Mengingatkan (Kembali) Tiga Konsensus Kebangsaan Kita

Pelarangan Natal di Dharmasraya, Sumatera Barat, yang seakan diamini oleh pemerintah setempat dan Menteri Agama, benar-benar mengancam eksistensi kebangsaan kita.

Mari tengok anatomi bangsa kita.

Penduduk Indonesia, yang jumlahnya 250 juta, adalah himpunan dari 300-an kelompok etnik atau suku bangsa. Malahan, sensus BPS tahun 2016 menyebut jumlah suku bangsa di Indonesia mencapai 1340 suku bangsa.

Kemudian, mereka berucap dalam 748 bahasa. Versi BPS tahun 2010 menemukan ada 1211 bahasa dan sub-bahasa di Indonesia.

Hampir semua agama besar di dunia ini ada di Indonesia, ditambah 250-an aliran kepercayaan.

Selain itu, negeri yang membentang dari Sabang sampai Merauke ini adalah negara kepulauan. Berdasarkan Seri Ensiklopedia Populer Pulau-pulau Kecil Nusantara, jumlah pulau di Indonesia mencapai 17.504 buah. Dari jumlah itu, hanya sekitar 12,38 persen atau sekitar 2.342 pulau saja yang berpenghuni.

Dengan ribuan suku, bahasa, juga agama dan aliran kepercayaan, Indonesia menjadi salah satu bangsa paling majemuk di bawah kolong langit ini.

Tentu saja, keragaman itu menghasilkan kekayaan tradisi, seni, budaya, dan pengetahuan yang tak terhitung banyaknya. Namun, ketika kolonialisme hendak menginjakkan kaki di bumi Nusantara, justru keragaman itu yang mereka eksploitasi untuk meniupkan politik devide et impera (belah dan kuasai).

Coba bayangkan, di tengah keterbatasan teknologi dan informasi, di zaman orang belum mengenal Whatsapp, Goole, Facebook, Twitter, Youtube, dan lain-lain, para pendiri bangsa bisa menjahit keseragaman yang sudah terobek-robek oleh kolonialisme itu menjadi satu bangsa: INDONESIA.

Menariknya, seperti dikatakan Pramoedya Ananta Toer, bangsa Indonesia ini dipersatukan nyaris tanpa meneteskan setitik darah pun. Artinya, Indonesia sebagai “proyek bersama” diterima oleh manusia-manusia yang sangat majemuk itu secara sukarela.

Indonesia Sebagai Proyek Bersama

Gagasan nation di Indonesia merupakan sesuatu yang baru: baru muncul di sekitar penutupan abad ke-19 dan permulaan abad ke-20. Meskipun klaim historis yang mendasarinya jauh lebih tua: penyatuan kerajaan-kerajaan dalam Nusantara.

Awalnya, yang pertama memunculkan gagasan nation ini adalah kaum priayi. Mereka menjahit nation ini berdasarkan kesamaan etnis. Maka lahirlah nasionalisme etnik, yang mengedepankan eksklusifitas etnik, sejarah masa lalu yang dimitologikan, dan kesamaan budaya.

Kita tahu, gagasan nasionalisme etnik tidak berkembang dan berterima luas. Gagasan ini berhenti menjadi impian kaum priayi yang merindukan kejayaan leluhurnya di masa lalu.

Kemudian mulai muncul gagasan nasionalisme kewargaan atau civic nationalism. Kita bisa melihat akarnya dari pemikiran Kartini, Tirto Adhisuryo, dan tiga Serangkai (Tjipto Mangungkusumo, Douwes Dekker, dan Soewardi Soerjadiningrat).

Berbeda dengan nasionalisme etnik, nasionalisme civic menempatkan segenap elemen bangsa melampaui agama, ras dan suku sebagai komunitas setara dan mendapatkan hak-hak penuh. Ini nampak, misalnya, pada Indische Partij yang mencita-citakan nasion Hindia yang merdeka dan demokratis, dimana semua suku bangsa, agama dan ras memilik hak yang sama di dalamnya.

Gagasan nasionalisme civic ini berkembang dan mengakar kuat dalam berbagai spektrum gerakan kebangsaan saat. Namun, sejak 1914 seiring dengan berkembangnya marxisme, gagasan nasionalisme kewargaan ini diperkaya oleh cita-cita mewujudkan masyarakat “sama-rata, sama rasa”.

Jika nasionalisme kewargaan hanya bicara kesetaraan dalam politik, maka marxisme menyumbangkan gagasan kesetaraan ekonomi dan sosial. Inilah yang melahirkan gagasan nasionalisme baru: nasionalisme progressif atau nasionalisme kiri.

Hampir semua pendiri bangsa kita, dari Sukarno, Tan Malaka, hingga Hatta, berpijak di atas cita-cita nasionalisme kiri ini. Bahkan, boleh dikatakan, Indonesia merdeka berdiri di atas prinsip dan cita-cita nasionalisme kiri.

Nasionalisme kiri bukan hanya mengakui prinsip kesetaraan Warga Negara. Bahwa semua warga Negara, tanpa memandang suku, agama, ras, gender, warna kulit, bahasa, dan pandangan politik, punya hak yang sama. Lebih dari itu, semua warga Negara itu juga harus setara secara ekonomi dan sosial. Sebab, kaum marxis meyakini, tanpa kesetaraan secara ekonomi dan sosial, niscaya ada kesetaraan di hadapan hukum dan politik.

Jadi, Indonesia diterima sebagai “proyek bersama”, yang diperjuangkan dengan kerelaan berkorban nyawa, karena prinsip-prinsip itu: prinsip kesetaraan, persamaan hak, dan keadilan sosial. Tanpa pengakuan akan prinsip itu, mustahil bangsa yang majemuk ini bisa bersatu.

Tiga Konsensus KebangsaanKita

Menurut saya, Indonesia sebagai proyek bersama berpijak pada tiga konsensus.

Pertama, pengakuan atas keragaman (politik rekognisi). Kata kunci dari politik rekognisi adalah pengakuan dan penghormatan atas perbedaan (suku, agama, gender, warna kulit, pandangan politik, dll).

Dalam konteks Indonesia sebagai proyek bersama, politik rekognisi ini tampak sekali pada semboyan “Bhineka Tunggal Ika”. Juga pidato Sukarno pada tanggal 1 Juni 1945, yang dikenal sebagai Hari Lahirnya Pancasila, bahwa negara Indonesia adalah “negara semua untuk semua”.

Bersamaan politik rekognisi itu, berlaku pengakuan terhadap prinsip kesetaraan dan persamaan hak. Semua Warga Negara, tanpa memandang suku, agama, ras, warna kulit, gender, dan pandangan politik, punya posisi yang setara dan hak yang sama.

Jadi, praktek misrekognisi, seperti terjadi di Dharmasraya dan jamak terjadi di berbagai tempat di Indonesia, telah menyangkal prinsip pengakuan akan keragaman.

Di sini, Negara sebagai representasi kepentingan bangsa harus hadir untuk menghentikan praktek misrekognisi itu. Negara harus hadir memberikan rasa aman kepada semua warga Negara untuk bebas memeluk agama dan kepercayaan yang diyakininya.

Masalahnya, dalam kasus ini, negara justru abai. Bahkan terkesan membiarkan. Malahan, pernyataan Menteri Agama Fachrul Razi terkait kasus itu terkesan “membiarkan” (baca di sini).

Kedua, pengakuan terhadap cita-cita keadilan sosial (politik redistribusi). Saya kira, Indonesia sebagai “komunitas yang dibayangkan”, bukan hanya wadah bagi manusia yang beragam suku, agama, ras, dan adat-istiadat, tetapi juga sebuah “masyarakat yang hidup adil dan makmur”.

Karena itu, Indonesia diperjuangkan bukan hanya karena mimpi punya rumah bersama bernama Negara Republik Indonesia,  bukan sekedar karena rasa memiliki kepada suatu komunitas yang sama-sama tertindas (sentiment of belonging to a community), tetapi juga karena cita-cita hidup bersama dalam tatanan komunitas bangsa yang berkeadilan sosial.

Karena itu, semangat untuk berkorban (will to sacrifice), yang merupakan aspek penting nasionalisme, melampaui sentimen-sentimen kesukuan, keagamaan, dan ras, laki-laki atau perempuan, dan bentuk-bentuk identitas lainnya.

Ketiga, pengakuan terhadap demokrasi. Yang menarik, hampir semua pendiri bangsa kita, dari golongan nasionalis, kiri maupun religius, percaya pada konsep demokrasi.

Kenapa demokrasi ini penting? Saya kira, karena demokrasi ini merupakan ruang representasi, baik representasi keragaman (etnik, agama, gender, dll) maupun gagasan. Demokrasi juga merupakan ruang bagi seluruh anggota bangsa untuk berbicara dan beraspirasi. Indonesia sebagai proyek bersama diterima secara sukarena karena diperdebatkan secara terbuka dan demokratis.

Nah, tiga prinsip yang saya sebutkan di atas terangkum dalam sila-sila Pancasila. Politik rekognisi menjelma pada sila pertama (Ketuhanan Yang Maha Esa), kedua, dan ketiga. Politik keadilan sosial tercermin pada Sila kelima (Keadilan Sosial). Sedangkan demokrasi ada pada sila keempat.

Kita tidak bisa mengabaikan satu dari konsensus itu. Misalnya, kita tidak bisa merayakan keragaman dan demokrasi, tetapi mengabaikan persoalan ketimpangan dan ketidakadilan sosial. Begitu juga sebaliknya, tidak ada redistribusi kekayaan yang berkeadilan sosial kalau tidak ada pengakuan terhadap keragaman dan demokrasi.

Mahesa Danu

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid