Warisan Mental Didik Orde Baru

Ilustrasi ospek mahasiswa baru. ANTARA/Ampelsa

We’re just a lie,
We’re just a fake
I can’t wait ’til I’m finally dead
Erase my numbers and hope to never return again
Computerized
We are all neutralized in a world
That’s controlled by machines

(Hypocrisy – Living To Die, 2005)

Dalam realitas skema Pendidikan nasional, Indonesia sebagai negara ketiga, pendidikan diorientasikan untuk menciptakan tenaga kerja dengan upah murah. Seperti halnya membicarakan tentang kerjasama antara instansi Pendidikan dengan perusahaan. Dalih – dalih perusahaan akan merangkul siswa/mahasiswa yang terbilang kompeten dibidangnya, itu sudah terjadi sejak zaman kolonial. Terulang lagi pada saat rezim Orde Baru berdiri, tahun 1967.

Orde Baru menanamkan budaya anti-intelektualisme ini melalui lembaga pendidikan dari tingkat sekolah dasar hingga perguruan tinggi dan merambah menjadi suatu bentuk kurikulum. Budaya anti-intelektualisme ditanamkan dengan memaksakan pemahaman tunggal atas sebuah masalah dan mencegah terjadinya perdebatan atau diskusi di ruang-ruang kelas. Bahkan fenomena ini merupakan titik awal kemunculan paradigma sporadis dan reaksioner. Pihak lembaga pendidikan mulai dari birokrasi hingga pengajar menjadi agen pelaksana penanaman budaya ini.

Anti-intelektualisme juga dikembangkan di level keluarga dengan mencegah anggota keluarga untuk berpikir kritis melalui penutupan ruang bagi kebebasan berpikir. Rasa ingin tahu dan sikap kritis atas sebuah persoalan dibungkam dengan berbagai cara. Misalnya, orang tua mengingatkan anaknya untuk tidak menanyakan hal-hal sensitif, apalagi hal itu berbau politik, terlebih mengkritisi permasalahan birokrasi dan supremasi. Jarang sekali ada keluarga yang menyarankan acuan buku sebagai refrensi pelajaran, melainkan hanya buku-buku yang diberikan oleh instansi Pendidikan.

Pada masa jayanya Orde Baru pernah mengampanyekan aktivitas gemar membaca ke masyarakat. Namun, kebijakan ini bertolak belakang dengan kebijakan lainnya, seperti pembatasan dan penyensoran buku-buku yang beredar dan pembungkaman sikap kritis masyakarakat. Sehingga kampanye gemar membaca ini bisa dikatakan tidak lebih dari basa-basi saja. Maka dari itu, kontradiksi yang terjadi berupa ketiadaan ruang literasi.

Pada tanggal 13 Juli 2012, pemerintah menetapkan sebuah UU yang mengatur pengelolaan pendidikan tinggi di Indonesia: UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi (selanjutnya disebut UU Dikti). UU yang telah dibahas sejak 2010 (setelah UU Nomor 9 Tahun 2009 tentang  Badan Hukum –selanjutnya disebut UU BHP—Pendidikan dibatalkan) ini akhirnya disahkan, walau menghadapi berbagai penolakan publik, terutama dari civitas perguruan tinggi.

Pernyataan pemerintah tentang klaim atas UU Pendidikan Tinggi adalah tentang mutu saing Sumber Daya Manusia (SDM) pada skala global. Pemerintah menilai, bahwa keberadaan Perguruan Tinggi yang bermutu, terotonom, dan maju merupakan simbolisme daya saing bangsa. Keberadaan UU Pendidikan Tinggi dianggap sebagai keperluan pemerintah atas solusi dan inovasi bagi pertumbuhan bangsa dan negara.

Reformasi Pendidikan Tinggi (Higher Education Reform) menjadi isu yang sangat krusial di Indonesia pasca-1998. Jika ditarik pada level global, isu ini juga menjadi isu yang berkembang di negara-negara Asia Timur dan Asia Tenggara lainnya (Mok, 2010), serta Afrika (Mamdani, 2007). Wacana ini merupakan salah satu bentuk tawaran yang berasal dari World Bank dan World Trade Organization (WTO).

Perubahan yang diusung oleh negara telah menjadi salah satu agenda pemerintah pasca reformasi-1998. Sebenarnya, perihal ini telah ditawarkan oleh WTO sejak tahun 1994. Hingga  pada tahun 1995, Indonesia menandatangani perjanjian moneter dengan International Monetary Fund (IMF).

Reformasi pendidikan tinggi di Indonesia dimulai pemberian otonomi pada tujuh institusi pendidikan tinggi negeri di Indonesia, yaitu ; UI, UGM, IPB, ITB, USU, UPI, dan Unair. Proses otonomi tersebut sudah dimulai sejak munculnya Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 1999, tentang Penetapan Perguruan Tinggi Negeri sebagai Badan Hukum (PP No.61/1999). Konsep Badan Hukum Milik Negara (BHMN) yang dilandasi oleh PP No. 61/1999 ini memberikan otonomi bagi Perguruan Tinggi Negeri (PTN) yang berubah menjadi BHMN (Nalle, 2011: 565).

Hubungan antara instansi dengan perusahaan dan pemerintah sebagai pemangku kebijakan, telah tebukti dalam UU No. 12/2012 pasal 48 yang bebunyi “(1) Perguruan Tinggi berperan aktif menggalang kerja sama antar Perguruan Tinggi dan antara Perguruan Tinggi dengan dunia usaha, dunia industri, dan Masyarakat dalam bidang Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, (2) Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan Masyarakat mendayagunakan Perguruan Tinggi sebagai pusat Penelitian atau pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, (3) Perguruan Tinggi dapat mendayagunakan fasilitas Penelitian di Kementerian lain dan/atau LPNK, (4) Pemerintah memfasilitasi kerja sama dan kemitraan antar Perguruan Tinggi dan antara Perguruan Tinggi dengan dunia usaha dan dunia industri dalam bidang Penelitian.

Diskursus yang tercipta merupakan salah satu skema atas siklus kebutuhan investor. Melalui intervensi dan infiltrasi secara ekonomi-politik, investor mampu menstimulus pemerintah untuk membentuk payung hukum yang sekiranya dapat melindungi ekspansi modal mereka. Siklus yang diciptakan dalam masyarakat syarat akan pola pikir pragmatis. Dari awal mula Pendidikan Dini, masyarakat sudah ditanamkan pola pikir ala Adam Smith, seperti “dengan modal sedikit untuk mendapatkan untung lebih. Pola pikir yang telah terinjeksi sejak dini berdampak besar terhadap logika hidup sejahtera.

Sekolah yang merupakan ranah investment terhadap kecerdasan bangsa, beralih fungsi untuk mencapai kebutuhan kapital semata. Karena dengan sekolah, mayoritas masyarakat berpikiran bahwa dengan mengenyam bangku sekolah hingga Perguruan Tinggi, maka mereka akan mendapatkan pekerjaan yang layak, lalu dapat memenuhi ruang – ruang kesejahteraan hidup. Tanpa pikir panjang, semua itu terlaksana tanpa ada pertimbangan atas pencerdasan bangsa.

Pendidikan yang diasah dari seni dan budaya akan menghasilkan sebuah cita – cita bangsa yang diinginkan. Jarangnya orang mengasah sebuah rasa ketika mengenyam pendidikan. Mesti ada pendekatan seni dan budaya, maka dari itu akan timbul pengembangan potensi dari siswa didik maupun mahasiswa.

Zizek (2009) mengatakan, ketika mahasiswa lulus, dalam profesi apapun ia bekerja, ia harus sadar bahwa ia adalah ‘buruh’. Kesadaran subjektif ini merupakan salah satu skema yang memperkuat fondasi pemodal dalam mengekspansi modalnya. Benturan antara idealisme dan konstruksi realitas yang dibangun oleh pemerintah, mampu meredam gerakan mahasiswa. Itulah bentuk kontradiksi yang diciptakan hanya sekedar untuk mengikis pola pikir kritis pada mahasiswa, bahkan juga terjadi di masyarakat.

Gilang Andaruseto Prabowo, Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Banten

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid