Yayak Yatmaka: Musik Pop Saat Ini Melemahkan Mental Juang!

Tanggal 9 Maret diperingati sebagai Hari Musik Nasional. Penetapan ini berdasarkan hari lahirnya Wage Rudolf Supratman, si penggubah Indonesia Raya.

Harapan Pemerintah dengan penetapan ini tentu sebagai upaya meningkatkan apresiasi terhadap musik nasional, memotivasi para pelaku musik Indonesia, untuk meningkatkan prestasi juga mengangkat derajat musik kita ke panggung internasional.

Terkait Hari Musik Nasional ini Tejo Priyono untuk Berdikarionline.com mewawancarai Yayak Yatmaka, seorang perupa sekaligus juga musisi kerakyatan pencipta lagu Ke Selatan, Badega, Topi Jerami, Roti Matahari, Titik Api, Aku Anak Indonesia, Satukanlah dan seterusnya. Berikut petikannya:

Bisa ceritakan sejarah bermusik Bung Yayak, utamanya saat mencipta lagu-lagu Anak Merdeka?

Suatu hari di tahun 1980, saat aku aktif membangun Kelompok Anak Merdeka di  kampung Cisitu Lama Bandung, ada serombongan Anak Merdeka melewati markas kami dan serempak menyanyikan jingle iklan obat kuat lelaki: “Mama, mama, aku minta kawin. Mama, mama aku minta kawin……dan seterusnya”. Bah! Ini berbahaya bagi perkembangan kepribadian dan kejiwaan anak-anak itu. Segera saja aku diingatkan pada satu metode jitu yang dilakukan oleh para pamongku saat aku belajar di Taman Indria dan Taman Muda, Taman Siswa Ibu Pawiyatan Yogyakarta (1961-1969), yakni menitipkan pesan-pesan dan ajaran nilai-nilai kerakyatan, kebangsaan, kesetiakawanan, kebersamaan, kesetaraan, jiwa merdeka dan seterusnya lewat lagu-lagu.

Atau tembang dolanan (lagu bermain berbahasa Jawa). Misalnya, “Revolusi Padi” (1963) (Padi, padi yo ditumbuk/Padi,padi yo ditumbuk/Ayo padi jadikan beras/ Ayo padi jadikan beras//Reff: Yo ditumbuk, yo ditumbuk/ Yo ditumbuk, yo ditumbuk/ Ayo padi ditumbuk, dijadikan beras/ Ayo padi ditumbuk, dijadikan beras//).

Metode itu kubilang jitu, karena aku sendiri terus bisa mengingat hampir kesemuanya, sampai hari ini. Maka, 1980 aku tulislah lagu pertama  untuk Anak Merdeka: “Roti Matahari”

Kubawa-bawa Matahariku,

Kubagi-bagi layaknya roti,

Semua mendapatkannya,

Semua suka mendapatkannya.

Jadi, lagu semacam itu bisa dibilang sebagai bagian dari jingle anti-jingle (Iklan). Sebelum itu semua, bersama kawan-kawan Ngamen ITB, aku mencipta lagu-lagu protes melawan Orde Baru (Orba) dan ngamen keliling kampus-kampus di Jawa sejak 1978.

Beberapa lagunya kemudian hari dipakai dan diajarkan selama masa ‘orientasi studi’ pada mahasiswa baru di banyak kampus itu, dan kemudiannya menginspirasi banyak mahasiswa untuk menciptakan lagu-lagu sejenis, sampai 1998.

Misalnya : “Apa Enaknya” (1979) (Apa enaknya jadi pejuang/ Jiwa selalu

terancam/ Lebih baik kita cari uang/Korupsi sepanjang jaman// Apa

salahnya ngajak tentara/ Untuk bela rakyat kita/ Daripada bantu

HaHaHaHa/ HartanaHarmakaHababaHarta//Reff: Sudah tahu rakyat kita

melarat/ Ditipu ChinaJepangAmerika/ Karenanya sengsara dimana-mana/

Dan kita diam saja// Apa enaknya….)

Terkait Hari Musik Nasional 9 Maret, apa komentar Bung tentang dunia musik Indonesia saat ini?

Musik Pop sekarang ini, meminjam istilah Bung Karno sewaktu dulu itu adalah jenis musik “ngak,ngik,ngok”, musik yang melemahkan mental kejuangan. Kejuangan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, kejuangan dalam kehidupan sosial dan kebersamaan, kejuangan dalam bertahan hidup, dan sebagainya. Tak banyak sekarang ini penulis lagu membuat lagu-lagu bertema kebangsaan, kolektiifitas, kegembiraan mencipta, bekerja dan seterusnya.

Selama Orba, Lagu Indonesia Raya bahkan dipakai untuk ‘menggembosi’ kecintaan pada negeri ini dengan cara –setelah mewajibkan pada siswa sekolah dan pegawai negeri untuk setiap hari Senin melakukan upacara bendera- maka lagu Indonesia Raya dinyanyikan hanya SATU stansa saja. Sementara 2 stansa lainnya, stansa yang berisi semacam “doa’ bagi terwujudnya negara Indonesia yang ideal dan dicita-citakan, telah dikhianati dan diupayakan untuk diabaikan dan dilupakan. Karena, dengan itu Orba akan dengan bebasnya, tanpa kontrol, merampok dan menggadaikan serta menjual murah kekayaan alam negeri ini ke pada asing.

Tak banyak lagi yang mencipta lagu-lagu khusus untuk anak, sehingga kemudian anak-anak terhindarkan untuk menyanyikan lagu-lagu ‘ngak,ngik,ngok’ itu. Tak ada lagi ciptaan lagu pengiring kerja atau lagu anak yang merangsang kegembiraan bekerja dan mencipta semacam lagu “Tanam Jagung” atau “Bermain Layang-Layang” dan sebagainya. Laguku “Bayam Merah’ (1985)

(Kutanam Bayam Merah//Di halaman rumah//Bila kumakan dia// Tubuhku jadi sehat dan kuat)telah sering menginspirasi anak-anak untuk menanam apapun di kebun dan halaman rumahnya.

Sekarang, tak ada lagi lagu-lagu untuk umum yang memuja pangan dan petani semacam lagu “Tanam Padi” atau “Serumpun Padi”. Padahal sementara itu, sampai selama ini rata-rata para pencipta lagu yang banyak ada di negeri ini masih tetap saja makan nasi. Atau mungkin karena mereka sudah ‘terkontaminasi’ beras impor hingga tak menghargai lagi para petani? Bisa jadi.

Mungkin ada saran kepada pemerintah harus bagaimana untuk lebih memajukan lagi musik Indonesia?

Pemerintah rezim terakhir ini sudah lumayanlah telah mewajibkan pada anak-anak sekolah untuk menyanyikan dan menghapali ketiga stansa dari lagu Indonesia Raya. Selebihnya, aku skeptis pada pemerintah sekarang atau yang akan datang akan mau mendengarkan saran rakyat, apalagi semata saran tentang ‘musik’.

Bicara karya (musik) apakah Bung masih mencipta lagu sampai hari ini?

Masih, meski tak banyak dan tak produktif lagi. Lebih untuk dinyanyikan dan didengarkan sendiri saja. Karya lagu kontekstual terakhir (2001), adalah seri lagu “Ciliwung Merdeka’. Seri lagu untuk menyemangati saudara sebangsa dan setanah air yang tinggal di pinggiran Kali Ciliwung untuk bertahan melawan penggusuran sewenang-wenang oleh aparat pemerintahan beberapa rezim setelah Reformasi. Lagu itu ‘melenyap’ bersama lenyapnya kampung Bukitduri yang digusur paksa oleh Gubernur Ahok BCP, September 2016 lalu.

Siapa tokoh musik favorit dan jadi inspirasi Bung dalam menciptakan lagu lagu?

Untuk lagu anak, inspiratornya banyak orang. Untuk Lagu protes dan ‘penyadaran’, inspiratornya juga banyak orang. Kesemuanya, selain banyak dari Indonesia, juga dari banyak negara di dunia: Sudarnoto, Victor Jara, Mikies Theodorakis dan sebagainya. Untuk lagu-lagu protes, yang menginspirasi terutama adalah lagu-lagu protes dan lagu rakyat dari Amerika Latin dan Eropa. Baik mars, balada, folklore, maupun hymne dan seterusnya.

Kita tahu lagu-lagu Karya Bung seperti Anak Merdeka, Topi Jerami, Titik Api, Roti Matahari, Ke Selatan, Badega dan seterusnya dibawakan ulang, digubah, diaransemen ulang oleh banyak kawan-kawan pergerakan penjatuhan orde baru soeharto dulu, bahkan sampai hari ini masih jadi lagu penyemangat dalam aksi-aksi massa, apa komentar Bung?

Lagu-lagu yang disebut di atas, tak semuanya aku tulis sendiri. Ada yang kolektif, ada yang ditulis kawan, ada yang saduran (melodinya). Karena aku yang mempopulerkannya, tak aneh kalau aku dibilang sebagai penulis dan penciptanya. Kemudian hari, lagu-lagu itu berbunyi dan dinyanyikan di banyak tempat. Beberapa, bahkan aku kenali hanya melodinya karena kata-katanya telah diubah secara kreatif dan berani oleh para mahasiswa atau kawan-kawan, entah kapan dan oleh siapa.

Aku bersyukur saja bahwa lagu-laguku telah menginspirasi banyak kawan mahasiswa atau kawan pecinta musik untuk menciptakan lagu-lagu sejenis. Lagu-lagu untuk pendidikan, untuk penyadaran dan pembebasan serta perjuangan rakyat.

Bagian seri laguku untuk orang dewasa, aku kategorikan sebagai Lagu Rakyat Merdeka, karena Anak Merdeka yang dulunya kudampingi itu lama-lama pasti akan bertumbuh menjadi Rakyat Merdeka, dan menyanyikannya. Itulah!

Selain musik kerakyatan, menurut Bung bagaimana juga kelangsungan hidup seniman musik tradisi yang memainkan keroncong, gamelan, gambang kromong dan sebagainya itu, karena para pemusik tradisi ini harus bersaing dengan artis-artis populer produk industri dan belum serbuan artis-artis mancanegara?

Kalau mereka tidak ‘ngotot’ bertahan, mereka akan digilas. Salah satucara jitu untuk bertahan dan melawan, ya -menyitir sebaris liriklagu-: “Kumpullah Berlawan!’.  Contohnya, musik gampangan dan ‘selerarendah’ yang dilakukan hanya dengan alat ‘terbang’ (gendang arab) sajabila terus ngotot dinyanyikan dan dibunyikan akan makin banyak danmenjadi-jadi meruyak dan menular cepat. Meski, dikalangan itu seringkali tak ‘mempedulikan’ selera umum dan menghormatikuping orang banyak! Pokoknya, Ngotot Berlawan!

Menurut Bung bagaimana masa depan pemusik-pemusik kerakyatan khususnya tema perjuangan, karena selain Bung sendiri masih ada John Tobing, Marjinal, Kepal SPI, Red Flag, Sebumi, Lontar Band, Jaker dan seterusnya?

Akan terus hidup!  Apalagi bila terus diajarkan, diperdengarkan, apalagi bila ditulis, direkam dan disebar dengan berbagai cara dan media. Terus menerus. Dan selalu siap bertanding kuat-kuatan!

Pemusik-pemusik pergerakan itu harus bicara atau mengangkat isu apa di kondisi terkini?

Lawan masih sama, meski Orba sudah runtuh. Begundalnya masih berperan aktif dan berkuasa. Maka, bicaralah tentang anti penindasan, kerakyatan, kemanusiaan, HAM, kesetaraan, anti pembodohan, cinta alam dan kedamaian, kebersamaan, kesetiakawanan, keadilan, nasib buruh tani dan kaum miskin kota dan desa, kemerdekaan jiwa, kecintaan tanah air, kegembiraan kerja dan mencipta, perlunya pengorganisasian diri untuk berlawan dan sebagainya.

Bung akan nyoblos di Pilpres April 2019 nanti?

Golput, aku Tidak Nyoblos! Apalagi capresnya rata-rata didukung para eks Jenderal ABRI dan begundal-begundal Orba serta Nekolim (Neo kolonialisme –red). Dan juga Partainya anak-anaknya Soeharto. Dalam musik, Pilpres 2019 kali ini adalah jenis musik “Pret, pret, preeet!”.

Terakhir, apa pesan Bung untuk para pemusik kerakyatan yang masih berjibaku berkarya dan berjuang bertahan hidup?

Maju terus dan merdeka lah. Jangan berhenti berkarya, terus bernyanyi dengan semangat. Terus sadar dan manfaatkan lagu/musik kita yang sejatinya adalah “Senjata Rakyat  Merdeka”, sambil tetap terus yakin: Rakyat Pasti Menang! Rakyat Harus Menang!

Renungkan dan nyanyikan setiap kali lagu ‘Rakyat Bersatu” ini:

Satukanlah dirimu semua

Seluruh Rakyat senasib serasa

Sakit suka dirasa sama

Bangun bangun segera

Satukanlah berai jemarimu

Kepalkanlah dan jadikan tinju

Bara lapar jadikan palu

‘Tuk pukul lawan tak perlu meragu

Reff:

Pasti menang, harus menang

Rakyat berjuang

Pasti menang, harus menang

Rakyat merdeka

Hari terus berganti

Haruskah kalah lagi

Si Penindas harus pergi

Untuk hari esok

Yang lebih baik

Jangan mau ditindas,

Jangan mau dijajah,

Jiwa dan pikiran kita

Untuk hari esok

Yang lebih baik

Reff:

Pasti menang, harus menang

Rakyat berjuang

Pasti menang, harus menang

Rakyat merdeka

(1988-2000 bersama Lontar Band)

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid