Tidak Memahami Isu, tapi Ikut Demonstrasi?

Gerakan mahasiswa 2019 mendapat banyak apresiasi. Setidaknya, menurut survei terbaru Kedai KOPI, sebanyak 77 persen masyarakat Indonesia setuju dengan demonstrasi mahasiswa di DPR.

Namun, meski mayoritas mendukung, tak sedikit juga yang berusaha mendegelitimasi gerakan mahasiswa. Berbagai cara mereka lakukan untuk niat jahat itu. Mulai dari menyebarkan hoax yang menjelek-jelekkan gerakan mahasiswa dan pelajar. Banyak juga yang mengejek demonstran yang tidak begitu faham dengan isu yang disuarakan.

Media terbesar dan ternama di tanah air, Kompas.com, juga ikut-ikutan mengejek pelajar SMP di Pamekasan, Madura. Hanya karena pelajar yang baru berusia sekitar 14-16 tahun itu meneriakkan revolusi, tetapi tak tahu artinya.

Aku teringat salah sosok dalam film Soegija (2012). Di film itu ada anak muda anggota Laskar Rakyat bernama Banteng. Dia buta-huruf. Meski begitu, dia ikut revolusi memanggul senjata. Meskipun ia tak tahu apa itu revolusi dan tetek-bengeknya. Jangankan mengerti revolusi, dia baru belajar mengeja kata “m-e-r-d-e-k-a”.

Aku pernah baca, waktu Indonesia baru merdeka tahun 1945 jumlah buta hurufnya 97 persen. Bayangkan, hanya 3 persen yang bisa baca-tulis. Tapi, dalam revolusi kemerdekaan, ada berpuluh-puluh juta orang yang ikut berjuang dengan berbagai cara. Tidak sedikit dari mereka yang terseret dalam revolusi kemerdekaan itu adalah orang-orang yang tidak begitu mengetahui apa itu “revolusi”, “kolonialisme”, “imperialisme”, “Republik”, dan lain sebagainya.

Tetapi, apakah kurangnya pengetahuan  seorang individu terhadap revolusi kemerdekaan bisa mendeligitimasi perjuangannya dalam revolusi tersebut?

Aku hanya mau bilang, keterlibatan seseorang dalam sebuah aksi seringkali didorong oleh pengalaman pribadinya, ketimbang pengetahuan teoritis yang kompleks.

Faktanya memang demikian. Ada orang memiliki pengetahuan untuk membedah masalah, tapi tak menyingsingkan lengan baju untuk berjuang. Tetapi ada juga orang yang tak cukup pengetahuan untuk membedah masalah, tapi merelakan diri untuk berjuang.

Kenapa?  Karena mereka berangkat dari pengalaman pribadi masing-masing ketika bersinggungan dengan realitas penjajahan. Dalam hal ini, setiap pribadi berhadapan dengan praktek-praktek langsung dan tidak langsung dari penjajahan: diskriminasi, rasisme, kekerasan, perampasan hak milik, penghilangan kemerdekaan individu, teror, penyingkiran ekonomi, dan banyak lagi.

Pengalaman-pengalaman pribadi ini, yang dialami banyak orang dengan derajat yang berbeda-beda, telah membentuk rantai bersama yang disebut pengalaman kolektif. Ya, pengalaman kolektif sebagai bangsa terperintah atau terjajah. Atau bahasa lainnya: kesamaan nasib.

Begitu juga dengan demonstrasi mahasiswa dan pelajar. Sebelum kejadian demonstrasi itu, ada rangkaian pengalaman pribadi yang turut membentuk kesadaran dan persepsi mereka terhadap elit politik dan Negara.

Dari rumah atau tempat tinggal (kost-kostan), jalan-raya, sekolah/kampus, tempat nongkrong, tempat berolahraga, lingkungan sosial dan lain-lain. Di semua ruang kehidupan itu, ada regulasi dan otoritas yang merupakan perpanjangan langsung atau tidak langsung dari Negara.

Sering terjadi, di ruang-ruang kehidupan itu justru muncul pengalaman yang mengecewakan.

Ada anak muda yang merasakan langsung betapa beratnya kehidupan keluarganya akibat naiknya naiknya sewa rumah, mahalnya harga kebutuhan pokok, tarif listrik, lapangan pekerjaan yang susah, upah murah, dan lain-lain.

Ada anak muda yang tersendat kiriman dari orang tuanya. Ini mala petaka baginya. Sebab, dia dikejar oleh tunggakan sewa kontrakan, kebutuhan makan sehari-hari, ongkos pergi sekolah/kuliah, biaya pendidikan, hingga biaya untuk nongkrong dengan teman-teman.

Ada pelajar yang merasa diperlakukan tidak adil di jalan raya oleh pemegang otoritas lalu-lintas: Polisi lalu-lintas. Sebab, terkadang penindakan pelanggar lalu-lintas belum terbebas dari motif pungutan liar. Sehingga kesalahan dicari-cari sampai ketemu. Dalam kasus ini, pelajar sering jadi korbannya.

Di sekolah atau di kampus, anak muda kerap berhadapan dengan aturan-aturan yang mengekang kemerdekaan berekspresi mereka. Dari cara berpakaian, berperilaku, hingga urusan potongan rambut kadang diatur ketat.

Dalam berbagai contoh di atas, dari urusan biaya kebutuhan hidup, perlakuan tidak adil di jalan raya, hingga pengekangan di sekolah, jangan dianggap Negara absen. Biaya kebutuhan hidup terkait kebijakan Negara. Polisi lalu-lintas hingga ororitas di sekolah/kampus adalah aparatur Negara.

Boleh jadi, pengalaman pahit itu bertumpuk-tumpuk.

Tiba-tiba, pada saat bersamaan, elit politik memproduksi kebijakan yang sangat mencolok bermasalah: revisi UU KPK, RKUHP, RUU Pertanahan, RUU Pemasyarakatan, revisi UU ketenagakerjaan, revisi UU minerba, dan lain-lain.

Ditambah pemerintah kedodoran mengurusi kebakaran hutan, konflik di Papua, salah urus BPJS, dan bencana alam di beberapa daerah. Belum kondisi ekonomi yang tak kalah mengkhawatirkan.

Bertemulah kekecewaan melihat elit politik (DPR dan pemerintah) yang tak becus mengurus negara dengan kekecewaan-kekecewaan berbasis pengalaman pribadi. Akumulasi kekecewaan inilah yang berubah menjadi aksi demonstrasi berskala besar di Jakarta dan berbagai kota di Indonesia.

Tapi, ada juga yang ikut demonstrasi, meski tak faham isu dan tuntutan, karena dibayar. Mereka tak peduli isu, tapi uang. Makanya, meskipun isunya sebetulnya merugikan kepentingannya, tetap saja ikut demonstrasi demi kepentingan sesaat: uang.

Seperti orang yang mengaku dibayar saat demo mendukung revisi UU KPK (seperti diungkap laman youtube Jakartanicus: di sini). Mereka demonstrasi jelas demi uang. Tidak peduli isu dan tuntutan. Sekalipun isu dan tuntannya justru menyakiti kehidupan dirinya dan bangsanya.

ACHMAD FARID HASIBUAN, mantan aktivis mahasiswa dan jurnalis kampus

Keterangan foto ilustrasi: Pelajar melakukan Aksi Tolak RUKHP di Belakang Gedung DPR/MPR, Palmerah, Jakarta Barat, Rabu, 25 September 2019; Sumber foto: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG.

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid