Yuk Belajar Dari Anak-Anak Desa yang Hebat

Pagi itu, anak-anak desa kecamatan Ledokombo, Kabupaten Jember tampak cerah ceria. Dengan mengenakan pakaian terbaik mereka lengkap dengan udeng (ikat kepala. Red) yang terbuat dari hasduk (Dasi pramuka berwarna merah putih. Red) dan senyum sumringah, mereka berangkat menuju tempat bermain mereka setiap sabtu dan minggu, lapangan TANOKER.

Tanoker (dalam bahasa madura berarti kepompong) adalah kelompok belajar dan bermain yang baru berdiri satu tahun terakhir ini di Jember. Pendirinya adalah mantan aktifis Solidaritas mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID), Farha Ciciek.

Hari ini (19/12) Tanoker menggelar olimpiade matematika sederhana yang memadukan konsep asah otak kanan dan otak kiri. Sebanyak 90 anak mengikuti seleksi olimpiade matematika dengan menjawab 30 soal yang sudah disesuaikan dengan kelas masing-masing.

Sembilan puluh anak yang mengikuti olimpiade tersebut berasal dari Ledokombo. Masing-masing dari mereka duduk di kelas 1 SD hingga kelas 1 SMP. Sebab itu, soal yang diberikan pun beragam.

Perempuan yang akrab disapa Ciciek itu mengaku menggelar olimpiade matematika ini untuk memperingati hari ibu yang jatuh pada 22 Desember mendatang.“Ini adalah anak-anak hebat yang dididik oleh ibu yang juga sama hebatnya,” ujar Ciciek.

Bagi perempuan kelahiran Ambon ini, penyelenggaraan olimpiade matematika ini bukanlah sekedar mengadu kepintaran anak-anak untuk berkompetisi. Namun, lebih menggali kemampuan berpikir yang logis dengan menggunakan analisis yang didasarkan pada hal-hal yang obyektif.

Selama ini, kata dia, anak-anak desa Ledokombo cenderung berpikir dan sanga mempercayai mitos atau hal-hal yang sifatnya mistis. Ia pun menggunakan metode matematika untuk memberikan stimulus berpikir kritis dan logis.

Menurutnya, kecamatan Ledokombo dihuni oleh banyak perempuan yang menjadi buruh migran. Mereka, lanjut dia sering minder dengan kemampuan diri mereka sendiri. Padahal, menjadi buruh migran bukanlah keinginan mereka secara penuh. Mereka hanya disorong oleh keterbatasan ekonomi dan system yang ada di Indonesia untuk mencapai akses pendidikan.

“Kebanyakan dari mereka memang hanya tamat SD. Karena itu tak ada pekerjaan yang layak yang bisa mereka dapatkan. Tapi syukurlah, kini anak-anak dari mereka tidak lagi minder dengan pekerjaan ibu mereka yang menjadi buruh migran di Arab dan Malaysia. Sebaliknya, mereka justru bangga,” paparnya.

Gerakan mencerdaskan ibu dan anak ini berasal dari semangat yang cukup tinggi dari Ciciek bersama sang suami, Soeporahardjo yang membangun Tanoker sejak awal.

Menurut Soeporahardjo, meski berasal dari desa terpencil, kini, anak-anak Tanoker mampu untuk mengaplikasikan keilmuan mereka dalam kehidupan sehari-hari. Baik di sekolah maupun di lingkungan sekitar mereka.

Anak-anak, kata dia, tidak hanya sekedar belajar angka-angka dan rumus melainkan juga melatih kedua otaknya, kiri dan kanan sambil menari, berlari dan juga bermain ketangkasan dan kekompakan. Sehingga, lanjut dia, anak-anak tidak cepat bosan belajar matematika sekaligus bisa berpikir kritis, logis dan humanis. (Phi)

[post-views]
Tags: