10 Film tentang Perjuangan Demokrasi di Korea Selatan

Korea Selatan bukan hanya surganya budaya populer. Mulai dari drama, film, musik, variety show, fashion, produk kecantikan, hingga makanan.

Lebih dari itu, Korsel merupakan salah satu negara Asia yang kerap masuk papan atas daftar negara-negara dengan indeks yang bagus-bagus. Untuk indeks pembangunan manusia, Korea menempati peringkat ke-23 dengan skor 0.916 (kategori: very high).

Untuk indeks persepsi korupsi (CPI), prestasi Korsel juga cukup bagus: peringkat ke-33 dengan skor 61 (2020). Untuk indeks demokrasi, Korea Selatan di peringkat 23 dengan skor 8,01 (kategori negara: full democracy).

Hanya saja, dalam urusan kesetaraan gender, Korsel agak tercecer di belakang. Merujuk gender gap index 2021 yang diterbitkan oleh World Economic Forum (WEF), Korsel tercecer di peringkat 102 dengan skor 0,687.

Namun, di balik capaian-capaian itu, Korea Selatan punya masa kelam. Selama hampir empat dekade, Korea Selatan terjerembab di alam kediktatoran. Ada dua kudeta militer dalam rentang waktu itu.

Setelah kekalahan Jepang di tahun 1945, semenanjung Korea terbelah dalam dua pemerintahan dengan ideologi yang berbeda: utara yang komunis, sedangkan selatan anti-komunis dan pro-barat.

Tahun 1948, Syngman Rhee, seorang anti-komunis, terpilih sebagai Presiden Republik Korea (nama resmi pemerintahan Korea selatan). Dia memerintah dengan tangan besi hingga 1960.

Tahun 1960, meletuslah pemberontakan buruh dan mahasiswa, yang kemudian dinamai Revolusi April atau “4.19 revolution”. Republik pertama yang dipimpin oleh Syngman Rhee tumbang.

Sejak itu, berdirilah pemerintahan demokratis yang disebut Republik kedua. Sayang, pemerintahan sipil yang dipimpin oleh Yun Posun ini hanya berusia satu tahun. Tahun 1962, militer di bawah pimpinan Park Chung-hee melancarkan kudeta militer.

Walhasil, Korea Selatan di bawah kendali kediktatoran militer sepanjang 1962-1979. Di akhir 1970-an, demonstrasi mahasiswa kembali mengguncang Korea. Di tengah gejolak politik itu, pada 1979, diktator Park Chung-hee dibunuh oleh kepala intelijen Korea.

Setelah itu, Korea kembali diperintah oleh pemerintahan sipil. Sayang, usianya juga sangat singkat: hanya setahun. Tahun 1980, militer di bawah pimpinan Chun Doo-hwan kembali melancarkan kudeta.

Chun Doo-hwan memimpin Korea dengan tangan besi dari 1980 hingga 1988. Selama pemerintahannya, gerakan mahasiswa dan rakyat terus melakukan perlawanan. Salah satunya yang terkenal: Gwangju Uprising.

Pemberontakan Gwangjung terjadi pada 18-27 Mei 1980. Mahasiswa dan rakyat Gwangjung menentang kediktatoran militer. Setelah protes biasa ditindas militer, mereka memilih mengangkat senjata.

Tahun 1987, gerakan pro-demokrasi yang dimotori oleh gerakan mahasiswa dan buruh berhasil mendesakkan pemilu demokratis. Inilah yang menjadi titik pijak demokratisasi Korea. Sejak itu, Korea meniti jalan demokrasi hingga sekarang.

Nah, melihat jerit-pedih perjuangan rakyat Korea Selatan dalam merebut demokrasi, 10 film di bawah ini bisa jadi rujukannya.

#1 A Petal (1996)

Film A Petal berkisah tentang trauma seorang gadis berusia 15 tahun akibat kebrutalan rezim militer ketika menindas pemberontakan Gwangju (1980).

Sang sutradara film ini, Jang Sun-woo, pernah merasakan kekejaman rezim militer. Ia pernah dipenjara di tahun 1980-an oleh rezim Chun Doo-hwan.

Si gadis, yang tak disebutkan namanya, mengalami trauma dan tekanan mental mendalam setelah menyaksikan ibunya tergeletak bersimbah darah di tanah setelah ditembak militer.

#2 The Old Garden (2006)

Film ini berkisah tentang kisah cinta yang bersemi ketika seorang aktivis mahasiswa, Hyun-woo (Ji Jin-he), bersembunyi di sebuah desa terpencil.

Saat itu, setelah pemberontakan Gwangju, Hyung-woo dikejar-kejar aparat militer. Dia memilih bersembunyi di sebuah desa. Siapa sangka, persembunyiannya itulah yang mempertemukannya dengan gadis muda, Han Yun-hee (Yum Jung-ah).

Keduanya jatuh cinta. Han Yun-hee, yang mantan aktivis mahasiswa, menjadi pengajar di desa terpencil itu.

Namun, seiring berjalan waktu, Hyung-woo mendengar kabar-kabar dari kota. Banyak kawan-kawannya yang ditangkap dan dipenjara. Dia pun terjerembab dalam dilema: tetap tinggal bersama kekasihnya atau kembali ke medang juang.

Hyung-wo akhirnya kembali ke medang juang. Dia ditangkap dan dipenjara selama 17 tahun. Yang luar biasa, setelah keluar penjara dan kembali ke desa, dia menemukan Han Yun-hee yang setia menunggunya.

#3 18 May (2007)

Film yang dirilis tahun 2007 mengambil latar belakang pemberontakan Gwangju 1980.

Kang Min-woo (Kim Sang-kyung), seorang sopir taksi, sebetulnya hidup tenang dengan adiknya, Jin-woo (Lee Joon-gi). Dia juga punya kekasih seorang perawat, Park Shin-ae (Lee Yo-won). Tetapi kediktatoran militer mengubah kehidupan mereka.

Suatu hari, ketika Min-woo dan kekasihnya sedang menonton film di bioskop, gas air mata dan kebrutalan aparat membubarkan mereka.

Puncaknya, kekasihnya nyaris dibunuh oleh seorang tentara. Demi menyelamatkan sang kekasih, Min-woo terpaksa membunuh tentara itu.

Di sisi lain, Jin-woo yang juga pelajar mulai terseret dalam aksi demonstrasi setelah banyak teman-temannya terbunuh oleh aparat yang bertindak brutal.

Hari-hari itu, dengan dalih memerangi pemberontak komunis, rezim Chun Doo-hwan mengirim tentara untuk menumpas protes mahasiswa dan rakyat Gwangju. Protes damai pun direpresi secara brutal.

Situasi represif itulah yang mendorong warga Gwangju untuk mengangkat senjata. Di bawah pimpinan Heung-soo (Ahn Sung-ki), rakyat biasa membentuk kelompok perlawanan.

#4 The Attorney (2013)

Film yang disutradarai oleh Yang Woo-suk ini sebetulnya berangkat dari kisah nyata: peristiwa Burim. Tentang persidangan aktivis mahasiswa yang dituding membaca buku-buku kiri.

Jadi, ketika rezim militer berkuasa, aktivis mahasiswa menjadi incaran. Tak terkecuali kelompok diskusi dan klub-klub buku. Mereka dituding menyebarkan komunisme dan sedang menyiapkan revolusi.

Song Woo-suk ( Song Kang-ho), seorang pengacara yang lagi naik daun karena real estate dan pajak, sebetulnya tak tertarik dengan kasus itu.

Awalnya, Song ini sangat miskin, bahkan kerap berutang di warung makan. Suatu hari, saat makan di warung Bu Soon-ae (Kim Young-ae), dia tak sanggup bayar dan memilih kabur.

Setelah jadi pengacara sukses, dia bermaksud membayar utang-utangnya kepada Bu Soon-ae.

Bu Soon-ae punya putra semata wayang, Park Jin-woo (Im Si-wan). Anak muda yang berstatus mahasiswa ini punya klub buku. Suatu hari, dia dan beberapa kawannya ditangkap. Park dituding melanggar UU Keamanan Nasional.

Demi membebaskan putranya, Bu Soon-ae meminta tolong pada Song. Awalnya, Song tidak mau terlibat. Namun, karena merasa berutang budi pada Bu Soon-ae di kala masih miskin, Song pun mau.

Panggung utama film ini adalah di persidangan. Ketika Song berusaha membuktikan bahwa buku-buku yang dibaca oleh Park dan kawan-kawan bukanlah buku terlarang, melainkan buku biasa. Salah satunya, buku karya sejarahwan Inggris, Edward Hallet Carr, “What is History”.

Song juga membongkar bagaimana kebusukan peradilan di bawah kendali rezim militer. Tentang para terdakwa yang dipaksa membuat pengakuan dibawah penyiksaan yang sangat keji.

Memang, Song tak berhasil membebaskan Park dan kawan-kawan. Tapi peristiwa itu mengubah pandangan politik Song. Dia kemudian menjadi pengacara pro-demokrasi.

Sebetulnya, Song sendiri hanyalah gambaran dari karakter dunia nyata: Roh Moo-hyun, Presiden Korea periode 2003-2008.

#5 1987: When the Days Comes (2017)

Sesuai dengan angka tahun di judulnya, film bergenre thriller politik ini mengambil latar belakang Korea Selatan di tahun 1987. Saat itu, Korea sedang di bawah kediktatoran militer.

Tahun itu, demonstrasi besar meledak di seantero Korea Selatan untuk menuntut pemilu bebas dan kemerdekaan berpendapat. Rezim militer merespon demonstrasi itu dengan gelombang represi.

Nah, film ini mengambil latar pembunuhan seorang aktivis mahasiswa di bulan Januari 1987. Park Jong-chul (Yeo Jin-goo), nama aktivis mahasiswa itu, meninggal saat diinterogasi dan disiksa oleh Polisi.

Demi menutupi fakta di balik kematian aktivis mahasiswa itu, Komisaris Park Cheo-won, seorang petinggi kepolisian yang menangani kasus itu, memerintahkan agar mayat Park segera dikremasi.

Namun, agar proses kremasi itu, polisi membutuhkan tandatangan jaksa yang menangani kasus itu: Choi Hwan (Ha Jung-woo). Namun, jaksa Choi mencium kejanggalan laporan polisi atas kematian aktivis mahasiswa itu. Karena itu, dia mendesak agar jenazah Park diotopsi dulu sebelum dikremasi.

Tentu saja, polisi tak setuju. Polisi pun menekan petinggi kejaksaan agar bisa memaksa jaksa Choi memberikan tanda-tangannya. Akhirnya, karena tekanan, jaksa Choi melakukannya.

Namun, berita kematian Park terlanjur terendus oleh media massa. Demi meredam dampak pemberitaan media, Komisaris Park Cheo-won membuat laporan bahwa Park Jong-chul meninggal karena serangan jantung. Akan tetapi, laporan polisi itu diragukan oleh publik dan media massa.

Di saat bersamaan, jaksa Park berhasil menekan Komisaris  Park Cheo-won untuk melakukan otopsi terhadap jenazah Park. Singkat cerita, proses otopsi pun disetujui. Namun, hasilnya dirahasiakan ke publik.

Jaksa Choi berhasil membagikan hasil otopsi kepada seorang wartawan: Yoon Sang-sam (Lee Hee-Joon). Sehari kemudian, berita tentang penyebab kematian Park tersebar di media massa.

Demi menutup jejaknya dalam kasus itu, Komisaris Park Cheo-won menyerahkan dua anggotanya, Jo Han Kyung (Park Hee-Son) dan Jin Gyoo, untuk ditangkap dan dipenjara. Keduanya dijanjikan akan dilepas secepatnya.

Di penjara itu, ada seorang sipir bernama Han Byung-yong (Yoo Hae-jin) yang bersimpati dan berbagi informasi dengan aktivis pro-demokrasi.

Dalam kejadian yang lain, Yeon-hee (Kim Tae-ri), keponakan Han, tiba-tiba terperangkap di tengah aksi demonstrasi menentang rezim militer. Ia hampir ditangkap oleh polisi berpakaian preman. Beruntung, dia diselamatkan oleh seorang aktivis mahasiswa, Yi Han-yeol (Gang Dong-wo).

Singkat cerita, perihal kematian Park terungkap. Bersamaan dengan itu, gelombang demonstrasi makin membesar.

Hari-hari itu, bulan Juni 1987, rakyat Korea turun ke jalan untuk mengakhiri kediktatoran. Peristiwa ini dikenang dengan nama: perjuangan demokrasi Juni.

#6 A Taxi Driver (2017)

Tak berjarak jauh dengan film “1987: When the Days Comes”, film “A Taxi Driver” juga dirilis pada di tahun itu. Tepatnya Agustus 2017.

Film yang disutradarai oleh Jang Hoon ini mengakar latar belakang pada peristiwa pemberontakan rakyat Gwangju (Gwangju uprising) tahun 1980.

Kim Man-seob (Song Kang-ho), seorang sopir taksi yang tinggal dengan anak perempuannya di sebuah kontrakan kecil. Awalnya, Kim tak begitu tertarik dengan isu-isu politik negerinya.

Suatu hari, ada wartawan Jerman yang berniat membuat laporan tentang pemberontakan Gwangju. Jurgen “Peter” Hinzpeter (Thomas Kretschmann), nama wartawan itu, bersedia membayar 100 ribu won agar bisa memasuki kota Gwangju.

Kim, yang sedang dikejar banyak tagihan rumah tangga, tergiur dengan bayaran itu. Dia pun bersedia mengantarkan Peter ke Gwangju.

Sayang, itu tidak mudah. Semua jalan menuju kota Gwangju sudah diblokir oleh tentara. Akhirnya, setelah mencari-cari jalan tikus, Kim berhasil menerobos masuk kota Gwangju.

Tiba di Gwangju, Kim dan Peter menemui kota itu seperti kota mati. Toko-toko tutup. Di jalanan, tentara merespon demonstrasi mahasiswa. Korban berjatuhan.

Di Gwangju, Kim dan Peter bertemu dengan Gu Jae-sik (Ryu Jun-yeol), seorang mahasiswa yang bisa berbahasa Inggris. Jae Sik pun mengajak Kim dan Peter ke rumahnya.

Kim sendiri sempat berusaha kembali ke Seoul. Namun, di perjalanan pulang, dia bertemu dengan seorang ibu yang sedang mencari putranya di rumah sakit. Kim pun mengantarnya. Di rumah sakit, Kim menyaksikan korban represi aparat berjejal-jejal.

Tindakan represif aparat di Gwangju mengubah cara pandang Kim. Dia menemukan kenyataan berbeda antara apa yang disampaikan pemerintah dan media massa dengan kenyataan di lapangan. Pemerintah selalu menutupi kejadian di Gwangju. Para demonstran disebut simpatisan komunis.

Peter sendiri berhasil mengabadikan sejumlah kejadian di Gwangju. Kemudian, berkat bantuan Kim, Peter berhasil membawa rekaman itu keluar negeri. Berita kekejaman militer di Gwangju pun mendunia.

Oiya, film ini berangkat dari kisah nyata. Sosok Jürgen Hinzpeter memang sosok yang nyata. Begitu juga sosok sopir taksi bernama Kim Man-seob. Hanya saja, berdasarkan pengakuan putra sulungnya, Kim sudah meninggal sejak 1984.

#7 A Single Park (1995)

Film yang tayang tahun 1995 mengangkat kisah Jeon Tae-il (Hong Kyoung-in), seorang anak muda pekerja pabrik garmen yang melakukan aksi bakar diri demi memprotes buruknya kondisi pekerja di Korea Selatan.

Saat itu, dalam kondisi terbakar, Jeon Tae-il berlari sambil berteriak: “Kami bukan mesin” dan “Patuhi Undang-Undang Ketenagakerjaan”. Dia gugur sebagai martir perjuangan buruh dan demokrasi di Korea Selatan.

Kelak, kisah Jeon Tae-il menjadi inspirasi bagi bangkitnya gerakan buruh Korea Selatan dan gerakan pro-demokrasi yang menentang kediktatoran.

Di film ini, kisah Jeon Tae-il diceritakan lewat Kim Young-su (Moon Sung-keun), seorang sarjana hukum dan buronan rezim militer. Kim menulis kisah kepahlawanan Jeon Tae-il hanya lima tahun pasca kejadian aksi bakar diri itu.

Lewat film ini, kita melihat kondisi buruk pekerja di Korea Selatan di tahun 1960-an. Tentang gadis-gadis di bawah umur yang disuntik amfetamin agar bisa bekerja lebih lama. Atau buruh yang meninggal karena TBC dan kelelahan.

Jeon Tae-il, seorang anak muda yang bekerja di pabrik garmen, merasa prihatin dengan kondisi itu. Dia membeli buku UU Ketenagakerjaan dan membacanya. Dia juga membeli buku-buku tentang hak-hak normatif dan standar kerja. Dia menyadari, apa yang dialami oleh pekerja di lapangan sangat berbeda dengan isi UU.

Namun, ketika dia mulai memprotes kondisi buruk itu, rezim militer membungkamnya. Dia dianggap tidak patriotik, tidak gigih, tidak ulet, gampang mengeluh. Pengabdiannya sebagai pekerja bagi tanah-airnya dipertanyakan.

Dalam situasi itulah, Jeon Tae-il memilih menjadi martir agar suaranya lebih didengar.

#8 Kim Gun (2019)

Film dokumenter karya Kang Sang-woo ini sebetulnya berusaha membersihkan tudingan busuk terhadap wajah-wajah rakyat biasa dalam pemberontakan Gwangju 1980.

Jadi, cerita begini. Setelah runtuhnya kediktatoran militer, kelompok sayap kanan terus membangun narasi negatif berbau teori konspirasi terkait pemberontakan Gwangju.

Salah satunya adalah Ji Man-won, seorang bekas tentara di zaman kediktatoran. Dengan teknik mencocok-cocokan wajah, dia mengidentifikasi ada 400 orang Korea Utara yang terlibat di Gwangju.

Tentu saja, narasi itu punya tujuan busuk: menyebut pemberontakan Gwangju sebagai rekayasa Korea Utara untuk melemahkan Korea Selatan.

Nah, melalui film “Kim Gun” ini, sutradara Kang Sang-woo mencoba menyajikan fakta. Ia menelusuri salah satu foto pemuda bersenjata saat pemberontakan Gwangju, yang oleh Ji Man-won, diberi nama: Gwang-soo No.1.

Beberapa orang yang ada bersama anak muda di foto itu pun ditemui dan ditanyai. Namun, mereka mengaku tidak mengingat dan tidak mengenal.

Beruntung, ada seorang perempuan paruh baya yang mengaku mengenal anak muda itu. Dia mengaku, anak muda itu sering dipanggil “Kim Gun”. Kim Gun adalah tunawisma yang sering mengumpulkan sampah dan tidur di bawah kolong jembatan.

Tentu saja, mencari seorang tunawisma yang berpindah-pindah tempat, yang jarang terekam dalam catatan administrasi kependudukan, bukanlah pekerjaan yang gampang. Terlebih lagi, saat terjadi pemberontakan Gwangju, banyak tunawisma yang dibunuh karena keikutsertaannya dalam pemberontakan.

#9 26 Years (2012)

Film karya sutradara Cho Keun-Hyun bercerita tentang para keluarga korban yang tewas dibunuh oleh rezim militer dalam pemberontakan Gwangju.

Tahun 1997, 17 tahun setelah pemberontakan Gwangju, para keluarga korban belum melupakan kejadian yang menghilangnya nyawa orang tersayang.

Seorang anak yang kehilangan kakak perempuannya. Seorang suami yang kehilangan istrinya. Seorang anak yang kehilangan ayahnya.

Namun, yang menyakitkan adalah orang yang dianggap paling bertanggung jawab pada pembantaian Gwangju 1980 masih hidup bebas. Dia masih menikmati posisi politik dan dielu-elukan.

Akhirnya, keluarga korban pun menyusun rencana untuk membalas dendam. Mereka berencana untuk membunuh sang tokoh besar.

#10 National Security (2012)

Film “National Security” merupakan memoir Kim Geun-tae, seorang aktivis pro-demokrasi dan belakangan menjabat Menteri Kesehatan Korea Selatan (2004-2005).

Pada 1980-an, di bawah rezim diktator Chun Doo-hwan, Kim merupakan aktivis mahasiswa yang aktif menggalang perlawanan anti-kediktatoran.

Suatu hari di tahun 1985, Kim ditangkap dan diinterogasi oleh Dinas Intelijen Korea (KCIA). Film ini berkisah tentang bagaimana Kim menjalani beragam metode penyiksaan saat diinterogasi.

Hari-hari awal, Kim dilarang makan dan tidur. Setelah itu, dia mulai mengalami penyiksaan. Mulai dari menenggelamkan wajahnya di dalam kolam hingga teknik waterboarding: tahanan ditidurkan terlentang, tangan dan kakinya diingat, wajahnya tertutup kain, lalu dituangkan air.

Kim juga berkali-kali disetrum. Dia juga pernah disuruh bugil, lalu lehernya diikat, lalu ditarik seperti anjing. Beragam penyiksaan itu kerap berulang selama 22 hari Kim disekap dan diinterogasi.

Semua penyiksaan itu demi satu tujuan: memaksa Kim mengakui dirinya sebagai aktivis komunis, yang bersekutu dengan Korea Utara untuk menggulingkan pemerintahan resmi di Korea Selatan.

Itulah 10 film yang menggambarkan jalan terjal yang ditempuh rakyat Korea Selatan demi merebut demokrasi dan kebebasan.

Sebetulnya masih ada beberapa film lagi, seperti “Peppermint Candy” (1999), “Scout” (2007), “Fork Lane” (2017), dan lain-lain.

RAYMOND SAMUEL

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid