Red Star Belgrade, Dari Klub Kiri menjadi Nasionalis Chauvinis

Nama Red Star mendadak viral di media sosial. Lantaran, saat berlaga melawan Rangers di leg ke-2 16 besar Liga Eropa, Jumat (18/3/2022) dini hari tadi, fans dari klub yang bermarkas di kota Belgrade, Serbia, itu membentangkan spanduk anti-perang.

Spanduk yang dibentangkan bertuliskan “All We Are Saying is Give Peace a Chance”. Di belakang spanduk besar itu berderet spanduk kecil bertuliskan negara-negara yang pernah mengalami konflik bersenjata karena intervensi asing. Salah satunya: Indonesia 1958.

FK Crvena Zvezda, atau sering ditulis Red Star, dalam bahasa Indonesia berarti “Bintang Merah”, adalah kesebalasan dari Serbia. Di Liga Eropa musim 2021-2022, prestasi Red Star lumayan bagus.

Di laga penyisihan, mereka tergabung di gruf F bersama SC Braga (Portugal), FC Midtjylland (Denmark), dan PFC Ludogorets (Hungaria). Red Star tampil sebagai juara grup dan lolos ke 16 besar. Sayang, di babak 16 besar, mereka tersingkir oleh Rangers.

Namanya saja sangat unik: Bintang Merah. Dipertegas oleh logo timnya yang kiri banget. Ada bintang merah, dengan warna dasar merah dan putih.

Tapi, tahukah anda, Red Star punya kisah yang menarik untuk diulas.

Jauh sebelum perang dunia kedua, sepak bola sudah sangat menggeliat di Serbia, yang kala itu masih menjadi bagian dari Yugoslavia. Di kota Beograd, kota besar di Serbia, ada dua klub sangat ternama:  Beogradski sport klub (BSK) dan Sportski klub Jugoslavija (SK Jugoslavija).

Namun, tahun 1941, Yugoslavia diserbu oleh Jerman dan aliansi fasisnya. Kerajaan Yoguslavia yang diperintah oleh Raja Peter II pun runtuh. Pejuang anti-fasis Yoguslavia, yang menyebut diri Partisan, membentuk kelompok perlawanan.

Perlawanan itu dipimpin oleh seorang komunis, Jozip Broz Tito. Dengan perjuangan sehebat-hebatnya, juga berkat dukungan tentara merah Soviet, Tito berhasil membebaskan satu per satu kota Yugoslavia.

Pada Oktober 1944, kota Beograd berhasil dibebaskan oleh pasukan partisan dan tentara merah. Setahun kemudian, pada November 1945, Tito memproklamirkan berdirinya Republik Federasi Rakyat Yugoslavia.

Seiring dengan terbebasnya kota Beograd, sepak bola pun hidup kembali. BSK dan SK Jugoslavija tetap hidup selama pendudukan NAZI. Itu juga yang menjadi alasan bagi partisan dan komunis menuding klub-klub itu sebagai “kolaborator NAZI”.

Untuk mengimbangi klub-klub yang dicap kolaborator NAZI itu, kaum komunis mendirikan klub baru. Namanya tak jauh-jauh dari identias komunis: FK Crvena Zvezda atau Red Star.

Partisan tak mau ketinggalan. Mereka juga membuat klub sepak bola sendiri. Namanya: Fudbalski klub Partizan (FK Partizan). Tak mau kalah dengan Red Star, FK Partizan juga punya bintang merah di logonya, meski tidak mencolok.

Pelan tapi pasti, kedua klub ini berkembang, baik di liga domestik maupun Eropa. Mereka juga yang kerap mewakili Yugoslavia di ajang Liga Champion.

Mereka cukup berjaya ketika Serbia masih menjadi bagian Yugoslavia hingga Serbia yang berdiri sendiri sekarang ini. Mereka mengoleksi 19 gelar juara Liga semasa Yugoslavia masih berdiri (1918 – 1992). Di Liga Super Serbia, mereka merebut juara 5 kali dan runner-up 8 kali.

Tahun 1991, setahun sebelum bubarnya Yugoslavia, Red Star berhasil merebut trofi tertinggi antar klub di Eropa: Piala Eropa, yang sekarang bernama Liga Champion. Inilah prestasi tertinggi klub ini sepanjang sejarah.

Dejan Stanković, bintang sepak bola Serbia yang pernah memperkuat Lazio dan Inter Milan, pernah membela Red Star selama 3 tahun.

Sayang, di penghujung 1980-an, Yugoslavia dikoyak oleh pasang nasionalisme etnik. Setelah dikoyak perang dan konflik etnik, Yugoslavia bubar tahun 1992. Sempat bersama Montenegro, sebagai negara persemakmuran, Serbia menjadi Negara sendiri tahun 2006.

Perpecahan Yugoslavia dan bangkitnya nasionalisme etnik benar-benar merasuki sepak bola. Hampir semua klub sepak bola di negara bekas Yugoslavia terkena dampaknya.

Saat itu, Red Star sebagai bagian dari Serbia tak terlepas dari dampak perubahan politik itu. Slobodan Milošević, yang memimpin Serbia kala itu, mencangkokkan nasionalisme etnik ke penggemar Red Star.

Di bawah Milošević, sepak bola hendak dijadikan sebagai alat untuk menanamkan idenya soal nasionalisme Serbia. Saat itu, Red Star bersama koran terkenal di Belgrade, Politika, juga Akademis Sains dan Seni Belgrade, disebut sebagai pilar penting dari apa yang disebut “Serbhood”, sebuah gagasan tentang Serbia yang bersatu secara etnik, ekonomi, dan budaya.

Puncaknya, pada 13 Mei 1990, saat laga antara Red Star versus Dinamo Zagreb di Stadion Maksimir, Zagreb, Kroasia. Saat itu, Kroasia baru saja selesai pemilu, yang dimenangkan oleh partai kanan-nasionalis Uni Demokrat Kroasia (HDZ). Serbia tak terima kemenangan partai itu karena memperjuangkan Konfederasi Yugoslavia.

Situasi panas politik merasuki pertandingan. Sebelum pertandingan dimulai, suporter Red Star, disebut Delije, sudah bentrok dengan suporter Dinamo Zagreb, yang disebut Bad Blue Boys. Kerusuhan berlangsung hingga dalam stadion.

Saat pasang nasionalisme sempit itu, suporter Klub bola juga berperan sebagai kelompok paramiliter. Banyak suporter Red Star menjadi bagian dari kelompok paramiliter yang dipimpin Željko Ražnatović alias Arkam, orang didakwa sebagai penjahat perang oleh Mahkamah Pidana Internasional (ICC) Den Haag, Belanda.

Tragis memang, sebuah klub sepak bola yang dilahirkan oleh bekas-bekas kombatan Komunis di perang Dunia ke-II, yang bercita-cita memperjuangkan kelas pekerja, berubah menjadi klub nasionalis-chauvinis.

Raymond Samuel

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid