, menerjemahkan dan memuat Internasionale. Setelah revolusi Rusia 1917, kaum komunis Rusia mengadopasi lagu ini sebagai lagu kebangsaan Uni Soviet hingga 1944.

Sejak itulah internasionale mendunia. Diterjemahkan ke berbagai bahasa. Dan diterima sebagai lagunya kelas pekerja dan kaum kiri sedunia. 

Di Indonesia, lagu Internasionale diterjemahkan ke bahasa Melayu oleh Soewardi Soerjaningrat alias Ki Hajar Dewantara. Hasil terjemahannya dimuat di koran Sinar Hindia, korannya Sarekat Islam, pada 5 Mei 1920. 

#3 DO YOU HEAR THE PEOPLE SING

Lagu Do You Hear The People Sing diambil dari musikalisasi novel karya Victor Hugo, Les Misérables. Proyek musikalisasinya dikerjakan oleh Claude-Michel Schönberg (musik), Alain Boublil dan Jean-Marc Natel (versi Perancis), dan Herbert Kretzmer (versi Inggris) pada 1980-1986.

Novelnya sendiri ditulis oleh Victor Hugo pada 1862. Novel yang mengambil latar revolusi Perancis pada 1789 sangat populer. Dianggap salah satu novel terbesar di sepanjang abad ke-19.

Tahun 2012, novel ini diangkat ke layar lebar dengan judul yang sama oleh sutradara Inggris, Tom Hooper. Dari sinilah lagu Do You Hear People Sing menjadi populer kembali. Terutama setelah lagunya tayang di Youtube (buka di: sini).

Tak terpungkiri, lirik lagu ini memang sangat kuat. “Apa kau dengar nyanyian rakyat?/ Nyanyian mereka yang marah?/ Inilah musik rakyat/ Mereka yang tak mau jadi budak lagi.”

Lagu Do You Hear The People Sing sangat populer dalam aksi protes di Hongkong. Bahkan menjadi salah satu lagu kebangsaan demonstran di sana (silahkan nonton di sini).

Lagu ini juga dinyanyikan saat gelombang protes yang melibatkan 100 ribu orang di Wisconsin, negara bagian Amerika Serikat. 

Lagu ini juga dinyanyikan oleh demonstran di lapangan Taksim, Turki, yang menuntut kemerdekaan berekspresi dan berpendapat. 

Di Ukraina, tahun 2013, saat demonstrasi besar menentang Presiden Viktor Yanukovych, lagu ini juga berkumandang di tengah-tengah massa aksi.

Lagu ini juga menggema dalam demosntrasi di Korea Selatan dan Thailand. Terakhir, saat pemuda-pemudi Myanmar bangkit menentang rezim kudeta, lagu ini juga menjadi penyemangatnya.

#4 EL PUEBLO UNIDO JAMÁS SERÁ VENCIDO

Kalian pernah mendengar pekik “Rakyat bersatu tak bisa dikalahkan”?

Jadi, pekikan itu sebetulnya berasal dari sebuah lagu perjuangan di Amerika latin: ¡El pueblo unido, jamás será vencido! Diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi: The people united will never be defeated.

Lagu ¡El pueblo unido, jamás será vencido! diciptakan oleh seorang komponis revolusioner Chile, Sergio Ortega, sekitar tahun 1971. Lagu ini populer saat kampanye pemilu Chile 1971 yang mengantarkan seorang sosialis, Salvador Allende, menjadi Presiden.

Tahun 1973, setelah kudeta militer yang dipimpin Augusto Pinochet, lagu ini dilarang. Tetapi para pelarian politik Chile di luar negeri, termasuk beberapa grup musik kerakyatan macam Quilapayún dan Inti-Illimani, kerap menyanyikannya. Lagu ini pun populer.

Lagu ini diterjemahkan ke beragam bahasa. Dari Inggris, Iran, hingga Filipina. 

Di Amerika latin, kalau ada aksi protes, lagu El pueblo unido jamás será vencido nyaris tidak pernah absen.

#5 EL DERECHO DE VIVIR EN PAZ

Lagu El Derecho de Vivir En Paz diciptakan oleh seniman kiri Chile, Victor Jara, pada 1971. Lagu ini merupakan bentuk solidaritas terhadap perjuangan rakyat Vietnam.

Saat itu, tahun 1970-an, rakyat Vietnam sedang berjuang menghadapi agresi imperialis Amerika Serikat. Perang itu mengorbankan 2 juta warga sipil dan sekitar 1 juta pejuang Vietnam utara.

Tahun 2019 lalu, ketika demonstrasi besar mengguncang Chile, lagu El Derecho de Vivir En Paz (Hak untuk Hidup dalam Damai) ikut berkumandang.

#6 KILLING IN THE NAME

Kalian, generasi tahun 1990-an, tentu tak asing dengan grup band rock asal Amerika Serikat, Rage Against The Machine (RATM).

Grup musik yang digawangi oleh Tom Morello, Zack de la Rocha, Tim Commerford, dan Brad Wilk memang dikenal dengan politik kirinya. Lagu-lagunya berbau protes terhadap kapitalisme. 

Nah, salah satu lagu mereka yang populer dan kerap hadir di tengah aksi protes adalah Killing in The Name.

Saat demonstrasi menentang rasisme mengguncang seantero Amerika Serikat pada 2020 lalu, lagu Killing in The Name kerap hadir di tengah-tengah massa aksi.

Salah satunya, demonstrasi yang berlangsung di kota Portland, Oregon, Amerika Serikat. Demonstran menerikaan potongan lirik lagu itu: Fuck you, I won’t do what you tell me. Lucunya, potongan lirik lagu itu diteriakkan di depan kantor polisi.

Sebuah video yang tersebar di Twitter memperlihatkan massa aksi yang bentrok dengan polisi, dengan kepulan gas air mata, ditemani dan disemangati oleh lagu Killing in The Name.

Di Chile, tahun 2019, demonstran juga bikin konser di tengah massa aksi, sambil menyanyikan lagu Killing in The Name

#7 IMAGINE

Bicara lagu yang mewakili mimpi dan harapan manusia di sepanjang zaman, dari berbagai suku, agama, dan ras, tentu saja yang paling pas adalah: Imagine.

Lagu yang ditulis oleh John Lennon pada 1971 ini mewakili mewakili harapan banyak manusia pada dunia yang ideal. Sebuah dunia yang damai untuk semua orang, tanpa memandang suku, agama, ras, gender, dan kebangsaan. Sebuah dunia yang terbebas dari kebencian, perang, dan keserakahan.

Ini juga yang membuat Imagine dijadikan lagu kebangsaan oleh para aktivis anti-perang, penentang rasisme, penentang fasisme, dan penentang kapitalisme. 

Tak heran, Imagine selalu hadir di berbagai aksi demonstrasi di berbagai belahan dunia. Tak terkecuali demonstrasi yang terjadi belakangan ini. Mulai dari aksi demonstrasi menuntut demokrasi di Hongkong, solidaritas untuk Charlie Hebdo di Paris, solidaritas untuk George Floyd, gerakan occupy wall street, demo anti-rasisme di Brandenburg tahun 2017, dan masih banyak lagi.

Mantan Presiden AS, Jimmy Carter, pernah bilang, “…di banyak negara di berbagai belahan dunia–saya dan istri telah mengunjungi 125 negara–anda akan mendengar lagu John Lennon, Imagine, dinyanyikan layaknya lagu kebangsaan.”

#8 ODE TO JOY

Ode to Joy, dalam bahasa Jerman An die Freude, berasal dari puisi Friedrich Schiller, yang digubah oleh Ludwig van Beethoven pada 1824, sebagai gerakan terakhir pada simfoni kesembilan.

Puisi itu ditulis Schiller pada 1875 menjelang revolusi Perancis. Sang penyair terilhami oleh semangat revolusi yang sedang bergolak, terutama semangat perdamaian dan persaudaraan.

Setelah digubah oleh Beethoven, Ode To Joy segera menjadi lagu pembebasan. Di tahun 1970-an, di Chile, di bawah rezim Pinochet, para pejuang demokrasi kerap menyanyikan Ode to Joy tetapi dalam bahasa setempat: El Himno de la Alegria.

Di Tiongkok, tahun 1989, saat demonstrasi pelajar di lapangan Tiananmen, lagu Ode to Joy juga berkumandang di tengah-tengah massa aksi.

Kemudian, di tahun 2011, Pete Seeger, penyanyi lagu-lagu rakyat Amerika, juga menyanyikan Ode To Joy di tengah-tengah massa aksi Occupy Wall Street.

Tahun 2019 lalu, saat demonstrasi menentang korupsi dan kebijakan penghematan di Lebanon, demonstran juga menyanyikan Ode to Joy. Mereka menyanyikan lagu gubahan Beethoven itu dalam bahasa Arab.

#9 FIGHT TO POWER

Fight to Power, lagu milik grup hiphop Public Enemy, diciptakan tahun 1989, sebagai reaksi terhadap praktek rasisme yang terjadi kala itu.

Dalam perkembangannya, lagu Fight to Power kerap hadir di tengah aksi memprotes rasisme. Termasuk aksi besar-besaran memprotes kematian George Floyd pada 2020 lalu.

#10 SOLIDARITY FOREVER

Lagu Solidarity Forever ditulis oleh Ralph Chaplin, seorang aktivis buruh di AS, pada 1915.

Karena liriknya menekankan solidaritas kelas pekerja, lagu ini banyak dijadikan lagu kebangsaan serikat buruh. Salah satunya: Pekerja Industri Dunia (IWW).

Dalam sejarahnya, lagu ini kerap mewarnai aksi protes di Amerika Serikat. Mulai dari gerakan hak-hak sipil, demo menentang perang Vietnam, Occupy Wall Street, hingga demonstrasi di Wisconsin tahun 2011.

Tetapi lagu ini tak hanya dikumandangkan di AS. Di Filipina, tahun 1980-an, aktivis buruh yang menentang diktator Ferdinand Marcos juga kerap menyanyikan lagu ini.

MAHESA DANU

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid