Warga Pejambon Tolak Penggusuran Oleh TNI-AD

Warga Pejambon, Gambir, Jakarta Pusat, sudah membulatkan tekad untuk menolak rencana penggusuran oleh Direktorat Perhubungan Angkatan Darat Batalyon Perhubungan (Dithubad TNI AD).

Hal itu terungkap saat ratusan warga Pejambon yang terhimpun dalam IKWKP (Ikatan Kerukunan Warga Komplek Pejambon) menggelar rapat akbar Kampung, Jumat (12/4). Hadir dalam rapat akbar itu, antara lain, Kent Yusriansyah (KPA), Masington Pasaribu (REPDEM), dan Helmy Fauzi (Anggota DPR RI).

Dalam rapat akbar itu, warga mengungkapkan adanya intimidasi yang dilakukan oleh TNI-AD. “Kami sudah dua kali mau digusur, yakni tahun 2007 dan 2012, tapi kami akan tetap mempertahan tanah kami. Ini soal hak kami untuk hidup,” kata Ibu Nunik, salah seorang warga yang juga pengurus IKWKP.

Menanggapi keluhan warga, anggota Komisi I DPR Helmy Fauzi menerangkan, bahwa dengan adanya kebijakan moratorium penggusuran dari Negara terhadap asset-aset Negara, maka penggusuran terhadap warga Pejambon tidak dapat dibenarkan.

Meski demikian, Helmy menghimbau agar warga tetap mengedepankan dialog dalam menyelesaikan konflik ini. Ia juga mengundang warga Pejambon datang beramai-ramai ke DPR untuk mengadukan persoalannya.  “Saya menyampaikan keprihatinan atas adanya aksi intimidasi dari TNI AD terhadap warga,” ujarnya.

Dalam diskusi tersebut, hadir pula warga dari Kebun Jeruk, Jakarta Barat, yang juga berkonflik dengan TNI AD. Ibu Wiwik, perwakilan warga kebun jeruk, meminta agar negara melindungi rakyatnya dari segala bentuk kekerasan dan ketidakadilan.

Aktivis KPA, Kent Yusriansyah, menjelaskan, warga akan merespon masukan dari anggota DPR terkait negosiasi dan meminta surat rekomendasi DPR terkait moratorium penggusuran.

Untuk diketahui, konflik warga jalan Pejambon I Rt. 015 dan Rt. 001, Kecamatan Gambir, Jakarta Pusat, bermula tahun 2007, saat Danyon Dithubad TNI AD mengklaim tanah yang ditempati oleh warga sebagai rumah dinas TNI AD. Padahal, menurut warga, mereka sudah menempati lahan seluas 6,8 ha sejak tahun 1973.

Menurut warga, dulunya tanah itu merupakan lahan kosong. Lalu, atas izin dari Gereja GIPB Immanuel selaku pemilik tanah, warga mulai menempati lahan tersebut dan membayar pajak.

Upaya penggusuran sendiri sudah terjadi dua kali, yakni tahun 2007 dan 2013. Namun, berkat perlawanan warga, kedua upaya penggusuran itu berhasil digagalkan.

Galih Andreanto

Editor: Mahesa Danu

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid